Mohon tunggu...
NarasiPublik
NarasiPublik Mohon Tunggu... Jurnalis

Konten Filsafat,Hukum,Politik

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Realitas, Konstruksi Pikiran dan ketiadaan; Trafford Pomantow

13 Agustus 2025   23:52 Diperbarui: 13 Agustus 2025   22:51 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Trafford Pomantow (Afo)

Realitas, Konstruksi Pikiran, dan Ketiadaan
Oleh: T. Pomantow

Abstrak
Tulisan ini menelaah ontologi dan epistemologi mengenai ketiadaan. Pertanyaan utama yang diangkat adalah apakah manusia dapat berpikir mengenai sesuatu yang tidak ada? Dalam pembahasan ini ditunjukkan bahwa selama suatu hal memiliki keterkaitan, sekecil apa pun, dengan realitas, maka hal tersebut masih dapat dijelaskan.

1. Pendahuluan
Pertanyaan mengenai kemungkinan berpikir tentang sesuatu yang "tidak ada" telah lama menjadi diskursus filsafat. Pertanyaan ini tampak paradoksal karena berpikir, secara umum, diasumsikan memerlukan objek acuannya. Akan tetapi, jika yang dimaksud "tidak ada" adalah ketiadaan absolut, maka pertanyaan tersebut menuntut penelusuran epistemologis dan ontologis yang mendalam.

Hegel pernah menyatakan dalam The Science of Logic bahwa:

"Pure Being and pure nothing are, therefore, the same."
(Hegel, 1812/2010, hlm. 82)

Kutipan ini menunjukkan bahwa bagi Hegel, "ada" dan "tidak ada" dalam bentuk paling murni memiliki hubungan dialektis yang saling melahirkan, bukan sekadar oposisi mutlak.

2. Realitas sebagai Basis Konstruksi Pikiran
Setiap pikiran manusia dibangun di atas landasan realitas. Realitas di sini tidak terbatas pada realitas fisik, tetapi mencakup pula realitas konseptual yang telah terbentuk dalam kesadaran kolektif manusia. Bahkan ketika manusia membayangkan sesuatu yang tidak memiliki eksistensi empiris, imajinasi tersebut tetap bersandar pada elemen-elemen yang diambil dari realitas yang ada.

Sebagai contoh, konsep unicorn hanya dapat muncul karena manusia telah mengenal konsep kuda dan tanduk yang keduanya berasal dari realitas fisik. Melalui penggabungan dua entitas yang ada, manusia menciptakan sesuatu yang tidak ada secara empiris namun eksis secara konseptual.

Hal ini selaras dengan pandangan Immanuel Kant yang menegaskan bahwa pengetahuan manusia selalu dimediasi oleh kategori-kategori pikiran yang berasal dari pengalaman (Critique of Pure Reason, 1781).

3. Ketiadaan Sejati dan Eksistensi yang Belum Diketahui
Ketiadaan sejati dapat didefinisikan sebagai keadaan yang sama sekali tidak memiliki hubungan dengan realitas. Dalam kondisi demikian, konstruksi pikiran manusia tidak memiliki bahan baku untuk membentuk representasi mental. Oleh sebab itu, sesuatu yang benar-benar tidak terkait dengan realitas tidak dapat dipikirkan atau dibayangkan.

Namun, terdapat fenomena menarik: sesuatu yang sesungguhnya ada dapat berada di luar pengetahuan manusia, baik karena keterbatasan informasi maupun karena belum adanya interaksi langsung dengan realitas tersebut. Dalam kasus ini, objek tersebut bukanlah ketiadaan sejati, melainkan "eksistensi yang belum diketahui."

Untuk memahami eksistensi yang belum diketahui, salah satu pendekatan yang dapat digunakan adalah dialektika Hegel. Dialektika ini memungkinkan seseorang untuk berangkat dari tesis, menemukan antitesis, lalu membentuk sintesis sebagai pengetahuan baru. Meskipun digunakan di sini hanya sebagai contoh, metode ini menunjukkan bahwa pengetahuan dapat tumbuh melalui konfrontasi ide yang sudah ada dengan realitas yang dihadapi.

4. Kesimpulan
Pemikiran mengenai sesuatu yang tidak ada pada akhirnya selalu bersandar pada realitas. Pikiran manusia tidak dapat menggapai ketiadaan sejati, yakni keadaan yang sama sekali terputus dari realitas, karena konstruksi mental memerlukan titik acuan yang berakar pada apa yang ada, baik secara fisik maupun konseptual.

Oleh sebab itu, selama suatu hal memiliki keterkaitan sekecil apa pun dengan realitas, ia tetap berada dalam cakrawala penjelasan manusia. Proses memahami yang belum diketahui bukanlah upaya mencipta dari kekosongan, melainkan penjelajahan terhadap jalinan realitas yang telah ada untuk menemukan bentuk-bentuk baru pengetahuan.

Bagi seorang pemikir mandiri, pemikiran orang lain berfungsi sebagai bahan perbandingan, bukan sebagai landasan utama. Kemandirian berpikir menuntut kemampuan menilai, menerima, atau menolak suatu gagasan berdasarkan keterkaitannya dengan realitas, bukan semata karena otoritas yang mengemukakannya. Dengan demikian, proses berpikir menjadi upaya yang otonom, terarah, dan berlandaskan pada penelusuran langsung terhadap realitas itu sendiri.

Daftar Pustaka
Hegel, G. W. F. (2010). The Science of Logic. (G. Di Giovanni, Trans.). Cambridge University Press. (Karya asli diterbitkan 1812).
Kant, I. (1998). Critique of Pure Reason. (P. Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge University Press. (Karya asli diterbitkan 1781).

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun