Mohon tunggu...
Endri  Prasetyo
Endri Prasetyo Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis (Khazanah Islam, Ekonomi dan Sastra)

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Menggapai Jannah melalui Harta yang Berkah

27 Juni 2021   20:40 Diperbarui: 2 Juli 2021   06:58 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berbicara masalah harta, setiap orang memiliki cara tersendiri dalam memperoleh dan mengelolanya. Bila melihat fenomena-fenomena saat ini, ada sebagian manusia  yang mencari rizki dari sesuatu yang tak dibenarkan oleh syariat. Pencurian, perampokan, korupsi, riba merupakan beberapa praktek haram yang sudah menjadi lumrah di era saat ini.  Dan yang lebih mirisnya lagi, ada sebagian dari umat Islam yang ikut terjeremus ke dalam jurang setan tersebut.

Islam mengajarkan kepada seluruh manusia untuk mencari rizki secara halal, bukan malah sebaliknya. 

“Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. 2:168).

Dalam ayat ini, Allah menggunakan kata "manusia" yang mana ayat ini ditujukan kepada seluruh makhluk Allah yang berada di bumi-Nya, tanpa melihat latar belakang agama dan sosial. Selama dia bernyawa dan menjalani kehidupan di dunia ini, maka dia dinamakan manusia.

Dalam kitab “Tafsir Ibnu Katsir”, Imam Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Allah membolehkan manusia untuk memakan segala yang ada di muka bumi, yaitu makanan yang halal, baik, dan bermanfaat bagi dirinya serta tidak membahayakan bagi tubuh dan akal pikirannya.

Perintah ayat ini menjadi pedoman bagi seluruh manusia untuk berusaha mencari rizki yang halal dan baik. Maka, segala bentuk makanan dan minuman yang telah Allah haramkan, tak pantas untuk dikonsumsi. Begitu pula meraihnya harus dicapai dengan cara yang halal.

Barang yang halal bisa berubah hukumnya menjadi menjadi haram, bila cara mendapatnya tidak sesuai dengan perintah Allah, seperti mencuri ayam, riba, mengurangi takaran dalam berdagang, dan lain-lainnya.

Hukum asal mengkonsumsi ayam adalah halal, dan akan berubah hukumnya menjadi haram, bila didapatkan dengan cara yang dilarang-Nya, seperti mencuri. Begitu pula sebaliknya, makanan yang haram, bisa saja menjadi halal, bila seseorang dalam keadaan terdesak. Dalam kaidah ushul fiqh dikatakan “ad-dharuuraatu tubiihu al-mahdhuuraatu” , keadaan darurat membolehkan suatu yang terlarang. Misalkan seseorang berada di hutan dan kesulitan untuk menemukan hewan yang halal untuk dimakan. Ketika itu, Ia hanya menemukan babi, maka hewan itu boleh dikomsumsi, dengan batasan hanya untuk menghilangkan rasa lapar saja, tanpa harus mengeyangkan perutnya.

Pratek bunga atau riba juga termasuk transaksi yang dilarang oleh agama. Maka, hendaklah setiap manusia menjauhinya dan beralih ke transaksi yang halal. Orang- orang yang terjerumus ke system ini diperumpamakan seperti orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.

"Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila …” (QS.2:275)

­Orang yang memakan riba, kelak di hari kiamat mereka tidak dapat berdiri dari kuburan kecuali seperti berdirinya orang gila pada saat mengamuk dan kerasukan syaitan, yaitu mereka berdiri dengan posisi yang tidak sewajarnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun