Pada awal abad ke-20, geliat perlawanan terhadap kolonialisme Belanda mulai menunjukkan bentuknya melalui lahirnya organisasi-organisasi modern seperti Budi Utomo (1908) dan Sarekat Islam. Inilah yang kemudian dikenal sebagai fase awal Kebangkitan Nasional Indonesia masa ketika kesadaran kolektif sebagai suatu bangsa mulai tumbuh dari sekadar perlawanan fisik menjadi perjuangan yang terorganisir dan berbasis pemikiran serta persatuan.
Namun di balik optimisme tersebut, masa Kebangkitan Nasional juga menghadapi berbagai tantangan kompleks yang menghambat terbentuknya persatuan nasional yang kuat. Salah satunya adalah fragmentasi sosial dan budaya, di mana identitas kesukuan dan kedaerahan masih lebih dominan dibandingkan kesadaran kebangsaan. Gerakan perjuangan pun berjalan sendiri-sendiri, terkotak dalam batas etnis dan wilayah.
Selain itu, muncul perbedaan ideologi dalam tubuh pergerakan nasional. Beberapa organisasi mengusung nasionalisme sekuler, lainnya berbasis keislaman, dan sebagian lagi mulai dipengaruhi paham sosialisme dan komunisme. Perbedaan ini menciptakan gesekan internal dan perpecahan strategi perjuangan, sehingga sulit menyatukan kekuatan dalam satu visi besar.
Minimnya akses pendidikan dan informasi juga menjadi kendala besar. Pendidikan formal hanya dinikmati oleh sebagian kecil elite pribumi, sementara mayoritas rakyat tetap terkungkung dalam kebodohan yang diwariskan oleh sistem kolonial. Akibatnya, semangat kebangsaan dan kesadaran kolektif hanya berkembang di kalangan terbatas dan belum menyentuh lapisan masyarakat luas. Pemerintah kolonial Belanda secara aktif memperkuat perpecahan ini melalui kebijakan politik devide et impera (politik adu domba). Mereka memelihara perbedaan sosial antara kaum pribumi, Indo-Eropa, dan kaum Tionghoa, bahkan membuat klasifikasi hukum yang membedakan status dan hak-hak sipil. Pemerintah kolonial juga membatasi kebebasan berorganisasi dan berserikat, menindak tegas aktivis yang menyuarakan kemerdekaan, dan menyensor berbagai media yang menyebarkan semangat nasionalisme. Dalam banyak kasus, para pemimpin pergerakan diasingkan, dipenjarakan, atau dibungkam agar perjuangan tidak berkembang menjadi gerakan massa yang mengancam kekuasaan kolonial.
Kondisi-kondisi inilah yang melahirkan kebutuhan mendesak akan satu titik temu perjuangan yang bisa menyatukan semua perbedaan latar belakang---baik etnis, agama, bahasa, maupun ideologi dalam satu identitas bersama. Maka, ketika para pemuda dari berbagai organisasi dan daerah berkumpul dalam Kongres Pemuda II tahun 1928, mereka membawa lebih dari sekadar semangat muda; mereka membawa tekad untuk melampaui perpecahan dan menyatukan bangsa. Dalam suasana penuh harap itulah lahir Sumpah Pemuda---sebuah ikrar yang menjadi tonggak penting dalam sejarah persatuan nasional dan memperkuat arah perjuangan menuju kemerdekaan.
Di tengah tantangan kompleks yang membelenggu masa Kebangkitan Nasional mulai dari fragmentasi sosial, perbedaan ideologi, keterbatasan pendidikan, hingga represi dari pemerintah kolonial Belanda---muncul sebuah momentum sejarah yang membalikkan arah perjuangan bangsa: Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Sebelum peristiwa bersejarah itu terjadi, benih-benih persatuan telah tumbuh secara perlahan di kalangan organisasi pemuda. Pada awalnya, mereka masih bergerak dalam lingkup kedaerahan dan kesukuan seperti Jong Java, Jong Sumatera, Jong Ambon, dan Jong Celebes yang mewakili latar belakang budaya dan identitas masing-masing. Namun seiring berkembangnya kesadaran nasional, muncul dorongan untuk melebur perbedaan tersebut ke dalam satu semangat kebangsaan yang lebih luas.
