Mohon tunggu...
Endang Noor Rachmat
Endang Noor Rachmat Mohon Tunggu... Alumni Ma'hadiyah 1980-1990

Endang Noor Rachmat adalah alumni Ma'hadiyah angkatan 1980-1990.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

80 Tahun Perjalanan Drs KH Saeful Azhar dalam Membangun Al-Basyariyah

7 September 2020   12:55 Diperbarui: 7 September 2020   21:14 1865
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tempat & Tanggal Kelahiran

Saeful Azhar dilahirkan pada tanggal 13 Muharam 1362 H. yang bertepatan dengan tanggal 20 Januari 1943 M, di Jalan Cibaduyut Kota Bandung dari pasangan KH. Idjazi bin H. Basyari dan Hj. Nafisah sebagai keturunan Eyang Dalem Abdul Manaf Mahmud. Setelah memiliki anak dan santri, Saeful Azhar memiliki panggilan familiar, "Buya" yang diambil dari Bahasa Arab, yang artinya bapakku.

Buya kecil sudah menyandang "anak yatim" karena sejak usia 4 tahun ia ditinggal wafat ayah tercintanya, dan harus rela hidup bersama ayah sambungnya, H. Sudja'i yang menikahi ibunya, Hj. Nafisah. 

Masa Pendidikan

Seperti pada umumnya anak-anak, pada usia 7 tahun Buya kecil masuk SR Rahayu di Cigondewah, lalu pindah ke SR Lumbung mengikuti kepindahan orangtuanya ke tempat itu. Tahun 1956 Buya melanjutkan sekolahnya ke SMP Muslimin di Jalan Ciateul.

Seusai dari SMP, Buya remaja berbeda dengan remaja pada umumnya, walaupun menyandang sebagai anak yatim dan memiliki keterbatasan finansial, ia memiliki ambisi dan cita-cita menjadi seorang kyai seperti ayah dan kakek-kakeknya, dan keinginannya ini ia utarakan kepada ibunya.

Walaupun ekonominya sangat terbatas, keinginan Buya kecil direspon positif oleh sang ibu. Pada tahun 1959, Buya mendaftarkan diri untuk mesantren dan diterima menjadi muridnya KH. Muhammad Sudja'i di Pesantren Al-Jawami Sindangsari Cileunyi.

Selang setahun, ketika Buya mendengar informasi tentang Pondok Modern Gontor yang berada di Jawa Timur, hatinya sangat berhasrat ingin belajar di dalamnya. Berbekal nekat, maka pada tahun 1960 ia pun berangkat menuju Gontor. Namun sayang waktu keberangkatannya tidak sesuai dengan jadwal penerimaan santri di PM. Gontor. 

Tanggung sudah berangkat jauh dan tidak ingin kembali ke Bandung dengan tangan hampa, maka  sambil menanti jadwal penerimaan santri Gontor pada tahun berikutnya, ia mendaftar dan diterima di Pesantren Walisongo yang lokasinya tidak jauh dari Pondok Modern Gontor.

Baru pada tahun 1961, keinginannya bisa tercapai, Buya diterima langsung di kelas 2 KMI menjadi murid pendiri & trimurti pertama (KH. Ahmad Sahal - KH Zainudin Fananie - KH. Imam Zarkasyi) tiga serangkai pemimpin di Pondok Modern Darussalam Gontor.

Pahit-getir selama mondok di tempat yang jauh dan jarang ditengok, tidak membuatnya patah semangat dalam mengejar cita-cita. Ia terus belajar hingga bisa menyelesaikan pendidikannya selama 5 tahun, karena pada bulan September 1965 terjadi huru-hara G-30-SPKI, maka pada awal tahun 1966 pihak pondok memulangkan dan membebaskan santrinya dari kewajiban masa bakti selama satu tahun.

Sepulang dari Gontor,  karena merasa masih kurang, Buya muda, meneruskan pencarian ilmunya ke Tasikmalaya, lalu ia mendaftar dan diterima menjadi murid KH. Ruhiyat di Pesantren Cipasung, yang berlangsung selama dua tahun (1966 - 1968).

Memulai Perintisan Pesantren

Pada tahun 1968, sepulang dari Gontor dan Cipasung, Buya yang sudah beranjak remaja dewasa diasuh oleh pamannya (H. Syatibi), lalu mengaplikasikan ilmu yang didapatnya dari empat pesantren almamaternya, dengan mendirikan lembaga pendidikan & kursus Bahasa Arab di Kampung Cikungkurak, yang diberi nama "Darussalam" yang diambil dari nama pesantren Gontor. Selain itu, ia juga mengajarkan ilmunya di PGA Palgenep, yang diantara muridnya bernama Neneng Sumiatin (yang kemudian biasa dipanggil Umi Syaja'ah).

Sekira tahun 1968/69, H. Hidayat & Hj. Hafsah  yang menjadi jama'ah pengajiannya dan memiliki putri yang ayu & shalehah, lalu keduanya "mempromosikan" putrinya itu kepada Buya yang sudah tumbuh dewasa. Gayungpun bersambut, bibit cinta tumbuh pada keduanya, dan akhirnya Buya menikahi Umi dengan acara yang cukup sederhana.

Setelah menikah, dalam kesederhanaannya Buya & Umi bahu membahu dalam menggapai cita-citanya merintis pesantren seperti keempat pesantren besar almamaternya, Al-Jawami, Wali Songo, Gontor dan Cipasung.

Merasa kurang dari ilmu yang sudah diraihnya, pada tahun 1971, Buya memboyong Umi berguru kembali kepada KH. Muhammad Sudja'i di Pesantren Al-Jawami Cileunyi selama setahun, dan saat mondok di pesantren ini Umi mengandung anak pertama yang saat dilahirkan diberi nama Inna Siti Nurhasanah.

Berbarengan dengan mondok di Cileunyi, Buya meneruskan pendidikan formalnya di Fakultas Syari'ah IAIN Sunan Gunung Jati yang dinahkodai oleh Prof. KH. Anwar Musadad, hingga dinyatakan lulus dan menyandang gelar sarjana.
Dengan bekal pendidikan yang "cukup" memadai, perintisan dan pengembangan pesantren ia lanjutkan. Untuk mendukung cita-cita dan menafkahi keluarganya, Buya diterima menjadi karyawan di Departemen Agama Kota Bandung dan aktif mengelola pendidikan di Masjid Agung Bandung. Selain itu, Buya juga menjadi dosen di beberapa Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta.

Dewan Guru sedang mempersiapkan ujian pesantren
Dewan Guru sedang mempersiapkan ujian pesantren
Melanjutkan  Perintisan Pesantren

Berbekal mushala dan bangunan bilik bekas Pesantren Sirna Jaya peninggalan mendiang sang ayah dan H. Sadeli, yang menjadi orang kepercayaan kakek dan ayahnya, yang berdiri di atas lahan 50 tumbak tanah wakaf dari mendiang kakeknya (H. Basyari) yang terletak di sudut persimpangan Jalan Cibaduyut dan Jalan Kopo Kota Bandung, sekitar tahun 1973 perintisan pesantren dilanjutkan. 

Dengan keuangannya yang terbatas dan bantuan dari ibunya, Buya mulai membangun masjid dan ruangan untuk belajar. Kemudian Buya mendekati dan menghimpun para remaja dan pemuda sekitar untuk diajak belajar mengaji dan berorganisasi, para orangtua diajak mengikuti majlis ta'lim, dan diadakan pula pendidikan diniyah bagi usia dini, dan salahsatu santrinya Ust. Endang Suhendi, yang sekarang dipercaya sebagai Mudirul Ma'had putra.

Perjuangan Buya dalam merintis pesantren tidaklah ringan. Rintangan dan gangguan beliau rasakan dari sana-sini, termasuk harus berurusan dengan hukum karena ada fihak yang merasa lebih berhak atas tanah wakaf yang dikelolanya, walaupun pada akhirnya Buya berhasil melewatinya dengan baik dan damai, hingga tanah wakaf dari Abah Haji Basyari yang terletak di Kampung Pangurisan Jalan Cibaduyut ini, baik secara the facto ataupun the jure jatuh ke tangan Buya.

Pada tahun 1978 Buya mendirikan yayasan serta pendidikan formal tingkat Taman Kanak Kanak dan Sekolah Dasar. Tahun 1980 dalam keterbatasan fasilitas yang dimiliki, Buya mulai mengasramakan sekitar 7 santri non formal yang beliau beri nama "Ma'hadiyah", dan saya sendiri masuk pondok saat jumlah santri Ma'hadiyah yang di asrama masih belasan orang. Mereka mengkhususkan diri belajar Al-Qur'an, Kitab Kuning, dan Bahasa Arab.

Mendirikan Pendidikan Formal Kepesantrenan

Menjadi pejabat di Departemen Agama dan dosen di perguruan tinggi, bukanlah tujuan dan cita-citanya sejak kecil, maka pada tahun 1982 saat keberadaan pondok sudah mulai dikenal masyarakat dan memerlukan penanganan yang lebih serius, Buya melepaskan jabatannya di Departemen Agama dan pekerjaannya sebagai dosen di beberapa perguruan tinggi (kecuali di Fakultas Hukum Unpas masih dipertahankan sampai beberapa tahun kemudian karena mahasiswanya bisa datang dan kuliah di pondok).

Lalu Buya lebih memfokuskan diri dalam pengembangan pondok yang memerlukan kehadirannya selama 24 jam. Lalu tahun 1983 mendirikan madrasah tingkat Tsanawiyah, dan dua tahun berikutnya beliau mendirikan madrasah tingkat Aliyah. Para orang tua terutama yang mengenal Buya termasuk karyawan dan anak buahnya di Departemen Agama yang telah mengetahui kehandalan dan dedikasinya dalam mendidik, menyambut positif dengan memasukkan anak dan kerabatnya ke Al-Basyariyah.

Seiring berjalannya waktu, Buya terus berfikir dan berinovasi, tenaga dan ilmunya beliau curahkan. Beliau berkeinginan mengombinasikan pendidikan pesantren salafiyah dan pendidikan pesantren modern ala Gontor yang beliau sendiri pernah belajar pada kedua model pesantren itu. Maka pada tahun 1986, dengan menaiki mobil "turungtung" Suzuki ST-20 yang hanya berkapasitas 550 cc. saya menemani beliau ke Ponorogo bersilaturrahmi menemui  pimpinan Pondok Modern Gontor untuk berkonsultasi tentang pengembangan pondok.

Maka sejak itulah, perjuangan Buya dalam mengembangkan Pondok Pesantren Al-Basyariyah memasuki babak baru, pendidikan modern model Gontor dan model salafiyah dipadukan dengan kurikulum Departemen Agama. Pendidikan Tingkat Tsanawiyah disatukan dengan tingkat Aliyah menjadi 6 tahun plus masa bakti 1 tahun dengan nama TMI (Tarbiyatul Mu'alimin wal Islamiyah).
Publikasi terus disebar dari mulut ke mulut, juga lewat brosur dan media, sehingga santripun mulai berdatangan dari dalam kota, luar kota, bahkan dari luar Jawa.

Rapat evaluasi Dewan Guru, tahun 1985
Rapat evaluasi Dewan Guru, tahun 1985

Mengembangkan Kampus Tahap Pertama

Ketika jumlah santri sudah melebihi kapasitas di komplek Markaz (Jalan Cibaduyut no.9), tahun 1985 Buya melebarkan pesantrennya dengan membeli sebidang tanah di ujung Jalan Sauyunan, yang kemudian beliau bangun untuk ruang kelas dan sebagian asrama putra secara bertahap. Komplek ini diberi nama LPK (Lokasi Pondok Kholaf). Karena jumlah santri terus bertambah, kemudian beliau diberi pinjaman hak guna pakai sebidang tanah dari keluarga Bapak Sukandi & Ibu Romdoniyah untuk dijadikan asrama putra yang diberi nama PRS (Pondok Romdoniyah Sukandi).

Ketika Komplek Markaz, LPK, dan PRS sudah over kapasitas, pada tahun 1986 saya membonceng Buya dengan skuter Bajaj-nya menuju kampung Cimindi-Rahayu (Cigondewah) yang waktu itu masih sangat terpencil dan akses jalan yang masih buruk untuk penjajagan pengembangan pondok, karena di lokasi inilah dahulu kakek Buya dari fihak Ibu memiliki pesantren yang cukup besar. Setelah berembuk dengan kerabatnya yang tinggal di tempat ini, lalu saat itu juga Buya membeli sebidang tanah seluas 20 tumbak. Dan tanah inilah yang kemudian menjadi cikal-bakal Kampus-2 Cigondewah.

Mengembangkan Kampus-2 Cigondewah

Memasuki tahun 1987, dengan tekad yang bulat,  Buya mulai merintis dan membangun ruang kelas dan asrama dengan fasilitas yang alakadarnya, sebagian santri mulai ditempatkan di kampus 2 ini. Karena lokasinya yang terpencil jauh dari kota, tidak sedikit santri yang memilih keluar dari pondok, tapi hal itu bukan halangan baginya. Beliau berpegang teguh pada amanat gurunya, bahwa dirinya akan tetap  mengajar dan mendidik walaupun santrinya tinggal satu orang.

Suasana pondok di kampus Cigondewah tahun 1991/koleksi pribadi
Suasana pondok di kampus Cigondewah tahun 1991/koleksi pribadi
Buya dan Umi lebih banyak mencurahkan tenaga dan waktunya di lokasi yang baru (Cimindi-Cigondewah), sedangkan pengawasan di Komplek Markaz, LPK dan PRS untuk sementara diamanahkan kepada para mudabbir pondok termasuk saya.
Di saat perintisan komplek Cimindi inilah, lahir putri bungsunya yang diberi nama Indi Siti Nur Ihsani, yang sebelumnya Buya dan Umi memiliki lima orang putri yaitu Inna Siti Nurhasanah, Lela Siti Nurfajriyah, Iyam Siti Nurmaryamah, Isma Siti Nurhajar, Nida Siti Nurzahidah, dan seorang putra yang bernama Zen Anwar Saeful Basyari.

Menjadikan Komplek-2 Cigondewah Sebagai Pusat Kegiatan Pondok

Pada tahun 1989 secara resmi seluruh kegiatan santri TMI (Tsanawiyah & Aliyah) dipindahkan dari Cibaduyut ke Cigondewah. Markaz dan LPK dijadikan komplek TK dan SD, sedangkan PRS dikembalikan kepada pemiliknya.

Pada tahun 1990 saat saya keluar dari pondok bangunan kelas dan asrama masih sederhana bahkan ada yang masih terbuat dari bilik bambu dengan jumlah santri TMI dan Ma'hadiyah sebanyak 350 orang.

Sementara itu, Buya terus berjuang meningkatkan kualitas dan kuantitas santrinya, tanah dan komplek pondok terus diperluas, serta bangunan dan fasilitas pondok terus dibenahi.

Aula pertama di kampus Cigondewah/koleksi pribadi
Aula pertama di kampus Cigondewah/koleksi pribadi

Setelah 30 tahun berlalu tepatnya tanggal 16 Mei 2020 M./23 Ramadhan 1441 H., Buya ditinggal wafat oleh isteri tercinta (Hj. Umi Syaja'ah) yang telah sukses menemani perjuangannya, dan saya berkesempatan datang berta'ziyah bahkan "mondok" untuk sekedar menemani Buya yang sedang berduka. 

Dalam kesempatan itu saya dan beliau ngobrol tentang  perkembangan pondok hingga saat ini, yang memiliki empat lokasi, yang terdiri dari Kampus-1 di Jalan Cibaduyut & Jalan Sauyunan, Kampus-2 di Cigondewah (khusus untuk santri TMI- Mu'addalah), Kampus-3 di Arjasari-Banjaran, dan Kampus-4 di Jalan Caringin-cikungkurak (sebagai cikal bakal perintisan pondok untuk pertama kalinya), dengan luas tanah 17 hektar dan jumlah santri yang di asrama 2500 orang.

Kalau saja tidak melihat sendiri, mungkin saya tidak percaya dengan perkembangan pondok yang begitu cepat dan dinamis karena saya tahu saat masa prihatinnya pondok. Saya tahu persis perjuangan Buya dahulu, karena waktu saya mondok, beliau menjadikan saya tangan kanan kepercayaannya, sekretaris pribadinya, bahkan asisten pribadinya. 

Apapun urusan pekerjaannya, saya yang mengerjakannya, dimanapun Buya berada dan kemanapun beliau pergi saya harus menemaninya, sehingga saya cukup paham dapur dan kemampuan finansial Buya yang cukup kesulitan dalam mengejar cita-citanya untuk mendirikan sebuah pesantren besar. 

Tetapi setelah 30 tahun lewat, ketika Buya telah berhasil memperluas dan membangun pondok dengan berbagai fasilitasnya yang diluar perkiraan saya dahulu, saya hampir tidak percaya saat menyaksikan perkembangan pondok yang cukup membanggakan saya, sehingga jika saya menyaksikan atau berbicara tentang pondok lalu teringat bagaimana keadaan pondok di masa lalu, saya merasa terharu tidak kuat menahan emosi.

Didikan Buya Yang Disiplin & Keras

Pada saat saya menghadiri acara Miladnya yang ke 78, Buya sempat berbisik kepada saya, "Ayeuna mah Buya teh geus teu kuat nyarekan santri"    (Sekarang Buya sudah tidak kuat lagi memarahi santri). Mendengar itu, tanpa terasa air mata saya keluar. 

Bagaimana tidak, beliau yang dahulunya begitu perkasa di depan santri, kalau marah tidak ada satu santripun yang berani mendongakkan kepala, bahkan jika saya akan menghadapnya untuk satu urusan, saya harus membaca mantera-mantera doa agar tenang dan tidak grogi. Tapi saat ini, bicaranya begitu pelan dan jika berjalan harus dibantu dengan tongkat bahkan dipapah oleh santri-santrinya.  

Pada periode saya masih di pondok, Buya yang tidak memiliki body tinggi besar bahkah boleh dibilang kurus-kecil, tapi beliau sangat kuat, bicaranya berapi-api, dan kata-katanya sangat keras sampai urat lehernya tampak menonjol. Beliau turun langsung memimpin santri tandzif (membersihkan) pondok, berolah-raga, lari pagi sambil mensyi'arkan pondok.

Para santri akan mengikuti Jambore Pramuka di PM. Gontor tahun 1990/koleksi pribadi
Para santri akan mengikuti Jambore Pramuka di PM. Gontor tahun 1990/koleksi pribadi
Dalam mendidik, Buya benar-benar sangat keras dan mendisiplinkan para santrinya tanpa pandang bulu, termasuk kepada para mudabbir (pengurus), ustadz, keluarga, bahkan Umi pun harus mengikuti aturan dan disiplin pondok. Dalam hal ini beliau sering menyitir potongan Qs. Al-Fath, ayat 29:

"Bersikap keras terhadap orang-orang ingkar, tetapi berkasih sayang kepada sebagiannya"

Bagi siapa saja yang melanggar aturan pondok harus menerima sanksi berupa hukuman berdiri, ngorondang (berjalan dengan merangkang), direndam, digunduli, ditempeleng, hingga dikeluarkan dari pondok.

Walaupun demikian, karena Buya ikhlas agar santrinya menjadi lebih baik, maka para santri yang bersungguh-sungguh akan tetap bertahan dan jika dikeluarkanpun, akan kembali menghadap agar dapat diterima kembali menjadi santri.

Walaupun saat dahulu dihukum kami merasa sedih dan menangis, tapi didikan dan hukuman ini sangat membekas di hati para santri, terutama setelah kami terjun di masyarakat didikannya itu sangat bermanfaat. Saya dan mungkin para santri hanya mampu berucap, "Haturnuhun Buya kana kasaeanna. Semoga ilmu dan didikannya berberkah...Semoga menjadi amal kebaikan untuk Buya dan seluruh santri. Dan semoga kita semua bisa berkumpul kembali di dalam Surga-Nya kelak...!"

Umi Syaja'ah Setia Mendampingi Buya Selama 40 Tahun Hingga Wafat

Umi muda, merupakan gadis manis yang qurrata a'yunin, adalah wanita shalehah yang kemudian menjadi isteri Buya sebagai kado istimewa dari pasangan suami-isteri (H. Hidayat & Hj. Hafsah) yang menjadi jama'ahnya saat Buya memulai perintisan pondok di Cikungkurak.

Sifat Umi yang lembut, penurut dan ta'at, sangat mendukung penggapaian Buya dalam meniti cita-citanya membangun pondok. Watak Buya yang keras dalam menerapkan disiplin bagi santrinya, seolah dilengkapi oleh sifat Umi yang sabar dan penyayang kepada santri. Jika santri mendapatkan hukuman dari Buya, maka Umi akan hadir layaknya seorang ibu yang menghibur dan memotivasi agar anaknya tidak menangis dan tumbuh semangat kembali.

Walaupun Umi cantik dan shalehah, selama saya berada di pondok bahkan boleh dikatakan dekat dengan keduanya, Buya tidak pernah menampakkan "kasih-sayangnya" apalagi memanjakan Umi, dan Umi bersikap "sami'naa wa athanaa", yang apapun ucapan dan titah Buya pasti akan dilaksanakannya, bahkan tidak jarang Umi harus menerima hukuman seperti layaknya santri. Tapi masa iya sih tidak ada kasih sayang diantara keduanya? Bukankah keduanya telah hidup "sapapait samamanis" (seia sekata) dan telah melahirkan enam orang putri dan satu orang putra?.

Anggapan saya mulai terbantahkan jauh setelah saya berada di luar pondok. Ketika itu Umi dirawat di Rumahsakit dan saya berkesempatan membesuknya, maka dengan mata kepala sendiri saya menyaksikan Buya mengelus-elus Umi sambil menyatakan kasih-sayangnya kepada Umi; Maka di situ saya merasa kaget dan berbicara dalam hati: "Aeh, naha geuning Buya teh nyaaheun ka Umi!". (Oh, ternyata Buya sayang juga kepada Umi!)

Buya & Umi melepas santri untuk berlibur, tahun1987
Buya & Umi melepas santri untuk berlibur, tahun1987

Di lain waktu, saat saya menerima kabar bahwa Umi jatuh sakit dan dirawat di Rumah Sakit Al-Islam. Tentu, sebagai santrinya saya berkeinginan membesuknya, lalu saya menelepon salah satu mantunya, Ust. Irwan, meminta izin untuk membesuknya, tapi karena situasinya tidak memungkinkan karena penerapan PSBB-Covid 19 dan Umi berada di ruang ICU, lalu ia mengabarkan keadaan Buya yang terus-menerus menangisi Umi.

Puncak bukti Buya sangat menyayangi Umi, terjadi ketika Umi dinyatakan telah wafat. Dari mulai Umi memejamkan matanya yang terakhir, janazahnya dipulasara, hingga dimasukkan ke liang lahat, Buya terus menangis seperti anak kecil yang kehilangan mainan yang paling disayanginya. Bahkan setelah beberapa hari Umi dikuburpun, Buya benar-benar merasa lehilangan dan berduka atas kepergian Umi.
Itulah bukti betapa sayang dan cintanya Buya kepada Umi.

Buya & Umi mengajak santri botram,  tahun 1999
Buya & Umi mengajak santri botram,  tahun 1999

Mendapat Pendamping Yang Baru

Setelah Umi Syaja'ah menyelesaikan tugasnya mendampingi Buya selama 40 tahun dan beristirahat untuk selamanya, maka seusai tahlilan yang ke-40 harinya, Allah Dzat Yang Mengatur segalanya mengirimkan gantinya untuk mendapingi dan menemani Buya di masa senjanya. 

Maka pada pada hari Jum'at malam Sabtu, tanggal 26 Juni 2020 H. yang bertepatan dengan tanggal 6 Dzulqaidah 1441 H. Buya mempersunting Ibu Hj. Ela Nurlaelah, seorang janda cantik yang ditinggal mati suami. Ia merupakan teman ngaji Umi saat berguru kepada Buya ketika merintis pondok di Cikungkurak.

Tentu, sebagai muridnya, saya berharap Ibu Hj. Ela Nurlaelah bisa tampil menggantikan posisi Umi  untuk menemani masa tua Buya, serta pengaping bagi keluarga dan para santrinya.

Buya & Pondok Tempodulu Dalam Kenangan Para Alumni

Sampai saat ini, Buya melalui Pondok Pesantren Al-Basyariyah-nya telah berhasil mencetak ribuan kader-kader alumni yang menyebar di berbagai daerah. Walaupun profesi mereka bermacam-macam dari mulai kyai pesantren, da'i, ustadz, dosen, guru, ASN/karyawan, hingga pebisnis dan pedagang, tapi jiwa kesantriannya masih melekat, sehingga rata-rata mereka menjadi pemuka & tokoh masyarakat di tempat tinggalnya masing-masing.

Diantara ribuan alumni, ada yang berhasil saya hubungi, dan mereka bercerita tentang pondok dan bertutur tentang perjuangan Buya;

Jajang Rohman
Saya merupakan santri Ma'hadiyah generasi "mutaqadimin" yang merasakan bagaimana enerjiknya Buya dalam mendidik dan mendisiplinkan para santrinya. Kerasnya Buya dalam mendidik, tidak hanya dirasakan oleh santri, tapi juga dikenal di kalangan orangtua santri dan masyarakat luas.

Masih ingat dalam ingatan, Buya sering mengatakan, "Jadilah pendidik bukan pengajar. Kalau pengajar, setelah selesai mengajar maka selesailah permasalahan. Tapi kalau pendidik akan terus berupaya agar yang diajarkan bisa dipraktekan dalam amal".
Buya mengatakan, jika beliau marah, maka marahnya itu dalam rangka mendidik, dan dengan marahlah beliau berpendapat masalah akan cepat terselesaikan.

Jika Buya sedang mengajar atau berbicara, beliau sampaikan dengan mimik serius, keras, tegas dan berwibawa, sehingga suasana benar-benar hening, dan saya merasa termotivasi ingin seperti Buya.
Saya masih teringat nasihat Buya: "Sing bener ngaji, sing serius ngaji (yang benar mengaji, yang serius mengaji), dan jangan sepelekan mengaji agar kalian menjadi pemimpin di masyarakat kelak".

Walaupun waktu itu tidak merasa nyaman dengan kerasnya disiplin yang Buya terapkan terlebih saya sering melanggarnya, tapi sangat banyak hikmah yang saya dapatkan, dan saya berupaya bagaimana caranya agar mendapatkan sesuatu yang menjadi kebanggaan kedua orangtua sesuai harapannya. Maka alhamdulillah, berkat do'a orangtua serta didikan Buya dan guru-guru lainnya, hidayah dan barokah saya dapatkan sehingga saya mendapat kepercayaan dan peran di masyarakat.

Para santri sedang makan, tahun 1986
Para santri sedang makan, tahun 1986

Di mata saya, Buya merupakan sosok pejuang dan pekerja keras dalam mengejar cita-citanya, harta dan tenaganya beliau korbankan untuk membangun pondok, beliau rela hidup sederhana dan tidak jarang harus tidur di emperan pondok. Istirahat baginya adalah perpindahan aktifitas ke aktifitas yang lain, sedangkan rekreasinya adalah mengurus santri.

Dari hasil kerja kerasnya, saat ini pondok memiliki belasan hektar dengan bangunan yang cukup megah dan ribuan santri yang tersebar di empat kampus. Tentu, sebagai alumni, saya merasa bangga, dan berharap jika Buya telah tiada keluarga BJI dan seluruh alumni bisa melanjutkan perjuangan Buya, sesuai amanatnya.

(Jajang Rohman, alumni Ma'hadiyah periode 1979 - 1988)

Tatang Sam'un Al-Ghazy:

Pada tahun 1979 saya masuk pengajian muda-mudi dengan status "santri kalong". Saat itu orang memanggil saya Tatang Cely "preman pasar" karena siangnya saya bekerja di Pasar Leuwipanjang ditambah "sangadulang kumis baplang" dan rambut "jabrig", serta jika berangkat ke pondok biasa naik motor trail.

Pada tahun 1982 saya berhijrah masuk kobong, pekerjaan di pasar saya tinggalkan, lalu saya bergabung ke pengajian Ma'hadiyah yang mengkaji kitab kuning dan Bahasa Arab dengan didikan dan disiplin Buya yang keras. 

Di luar jadwal ngaji, saya ditugaskan Buya menjaga kebersihan WC dan kamar mandi santri. Ketika Buya membedah Malam Lailatul Qodr yang menceritakan umat Nabi Musa, bernama Sam'un Al-Ghazy yang berjuang selama 83 tahun, maka saat itu juga secara resmi Buya mengganti nama saya menjadi "Tatang Sam'un Al-Ghazy".

Saat Buya membuka lahan LPK, beliau mendirikan "Saung Palalangon", lalu saya bertiga (Mukarom dan Muslih) ditempatkan di tempat ini. Dan selama 40 malam Buya bersama para santri tidur lalu di sepertiga malamnya shalat tahajud dan wirid di lapangan terbuka.

Mungkin karena perkembangan pondok yang cukup pesat, pada tengah malam Buya didatangi sekitar 12 orang tak dikenal, Buya bercerita, bahwa dirinya dituduh kerjasama dan didanai oleh Uni Sovyet (Rusia). Tapi Buya tegar, segala fitnah dan rintangan beliau kesampingkan demi membangun pondok.

Dari hasil do'a yang dipanjatkan, ada beberapa kejadian aneh bin ajaib kala itu, diantaranya Buya dikirimi wesel sebesar Rp. 75.000,- dari orang yang tidak dikenalnya di Sulawesi. Pada kesempatan lain tiba-tiba ada yang mengirimi 60 zak semen.
Sebelum sabda dan irsyadat Buya, dulu dikenal dengan sebutan "Guiden Buya", yang diantaranya Buya berkata:

  • "Hidup bukan mencari uang, tapi uang akan mencari kita"
  • "Jadilah engkau seorang manusia yang kakinya tetap di bumi,  tapi cita-citanya digantungkan ke Bintang Surya".

Pada tahun 1986 - 1991 dengan surat pengantar dari Buya, saya memperdalam kitab kuning kepada KH. Ii Iskandar di Soreang, lalu tahun 1991 saya kembali ke Al-Basyariyah untuk berbakti dan mengajar, sebelum akhirnya terjun ke tengah-tengah masyarakat.

Gebyar malam seni tahun 1988
Gebyar malam seni tahun 1988

Pendidikan dan disiplin Buya, dari tindak-tanduk dan marahnya, menjadi modal saya untuk mendirikan pesantren di Kadungora Garut, dan karena saya alumni Ma'hadiyah, maka saya mendirikan pesantren salaf yang saya namai "Pondok Pesantren Asy-Syukuriyah" dan memiliki santri 350 orang serta majlis ta'lim. Alhamdulillah...

(Tatang Sam'un Al-Ghazy; alumni Ma'hadiyah generasi awal)

Prof. Chaerul Rochman:

Bismillahirahmanirrahim.

Ketokohan, Kelembutan serta dukungan ketauladan Buya,  (Drs. KH. Saeful Azhar) dan Umi Saja'ah sangat mempengaruhi perjuangan kehidupan semua santri termasuk saya. Mereka mempengaruhi pada semua tahapan kehidupan sampai saat ini. Seperti garpu tala yang memberikan resonansi kepada semua benda di sekitarnya. Bagai warna-warna cahaya makna yang memiliki spectrum yang sangat lebar, sehingga tak ada seorangpun yang luput dari berkas cahaya dengan panjang gelombang dan frekuensi yang penuh manfaat. Tahapan manfaat yang dirasakan adalah:

Tahap ketika dan menjelang keluar dari Pondok Pesanten Al-Basyariyah (1983-1988)

Saat itu, waktu dan tenaga dimanfaatkan untuk membekali diri dengan menyimak kitab, ritme kehidupan, mengajar Matematika dan Fisika  (IPA). Selain itu, Buya dan Ummi menugasi saya menjadi tim verifitasi  dan menghitung jumlah jam mengajar dan menentukan honor para guru Al-Basyariyah. Kadang-kadang mewakili Al-Basyariyah untuk mengikuti rapat-rapat di IGTK atau KKM, dll. (biasanya bersama Ust. Endang Noor Rachmat). 

Berkaitan dengan kuliah, skrispsi disusun full dilakukan selama di pondok hingga selesai menjadi sebuah hasil penelitian dan menjadi sebuah skripsi. Sehingga pada tahun 1987, luluslah kuliah di Prodi Pendidikan Fisika IKIP Bandung (sekarang UPI) dan memperoleh gelar sarjana Doktorandus (Drs). 

Aktivitas luar pun tetap dilakukan, yaitu dengan mengajar di beberapa sekolah seperti SMA BPI 1 pagi jalan Burangrang. Selain mengajar juga menjadi Wali Kelas di salah satu Kelas I sampai tahun 1988. Meskipun jarak rumah tidak lebih dari 2 km dari pondok, namun saya tetap berada di asrama pondok, meskipun tak pernah menetap di satu lokasi (berpindah-pindah dari Markaz ke LPK dan berpindah-pindah). 

Kejadian demi kegiatan yang dialami bersama Buya dan Ummi, tak pernah terlupakan. Satu kejadian yang dialami bersama Ust. Endang Noor Rachmat yaitu ketika direndam di kolam Markaz Cibaduyut mulai dari setelah shalat subuh sampai menjelang anak sekolah TK masuk kelas. Namun, di akhir kejadian Ummi memberikan roti dan kopi panas, alhasil (happy ending) juga.

Tahap sesaat melanjutkan bakti di luar Pondok: Tak diduga, awal tahun 1988 mendapat tugas mengajar di Sekolah Indonesia Bangkok, Thailand sebagai guru Fisika, Kimia, Matematika dan PAI. Dua hari sebelum terbang ke Bangkok (Jumat), saya baru meminta ijin Buya untuk melanjutkan kegiatan mengajar di Bangkok.

 Beliau lebih terlihat diam tapi dari raut wajahnya memberikan ijin. Saya sedih, namun saya yakin Buya memberikan doa untuk keselamatan saya. Berlalu lah mengajar di Bangkok dengan segala suka dan dukanya, sampai di akhir tahun 1989. Terasa bekal  hasil mengaji Kitab-kitab diterapkan selama hidup di Bangkok sangat banyak membawa manfaat. Doa dan wirid harian selalu diamalkan. 

Tak heran semua orang di Bangkok, mulai dari penjaga sekolah sampai Duta Besar, merasa sangat berat ketika saya harus menyelesaikan tugas sebelum berakhir masa kontrak (hanya dijalani 2 tahun dari seharusnya 5 tahun). Kenapa, karena saya memperoleh tugas lanjutan sebagai Dosen di IKIP Medan (UNIMED). 

Alhamdulillah teman, atasan, anak-anak di SIB sangat mendukung dan memberikan kesan yang sangat baik. Dari Bangkok harus meneruskan mengajar di Universitas Negeri Medan pada tahun 1989. Sempat pulang ke Bandung untuk menikah dengan seseorang dan segera kembali ke Medan untuk meneruskan perjuangan sampai punya anak pertama. Di akhir tahun 1990 kembali ke Bandung untuk melanjutkan belajar Pascasarjana di IKIP (sekarang UPI). 

Alhamdulillah berkat doa dan barokah pondok pesantren, Magister Pendidikan diraih tahun 1993 (lulusan yang paling cepat). Tidak hanya itu, alhamdulillah, Rektor IKIP Bandung dan Rektor Unimed Medan memberikan kesempatan kepada saya untuk terus melanjutkan mengambil program Doktor. 

Masa-masa yang sangat menyenangkan selama tugas belajar program Doktor. Sebenarnya tahun 1995 selesai kuliah tinggal menyusn disertasi. Namun, karena tugas dan kegiatan yang dilakukan di Kementerian Agama, maka sejak tahun 1995 berkiprah di Departeman Agama dalam berbagai kegiatan.  

Dari 1995 sampai 2001 diisi dengan beberapa tugas di Kementerian Agama sebagai Konsultan Basic Education Project (BEP), Development Madrasah Aliyahs Project (DMAP), Tim Monitoring Nasional ke Madrasah yang ada di Pondok Pesantren, Konsultan Madrasah Model dan berbagai konsultan alat IPA dan APE. Sempat berkiprah di Pondok Al-Basyariyah sebagai Ketua STIT Al-Basyariyah selama 2 tahun, namun akhirnya mengundurkan diri sebagai Ketua STIT karena masalah teknis.

Tahap berbakti di UIN Sunan Gunung Djati Bandung (2001- sekarang): Berkat doa dan barokah mondok di Al-Basyariyah juga, tahun 2001, Prof.Drs. Endang Soetari (Rektor IAIN Bandung dan Prof. Dr. Tafsir (dekan Tarbiyah) mengajak saya untuk mutasi ke UIN Bandung. Alhamdulillah proses kepindahan dari Universitas Negeri Medan  ke UIN Bandung sangat cepat. 

Selanjutnya rumah dan aktivitas difokuskan di Bandung, Alhamdulillah mengajak istri menunaikan rukun Islam kelima ibadah haji tahun 2004. Sampailah di tahun 2010 dapat menyelesaikan program Doktor Pendidikan Fisika di UPI Bandung (yang beberapa saat cuti). Sejak itulah aktivitas  saya dilakukan di Bandung dan Jakarta. 

Di Bandung sebagai Dosen di UIN Bandung (Ditugasi di Pusat Penjaminan Mutu Al Jamiah, Deputi Korsorsium Keilmuan WMI, Ketua Prodi Pendidikan Fisika, dan Auditor Internal UIN Bandung). Kegiatan di Jakarta sejak 2001 sampai sekarang dilewati berbagai aktivitas: Konsultan Nasional USAID Prioritas, Konsultan USAID SMART Lab, Tim Pokja di Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren,  Pokja SPAN  UM PTKIN,  Pokja Kompetisi Sains Madrasah, Pokja Seleksi Nasional MAN IC, dan Pokja AKSI Kementerian Agama ( sampai sekarang)

Saat ini, saya merasa Buya dan Ummi bagai sinar Polikromatik yang dapat memperkaya hati, semangat dalam berjuang dan pribadi yang ingin selalu bermanfaat (meskipun sedih belum dapat berkiprah dan membantu Pondok Pesantren Al-Basyariyah) sehingga menghasilkan berbagai warna kehidupan yang indah, bermakna dan berbarokah. 

Namun secara pribadi sangat merasa bersyukur sempat belajar di PP. Al-Basyariyah. Ada dua hal yang saat ini saya harus bersyukur, pertama Alhamdulillah saya diberi kesempatan untuk mendapatkan jabatan fungsional tertinggi pada perguruan tinggi sebagai Guru Besar (Profesor) pada bidang keahlian Pendidikan Fisika oleh Rektor UIN Bandung, dan kedua sampai saat ini saya masih merasa ada di PP Al-Basyariyah, karena selalu didampingi oleh salah seorang alumni santriwati PP Al-Basyariyah. Karena ia selalu setia mendampingi dalam seluruh kehidupan saya  (sampai saat ini lebih dari 30 tahun), yaitu Hj Imas Masriah (alumni Madrasah Aliyah Angkatan Pertama).  Semoga Allah Swt. memberikan barokah dan ridha-Nya. Aamiin!

(Chaerul Rochman; alumni Ma'hadiyah 1983-1988)

Deden Suryadi

Selama saya mondok di Al-Basyariyah, banyak pengalaman yang saya dapatkan dari Buya. Buya bagi saya adalah sosok seorang pemimpin yang tegas dan berwibawa di hadapan para santri, beliau tidak pernah meninggalkan senyumnya di saat bertemu demgam orang lain, beliau seorang panutan bagi para santrinya.

Dalam menerapkan kedisiplinan kepada para santrinya, tidak ada pilih kasih, kalau beliau  sedang menghukum santrinya tidak pernah melihat keadaan; dimana beliau melihat pelanggaran, di saat itu pula Buya memberikan hukuman kepada santrinya. 

Beliau adalah sosok figur-panutan bagi saya, beliau seorang yang benar-benar menggunkan waktunya dengan sebaik-baiknya, beliau mengajarkan saya untuk belajar tepat waktu baik ketika belajar ataupun melaksanakan shalat berjama'ah, telat sedikit saja maka siap-siap mendapat semprotan, dan Buya akan memberikan hukuman yang bervartatif sesuai dengan pelanggaran yang santri lakukan, dari mulai ngorondang (merangkang),  jalan jongkok, dijemur, diludahi, hingga ditempeleng. 

Namun herannya santri yang dihukum tidak ada yang melawan. Tapi Buya pernah berpesan, "Apabila nanti kalian jadi pemimpin jangan kalian lakukan tamparan ke muka anak buah kalian langsung dengan tangan, tapi kalau kalian mau melakukannya, lakukan tamparan dengan alat seperti buku yang tidak membahayakan".

Saat Buya masih muda, beliau turun langsung memimpin santri berolah-raga, lari pagi, kadang sambil berziarah ke makam Mahmud, dan pada tahun 1990 beliau mengantar kami ke Gontor unuk kegiatan Jamrana Pramuka tingkat alumni Gontor, yang saat itu tim pramuka kami dapat juara-1 baris-berbaris.

Setiap ba'da shalat Shubuh, Buya selalu memberikan wejangan kepada seluruh santrinya tentang kedisiplinan dan kesiapan para santri dalam menghadapi tuntan zaman yang akan mereka hadapi nanti di saat kami kembali. Masih terngiang di telinga saya, Buya berkata: "Jika nanti kalian sudah terjun ke masyarakat, jadilah  seorang yang berani tampil di segala panggung kebaikan".

Sebelum terjun ke masyarakat saya sempat  kuliah dan mendapatkan gelar akademik S-2.

Dengan disiplin yang pernah saya terima, saya berterimakasih, dan alhamdulilah saya selalu menerapkannya, terutama buat saya pribadi. Dan dengan ilmu, do'a, dan keberkahan dari Buya, saya mampu beramal dan berperan di tengah-tengah masyarkat.

(Deden Suryadi; Alumni santri TMI kelas Intensif)

Nenden Yuhaeni

Saya masuk pondok saat Al-Basyariyah baru berdiri dan Buya sendiri masih segar, kuat, dan semangat-semangatnya dalam mendisiplinkan para santrinya. Disamping menjadi santri Ma'hadiyah angkatan pertama, saya ditugaskan Buya mengajar pada Taman Kanak Kanak Al-Basyariyah.

Waktu dan aturan pondok harus benar-benar dipatuhi baik oleh santri terlebih oleh para guru, dan sekecil apapun pelanggaran akan kena hukuman.

Dimarahi, diberdirikan, direndam, dan dikorondangkeun (berjalan merangkang)  merupakan makanan sehari-hari.

Saya masih ingat, kalau Buya sedang memberi pelajaran atau sedang berbicara harus betul-betul diperhatikan, didengarkan, tidak boleh ada suara dan bisikan sekecil apapun.

Hasil didikan Buya yang saya terima, saya aplikasikan saat saya terjun di masyarakat di tempat tinggal saya di Bekasi, yaitu disiplin waktu dan disiplin saat belajar. Begitupan pengurusan dan pengorganisasian yang matang, termasuk pencatatan serta penulisan piagam & tanda kelulusan sangat saya perhatikan sebagaimana Buya melakukannya, sehingga alhamdulillah saya mampu mengangkat lembaga pendidikan yang saya pimpin dari Taman Kanak Kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), dan Sekolah Menengah Pertama (SMP), yang asalnya kurang dikenal menjadi lembaga  pendidikan yang diperhitungkan dan difavoritkan.

(Nenden Yuhaeni; alumni santriwati pertama yang diasramakan)

Ucu Syamsiah

Saya masuk Al-Basyariyah tahun 1985 dan merupakan angkatan pertama Aliyah, dan termasuk satu diantara tiga santriwati yang ikut mengabdi pada tahun 1988. Dari sekian banyak pesan dan kesan yang saya rasakan selama mondok, saya ceritakan sebagiannya.

  1. Buya dan Umi adalah sosok guru yang wajib saya teladani. Buya itu sangat disiplin sehingga selama saya menjadi santrinya, tidak pernah ada satu jam pelajaran pun bebas tanpa ada guru, kalau guru telat datang maka Buya langsung masuk dan mengisinya.
  2. Ketika belajar kepesantrenan, alhamdulillah saya selalu masuk kelas takhasus dengan metode hafalan, dari mulai Kitab Mutamimah, Yaqulu sampai Nahwu-Sharaf. Satu kenangan yang tidak bisa dilupakan ketika nashrif salah atau tidak hafal, maka semua berdiri diatas meja, atau ngorondang. Alhamdulillah dengan didikan Buya, kini saya berusaha menjadi guru yang disiplin dan bisa mengamalkan ilmu tashrifan ke murid-murid saya.
  3. Buya adalah sosok guru yang ikhlas dalam mendidik santrinya, sehingga pujian, hadiah sampai hukuman yang beliau lakukan tidak ada tujuan lain kecuali agar santrinya berhasil.
  4. Setelah 30 tahun saya keluar pondok, tahun 2016 Aliyah Al-Basyariyah terakreditasi yang salahsatu asesornya adalah Pak Zaenal Muttaqin. Ketika ia mengatakan bahwa dirinya merupakan suami dari Ucu Syamsiah, Buya dan Umi pun masih ingat saya. Alhamdulillah hati saya sangat senang karena ternyata Buya adalah seorang guru yang tidak melupakan muridnya.
  5. Terima kasih Buya, terimakasih Umi, atas ilmu dan didikannya sehingga alhamdulillah saya mampu terjun di tengah-tengah masyarakat, dan sedikit demi sedikit berusaha menjadi orang yang baik dan bermanfaat bagi orang lain. Saya tidak mampu membalas semua kebaikan Buya dan Umi, dan hanya kepada Allah-lah saya panjatkan balasan pahala-Nya, Aamiiin...

(Ucu Syamsiah; alumni TMI Putri)

Ine Gantini

Tujuh tahun saya menjadi santri Al-Basyariyah, banyak pengalaman pendidikan, organisasi & pembinaan karakter dengan disiplin tingkat tinggi yang saya terima selama itu. Antara susah, senang, betah dan ingin pulang bercampur saya rasakan.

Dari itu semua, saya merasakan banyak manfaat kebaikan yang terpatri dalam setiap gerak langkah kehidupan di setiap lingkungan yang saya masuki.

Selepas mondok, saya melanjutkan pendidikan tinggi hingga mendapat gelar akademik Magister Pendidikan Islam, sebelum akhirnya diterima sebagai aparatur sipil negara.

