Mohon tunggu...
Eno L
Eno L Mohon Tunggu... Freelancer - Profil

Seorang manusia yang tengah memanusiakan dirinya.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kebodohan

13 Desember 2018   18:33 Diperbarui: 13 Desember 2018   18:34 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Dunia begitu menyeramkan, selalu itu yang terpatri dalam benakku. Manusia dengan kompleksitasnya. Manusia dengan sisi malaikat dan iblis yang menyatu padu dalam satu entitas jiwa-raga. Betapa manusia mampu mengubah alam yang telah disediakan oleh Tuhan menjadi sesuatu yang begitu menajubkan dan begitu mengerikan di saat yang bersamaan. Pada tangan manusia, bumi menjadi sebaik-baiknya tempat tinggal sekaligus seburuk-buruknya tempat tinggal.

 Telah ku pelajari, Tuhan tak pernah meminta sesuatu yang rumit, bahkan segala desain jagat raya tunduk dalam hukum yang dibuatnya. Hukum yang membuat pada akhirnya hanya kebenaran dan kebaikan yang akan berjaya. Tuhan tak pernah ingkar janji, pertolonganNya adalah pasti, dan siapapun yang memihakNya akan tak terbebani. Namun nyatanya, manusia sepertiku yang tak tahan kepedihan, pemalas, dan mau enaknya saja, tak lagi mau menghayati hukum-hukum tersebut.

Pedas sekali aku mencerca ketidakadilan hingga begitu sinis terhadap seluruh umat manusia. Selalu yang terbayang dalam benakku adalah senyum sinis merendahkan manusia tiap kali hendak bertemu manusia baru atau sosok yang tidak begitu ku kenal. Tapi pada nyatanya, aku tak lebih dari si omong besar, yang kerjanya hanya mengkritik tanpa melakukan banyak aksi.

Nilai-nilai kebajikan, budi pekerti telah luntur dari dalam diriku. Menyisahkan aku seonggok daging bergelimang dosa yang tak tahu arah. Kini ku rasa aku benar-benar hancur. Kian lama, aku seakan tak peduli lagi dengan konsekuensi dari berbagai perilaku bodohku. Karena aku sendiri lah, otakku menjadi kerdil dan tak berguna.

Duduk di sini, merasa dinginnya udara yang tercipta oleh air conditioner, membuat tanganku membeku. Seperti halnya hati dan kewarasanku yang telah lama membeku. Kewarasanku yang hadir karena harapan yang diberikan oleh cita-cita kepadaku, kini telah membeku bersama berbagai impian yang dulu awal sekali berapi-api dalam jiwa. Atau mungkin memang sedari awal aku belum benar-benar bercita-cita.  Kini, seiring kewarasanku yang membeku, tak lagi hatiku merasa, ia menjadi begitu dingin, keras, dan kaku.

Aku merasa kini semuanya telah benar-benar berakhir. Hingga semuanya tak lagi terasa bermakna. Menyisihkan aku dengan ketakutan-ketakutanku, dan mimpi-mimpi burukku. Kini, tiap kali aku melakukan kesalahan yang ku sadari betul dampaknya, aku merasa kosong. Entah sudah tak peduli lagi atau memang sudah tidak ada lagi yang tersisa dalam jiwa ini.

Ada gejolak yang senyap dalam jiwa. Antara merasa kosong, ketakutan, dan mendamba perubahan. Suatu rasa yang membingungkan. Aku merasa begitu bodoh, ya Tuhan. Begitu bodoh hingga aku tak lagi mengenali diriku sendiri. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun