Di kota kecil bernama Semarang, seleksi calon kepala sekolah digelar besar-besaran. Enam puluh empat peserta dari berbagai sekolah hadir dengan satu harapan yang sama yaitu membawa perubahan di dunia pendidikan. Aku salah satunya, datang bukan karena ambisi, tapi karena keyakinan bahwa pendidikan bisa lebih baik jika dijalankan dengan hati.
Tes berlangsung ketat. Sebelumnya pun, beberapa syarat berat sudah harus dilalui. Ada ujian tertulis, wawancara, hingga paparan visi dan misi pendidikan.
Hari itu, aku berbicara dengan jujur, tanpa naskah, tanpa basa-basi tentang keyakinanku bahwa sekolah seharusnya menjadi tempat tumbuhnya manusia, bukan sekadar mesin penghasil nilai.
Ketika tiba giliran presentasi, panitia memberi waktu hanya sepuluh menit untuk membuat slide PowerPoint. Waktu yang begitu singkat, hampir mustahil untuk mengolah ide secara sempurna. Tapi aku tidak ingin kehilangan makna di balik terbatasnya waktu itu.
Tanpa berpikir panjang, aku membuat dua kapal pendidikan yang berlayar di samudra luas.
Kapal pertama berlayar utuh, kokoh, dengan awak yang saling percaya dan bekerja bersama menuju tujuan. Bekerja sesuai SOP masing-masing. Menjaga engine, bahan bakar, layer, nahkoda sampai ruang dapur harus ditata sedemikian rupa.
Kapal kedua separuhnya tenggelam, awaknya saling menyalahkan, nahkodanya kehilangan arah, dan layar robek diterpa badai, terombang ambing tanpa arah.
Lalu aku berkata,
"Pendidikan kita bisa menjadi kapal pertama jika semua bergerak dengan tujuan yang sama. Tapi bisa juga menjadi kapal kedua jika ego dan kepentingan pribadi menguasai haluan."
Ruangan mendadak hening. Semua mata tertuju padaku. Aku tidak membawa grafik, tidak menampilkan data berlapis, tapi aku bicara dengan hati. Karena bagiku, pendidikan bukan soal presentasi yang indah, melainkan arah yang benar.
Setelah tes selesai, banyak ucapan masuk. "Selamat, nilaimu pasti tinggi." "Kamu calon kuat." Aku hanya tersenyum kecil. Tidak ingin berandai-andai.