Sumedang adalah kota kedua saya, dan disinilah saya merasakan betul hasil didikan Buya terutama tentang kemandirian dan disiplin di setiap sendi kehidupan, sehingga dalam berorganisasi saya dipercaya sebagai ketua Persatuan Guru PAI SMP se-Kabupaten Sumedang, dan dalam kedinasan saya ditugaskan sebagai pengawas.

Tentu, saya merasa bangga menjadi alumni Pesantren Al-Basyariyah, mudah-mudahan saya dapat menjaga nama baik Buya dan almamater sepanjang hayat, dengan menjalankan tugas besar ini secara amanah dan istiqamah. Terimakasih Buya atas didikannya, semoga Allah meridhai dan merahmati Buya sekeluarga, Aamiin!

(Ine Gantini; alumni santri TMI 1984-1991)

Irsyadat & Petuah Buya

Drs KH Saeful Azhar
Drs KH Saeful Azhar

Saat kami di pondok, setiap ba'da shalat Shubuh berjama'ah atau menjelang kepulangan, Buya selalu memberi irsyadatnya yang wajib ditulis oleh para santri. Diantara sekian banyak irsyadat itu, saya sajikan sebagian diantaranya, yaitu sebagai berikut:

  • Pondok ini milik umat Islam; jika Buya mati pondok jangan ikut mati.
  • Santri Al-Basyariyah harus siap memimpin dan siap dipimpin.
  • Kalian  harus menjadi santri yang intelek, atau intelektual yang nyantri; Sarjana yang ulama, atau ulama yang sarjana.
  • Santri Al-Basyariyah harus menjadi pemimpin mutaqin, mutafaqih fiddin, berbudi luhur, beramal ikhlas, terampil, dan berjiwa juang.
  • Kalian jangan mencari kerja, tapi harus mampu menciptakan lapangan kerja.
  • Kalian harus menjadi pelopor dan tampil dalam setiap panggung kebaikan.
  • Janganlah berhenti sampai di sini! Pondok hanya memberi kalian kunci yang akan melipatgandakan kegunaannya untuk membuka pintu-pintu dalam kehidupan.
  • Sudah banyak yang kalian terima, maka gunakanlah segala macam bentuk pendidikan di pondok ini yang sudah kalian dapatkan.
  • Saatnya kalian berbuat dan saatnya kalian memberi. Maka kerja keraslah untuk memberi, sebab dengan memberi berarti kalian telah menerima dan mendapat khairunnas anfa'uhum linnas.
  • Janganlah kalian lalai,  tetaplah belajar, ambillah  ilmu-ilmu yang belum kalian dapatkan di pondok ini, dan amalkanlah!
  • Pendidikan yang dialami selama di pondok ini adalah sebuah proses menempa diri agar kita mampu menjadikan hidup ini lebih bermakna, berarti, dan berguna bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, dan umat.
  • Hidup ini hanya sekali,  maka hiduplah yang berarti.
  • Sejauh mana kita memandang, maka orang lain akan lebih jauh
    memandang kita.
  • Biarlah santri kabur karena tidak kuat disiplin, asal jangan kabur
    karena kesan pondok tidak disiplin.
  • Al-Basyariah adalah tempat orang-orang yang baik dan orang-orang yang
    tidak baik yang ingin menjadi baik.
  • Mantapkan segala sesuatu yang sedang kau tempuh. Tempuhlah cita-citamu,
    apapun yang akan terjadi, hadapilah. Kalau tidak kuat, mska hijrahlah supaya
    tidak tersiksa.
  • Pemimpin yang sukses adalah orang yang dapat mengerakan orang lain dengan
    telunjuknya untuk mencapai tujuannya.
  • Jangan takut hidup miskin. Kalau tak punya harta, milikilah jiwa juang. Dengan jiwa juang kalian akan
    dapat berbuat seperti orang kaya atau jadi orang kaya.
  • Pondok akan maju jika sunah dan disiplin sepenuhnya telah
    dihormati dan dikelola oleh santrinya sendiri.
  • Kalau dimarahi oleh guru, diamlah.
  • Kalau kita sudah dalam keadaan panik dan sibuk, maka kita berjalan seperti
    meluruskan benang kasut, kalau itu sudah dilakukan akan terlatih
    ketekunan dan kewaspadaan.
  • Barangsiapa takut kehilangan santri dalam menegakan disiplinnya, maka justru akan kehilangan santri.
  • Disiplin itu tidak enak, tapi lebih tidak enak lagi kalau tidak ada disiplin. Disiplin tanpa hukuman, bagaikan ular tak berbisa.
  • Berjasalah pada pondok, namun jangan sekali-sekali minta jasa.
  • Kebosanan dalam kebebasan lebih menyakitkan dibanding kejenuhan
    dalam disiplin.
  • Biar santri tiggal satu akan kudidik sampai sukses. Biar santri kabur  karena kesan pondok disiplin daripada kabur karena tidak disiplin.
  • Banyak mendengar, banyak melihat, banyak membaca maka akan
    menambah pengetahuan.
  • Guru yang baik adalah guru yang menambah terus ilmunya.
  • Perjuangan tanpa pengorbanan tidak akan berhasil.
  • Apapun yang kau lihat, yang akan kau temukan, yang kau rasakan,
    yang kau dengar, yang kau baca, dan yang terjadi di pondok ini adalah sebagai
    pelajaran, pendidikan dan latihan hidup.
  • Seorang pemimpin yang baik, jika dia tahu semua kelemahan yang dipimpinnya.
  • Cara Buya mendidik orang, semakin tinggi maka akan semakin keras.
  • Tidak berhak santri mengeavaluasi kyai, tapi masyarakatlah yang akan mengevaluasi kyai, jika tidak maka kejadianlah yang akan mengevaluasinya.
  • Sekalipun kamu pintar dan banyak ilmu tapi akhlak tidak benar, maka tidak akan
    dibutuhkan orang.
  • Bangun pagi adalah kunci Al-Basyariyah untuk dihargai orang.
  • Kalau kau menjadi pemipin, maka perhatikan orang yang engkau urus.
  • Segala kepemimpinan Buya cukup kau jadikan contoh jika Buya telah
    mati.
  • Catatlah apa yang kau dapatkan, niscaya kau akan menjadi manusia sukses.
  • Suksesnya seseorang karena ia mau mencatat, dan gagalnya seseorang karena ia tidak mau mencatat.
  • Kalau ingin hidupmu maju maka engkau harus banyak mendengarkan
    omongan orang tua.

Inilah sebagian Irsyadat Buya yang sempat saya kumpulkan, serta mudah-mudahan menjadi bekal para santri untuk berjuang dan berkarya di tengah-tengah masyarakat.

Aamiin Ya Rabbal 'alamiin...!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun