Mohon tunggu...
Eny Rofiatul
Eny Rofiatul Mohon Tunggu... -

Writing by passion

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Bahasa dan Kita! Simbolisasi oleh Kita dalam Ber”Kata”

25 September 2012   09:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:44 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Induk dari filsafat adalah bahasa, dan induk dari bahasa adalah kata!

Kutipan itu diberikan oleh Dewi Chandraningrum, dalam suatu acara peluncuran buku di Salihara, Jakarta. Betapa indah bahasa mampu mengungkapan imajinasi-imajinasi, perasaan, hasil olahan otak untuk menggambarkan suatu fakta, melalui Kata!! Dan kata-kata terkumulasi menjadi tools manusia untuk berkomunikasi dan berhubungan yang kesemuanya terangkum dalam Bahasa, baik bahasa lisan, isyarat, maupun tulisan.

Bahasa tidak seperti definisi umum, suatu kalimat yang terdiridari Subyek, Predikat, Obyek, dan Keterangan, dia ternyata memiliki definisi yang sangat luas, seorang bayi yang tidak mampu bicara dan hanya menangis saat berkehendak memiliki bahasa-nya sendiri untuk mengungkap reliatas apa yang dia alami. Pun begitu dengan orang bisu maupun tuli, mereka memiliki cara tersendiri untuk mengungkapkan kediriannya. Bahasa tak sekedar teks, bahasa tak sekedar ucapan, bahasa tak sekedar batasan-batasan yang tercakup dalam bentuk baku, yang semuanya masih saja diungkapkan dengan Bahasa! Bahkan dalam diam pun, itu adalah bahasa.

Di dalam realitas tanpa definisi pun, ia yang tak terdefinisi akan diungkap dengan bahasa! Sekalipun belum teridentifikasi sesuatu dan hanya ungkapan “tidak ada definisi” tapi pengalaman rasa manusia akan menciptakan bahasa baru untuk menggambarkannya agar dimengerti orang lain. Dan di dalam bahasa ungkapan itu, mungkin saja diungkapkan dengan bahasa lisan, dan didalamnya bisa jadi ada rangkaian kata atau hanya satu kata untuk mentransferkan informasi realitas yang sudah bernama itu kepada orang lain. Ternyata sangat menakjubkan bagaimana kemampuan bahasa menampung segala ekspresi kehidupan yang tiada titiknya.

Melihat kita, ya, kita sebagai Warga Negara Indonesia dan berkomunikasi dengan Bahasa Indonesia. Siapakah Orang Indonesia? Ia dikenal secara umum sebagai orang yang berbahasa Indonesia. Bahkan Sumpah Pemuda sebagai wadah pertama kali pemuda Indonesia berkumpul dan berserikat, menjadikan bahasa Indonesia sebagai Bahasa Nasional. Bahasa pemersatu, atau di kalangan pemuda modern akan popular dengan sebutan Bahasa Baku dan Kaku. Apakah benar demikian? Bahasa Indonesia adalah Bahasa yang sulit dimengerti, teori kalimat yang memusingkan, jenis kalimat tunggal atau majemuk yang sulit dikenali. Terbukti print-out nilai Ujian Nasiona, rata-rata menempatkan nilai mata pelajaran Bahasa Indonesia paling bawah diantara mata pelajaran lain. Dan akhirnya pada tataran praktis, remaja-remaja lebih suka menciptakan kata-kata baru untuk memudahkannya berbahasa. Mereka kemudian dikenal dengan bahasa gaul.

Aapakah demikian sulit menggunakan Bahasa Indonesia yang benar dan baku?

Jika kembali ke atas, sebenarnya bahasa yang kita sepakati bersama adalah makna sempit bahasa. Bahasa yang kita kenal adalah rangkaian kita dalam berkata. Bahasa dan kita, membentuk harmonisasi dan kecocokan yang tidak terpisahkan untuk menggunakannya karena dia ada berdasarkan pengalaman rasa yang berbeda-beda yang dialami manusia. Apakah kemudian bahasa gaul itu merusak struktur bahasa Indonesia kita? Padahal sejatinya mereka menciptakan kata untuk mewakili kediriannya: Gue, lu, gaul,ngehe, nyokap, bokap, bini, dll.

Tiap kata memiliki sejarah kenapa dia dipergunakan. Dia memiliki latar belakang, seperti perempuan dan wanita. Keduanya menggambarkan obyek yang sama, namun keduanya memiliki latar belakang yang berbeda sehingga sekarang orang akan lebih senang disebut perempuan dari pada wanita. Kemudian, mereka yang menggunakan kata “wanita” apakah salah dan merusak struktur bahasa?

Saya sebagai penikmat bahasa dan pengguna kata, akan lebih tepat menjawab pergolakan bahasa baku dan bahasa gaul dengan jawaban: pergunakanlah pada tempatnya, karena bahasa mewakili rasa. Dan rasa adalah pengalaman, sedangkan tiap orang memiliki pengalaman yang berbeda-beda. Mungkin remaja-remaja pencipta kata baru yang gaul itu ingin lebih simple dan berbeda dari kebanyakan manusia yang sudah biasa menggunakan kata yang juga biasa.

Kamu suka bahasa baku? Pergunakanlah jika ingin. Tidak benar jika bahasa baku akan kaku dan tidak indah. Malahan, rangkaiannya begitu menghanyutkan dan mengharu biru. Di dalam suatu film yang sangat indah yang saya amati para pemainnya menggunakan bahasa baku, walaupun tidak keseluruhan, tapi terlihat sekali scriptwriternya begitu memahami kata dan berhasil merangkaikannya dalam kalimatkalimat puisi yang indah. Begini salah satu kalimatnya:

Rayya: ” Wahai dunia, aku mencintai gemerlap kemewahanmu. Laut, darat, kehangatan, dan kesejukanmu. Tapi kau bukan pengantinku, dan aku bukan pengantinmu. Aku tak bisa kawin denganmu. Tak mungkin, karena senja nanti, aku pasti akan meninggalkanmu”.

Pada akhirnya, Bahasa adalah simbolisasi oleh kita dalam ber”kata”. Bahasadankita akan selalu berlekatan untuk bisa saling memenuhi hasrat berkomunikasi dengan orang lain. Menggunakan bahasa sesuai tempatnya, lebih arif dari pada membatasi orang lain mendayagunakan otaknya menemukan kata untuk mengungkapkan hal yang baru. Natural manusia adalah selalu berpikir dan menemukan hal yang baru yang mengungguli sesuatu yang sudah ada, dan termasuk kata! Akan selalu berkembang seiring dengan berkembangnya peradaban manusia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun