"Kenapa menangis, Nak?"
Itulah pertanyaan yang meluncur spontan saat saya melihat salah satu siswi saya duduk di pojok kelas, memeluk lutut dengan mata merah dan pipi basah oleh air mata. Saya hampiri dengan pelan, saya usap kepalanya, mencoba menenangkan. Ia tak berkata apa-apa, hanya menggeleng ketika kutanya apakah ada masalah dengan guru atau temannya.
Setelah saya suruh beberapa teman sekelasnya keluar (kebetulan saat jam istirahat) agar suasana tenang, ia akhirnya membuka suara. Perlahan, terbata-bata. Ia mengaku sedang sedih karena dimarahi ibunya. Penyebabnya? Nilai rapornya menurun, dari rata-rata 92 menjadi 90.
Hanya dua angka. Tapi baginya, itu cukup untuk membuatnya merasa gagal. Ia merasa sudah mengecewakan ibunya. Padahal, dari kacamata saya sebagai gurunya, ia adalah salah satu siswa paling berbakat. Ia aktif menulis di web sekolah, sering mengirimkan karya ke media luar, bahkan menjadi reporter andalan kami. Ia cerdas, kritis, berani menyuarakan gagasan, dan punya kemampuan menulis yang jauh di atas rata-rata teman seusianya.
Ironis, bukan?
Antara Angka dan Asa
Kisah ini bukan satu-satunya. Di berbagai sekolah, kita bisa dengan mudah menjumpai anak-anak yang tertekan bukan karena nakal atau malas belajar, tetapi karena merasa tidak cukup baik di mata orang tuanya. Hanya karena nilai turun satu atau dua poin, senyum mereka memudar. Rasa percaya diri mereka runtuh. Padahal, kalau mau jujur, dunia nyata tidak pernah menanyakan berapa nilai matematika kita di kelas 9 dulu. Dunia akan lebih peduli dengan bisakah kita berpikir kritis, berkomunikasi dengan baik, bekerja sama, dan menciptakan sesuatu?
Sayangnya, banyak orang tua masih terpaku pada nilai akademis. Nilai rapor seakan menjadi satu-satunya tolok ukur keberhasilan anak. Mereka lupa bahwa kecerdasan itu beragam. Howard Gardner menyebutnya multiple intelligences, ada kecerdasan linguistik, logika-matematika, visual-spasial, kinestetik, musikal, interpersonal, intrapersonal, hingga naturalistik.
Anak yang nilai matematikanya standar belum tentu gagal. Bisa jadi, ia akan menjadi jurnalis hebat, content creator inspiratif, penulis novel best seller, atau bahkan diplomat andal karena kemampuan bahasanya yang luar biasa.
Lihatlah tokoh-tokoh seperti Najwa Shihab, Ernest Prakasa, Gita Savitri, atau Jerome Polin. Mereka tidak hanya mengandalkan nilai akademis, tetapi menggali dan menekuni potensi khas mereka. Bahkan di lingkup lokal pun, banyak anak muda yang sukses membangun usaha kreatif, menjadi penulis lepas, atau membuka agensi digital marketing berbekal keterampilan non-akademik.