Gagasan untuk menyatukan visi pemuda dari seluruh Nusantara mulai dirintis dalam Kongres Pemuda I tahun 1926, yang menjadi ajang pertemuan dan pertukaran gagasan antarorganisasi. Meski belum menghasilkan keputusan besar, kongres tersebut berhasil menciptakan ruang dialog dan memperkuat rasa kebersamaan. Dua tahun kemudian, semangat itu menemukan momentumnya dalam Kongres Pemuda II, yang digagas oleh tokoh-tokoh muda progresif seperti Soegondo Djojopoespito, Mohammad Yamin, Djoko Marsaid, dan Sarmidi Mangunsarkoro. Kongres ini tidak hanya mempertemukan pemuda dari berbagai organisasi, tetapi juga menjadi panggung penyatuan ide dan cita-cita bangsa. Selama dua hari, tanggal 27--28 Oktober 1928, para pemuda berdiskusi, berdebat, dan saling menguatkan tekad untuk membentuk identitas bersama. Dalam sidang penutupan di rumah Sie Kong Liong di Jalan Kramat Raya No. 106, Batavia, lahirlah sebuah ikrar agung yang kelak dikenal sebagai Sumpah Pemuda.
Sumpah Pemuda bukan sekadar peristiwa seremonial, melainkan pernyataan kolektif dari generasi muda Indonesia untuk menegaskan identitas nasional yang tunggal satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa. Pertama, "Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia," adalah penegasan bahwa seluruh wilayah kepulauan nusantara harus dilihat sebagai satu kesatuan politik dan geografis melampaui batas-batas kerajaan, adat, dan daerah. Â Kedua, "Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia," merupakan pengakuan historis bahwa rakyat di seluruh penjuru tanah air bukan sekadar warga dari suku-suku yang berbeda, tetapi bagian dari sebuah bangsa yang utuh. Ini adalah bentuk perlawanan terhadap politik kolonial yang sengaja membenturkan etnis dan golongan. Dan ketiga, "Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia," menjadi keputusan strategis dan visioner yang menunjukkan bahwa bangsa ini tidak hanya butuh tanah air dan bangsa yang satu, tetapi juga alat komunikasi yang mampu menyatukan pikiran dan perjuangan. Pilihan terhadap bahasa Indonesia, yang berasal dari bahasa Melayu pasar, mencerminkan kesadaran inklusif dan egaliter di antara para pemuda kala itu bahwa bahasa bukan soal keunggulan budaya, melainkan alat pemersatu
Ketiga butir ikrar tersebut menjadi fondasi ideologis perjuangan nasional selanjutnya, karena berhasil mematahkan sekat-sekat yang selama ini menghalangi lahirnya kesadaran kolektif sebagai bangsa. Sumpah Pemuda menjadi nafas persatuan yang menyatukan suara-suara dari berbagai latar belakang ke dalam satu barisan perlawanan. Dari titik inilah, perjuangan kemerdekaan Indonesia menemukan bentuknya yang lebih solid, tidak lagi bersifat sporadis atau sektoral, tetapi nasional, terorganisir, dan berlandaskan semangat persatuan.
Sumpah Pemuda merupakan tonggak sejarah yang tidak hanya mencerminkan keberanian generasi muda, tetapi juga menggambarkan lahirnya kesadaran nasional yang utuh dan menyeluruh. Dalam konteks sejarah bangsa Indonesia, Sumpah Pemuda adalah nafas persatuan yang membangkitkan semangat kolektif untuk menanggalkan sekat-sekat primordial menuju satu identitas bersama: Indonesia. Tiga ikrar dalam Sumpah Pemuda bukan sekadar kalimat yang diucapkan di ruang sidang Kongres Pemuda II, tetapi manifestasi tekad untuk menyatukan tanah air, bangsa, dan bahasa dalam satu cita-cita kemerdekaan. Ikrar itu menegaskan bahwa persatuan bukanlah warisan, melainkan perjuangan hasil dari kesadaran, pengorbanan, dan keberanian menembus perbedaan.
Dalam menghadapi tantangan zaman yang baru seperti disintegrasi sosial, intoleransi, dan krisis identitas Sumpah Pemuda mengingatkan kita bahwa kekuatan Indonesia terletak pada keberaniannya untuk bersatu dalam keberagaman. Sebagai generasi penerus, sudah seharusnya kita tidak hanya mengenang Sumpah Pemuda sebagai catatan sejarah, tetapi juga menjadikannya inspirasi untuk terus menjaga dan menghidupkan semangat persatuan dalam setiap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena selama nafas persatuan itu tetap dijaga, Indonesia akan selalu memiliki harapan untuk melangkah lebih maju sebagai bangsa yang besar.