Mohon tunggu...
Endah Raharjo
Endah Raharjo Mohon Tunggu... -

~...~

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Tiga Perempuan tentang Tiga Perempuan

8 Maret 2011   05:01 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:58 511
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagi saya, memotret perempuan dan perjalanan hidup mereka, lalu membingkainya dengan cerita, selalu menggairahkan. Di Hari Fiksi Kompasiana yang berlangsung Jum'at malam hingga Sabtu pagi minggu lalu, ada puluhan prosa yang mengangkat tema pokok tentang suka duka perempuan. Di antaranya ada tiga yang saya suka, kebetulan tiga-tiganya ditulis oleh perempuan. Dalam tulisan pendek ini, saya ingin menyampaikan kesan-kesan saya atas tiga prosa itu. Akan saya awali dengan yang paling pendek dulu, prosa berjudul 'Mirip Bapaknya' karya Dina Sulistyaningtyas. Dalam prosa yang jumlah katanya kurang dari 200 ini, Dina memotret tokoh Aku, seorang perempuan tak bernama. Gaya bertutur dan diksi yang sederhana justru memperkuat pesan yang disampaikan, yang menghentak di akhir cerita. [caption id="attachment_93078" align="alignleft" width="300" caption="Diambil dari ilustrasi cerita "][/caption] Banyak perempuan mengalami kisah yang dialami si Aku dalam 'Mirip Bapaknya'. Bukan rahasia lagi, banyak lelaki yang gemar menanam benih dimana-mana, bukan hanya di rahim istrinya. Sebagai akibatnya, banyak perempuan (baca: istri) dipaksa atau terpaksa menerima saja buah dari hasil 'bercocok tanam' suaminya itu. Dalam 'Mirip Bapaknya', saya berkesimpulan bahwa sebagai istri, si Aku 'memilih' (bukan terpaksa maupun dipaksa) merawat buah rahim perempuan lain, karena suatu alasan yang tidak disebutkan dalam cerita. Di benak saya, ini salah satu bagian yang menguatkan cerita, pembaca bebas berimajinasi atau mengira-ira. Meski lamat-lamat, melalui tokoh Aku, Dina ingin menyampaikan pesan bahwa dalam diri perempuan selalu ada kasih sayang seorang ibu. Prosa yang kedua bertajuk 'Aku Ingin Kaya', ditulis oleh Uleng Tepu. Bagi saya, tema yang diangkat Uleng cukup aktual. Walaupun angkanya masih sering diperdebatkan, menurut berbagai sumber, termasuk UNIFEM, 70% dari orang miskin dunia adalah perempuan. Delapan dari sepuluh perempuan pekerja sangat rentan terhadap ancaman pengangguran bila terjadi krisis ekonomi global. Perempuan sering mengalami diskriminasi bila hendak mengakses modal. Hambatan yang menghadang perempuan untuk keluar dari kemiskinan jauh lebih kompleks dibandingkan yang dihadapi laki-laki. Informasi lebih lengkap salah satunya bisa dibaca di sini. Dalam situasi semacam itu, si Aku - lagi-lagi tokoh tanpa nama - memilihmenyerah, menjual satu-satunya 'modal' yang ia miliki: tubuhnya. Meski acap kali tubuh perempuan pun berada di bawah kontrol orang lain: ayahnya, germonya, pacarnya atau suaminya. Ah. Pedihnya. Pil pahit yang ditelan si Aku ternyata tak mempan mengobati penyakit kronis bernama kemiskinan. Kisah sedih ini tak berujung, persis kemiskinan itu sendiri. Para ahli 'pemberantas kemiskinan' yang bergaji luar biasa tinggi dan mengadakan rangkaian seminar di berbagai hotel berbintang itupun tak jua menemukan ujung-pangkalnya. [caption id="attachment_93079" align="alignright" width="300" caption="Diambil dari ilustrasi cerita Aku Ingin Kaya"]

12995600401306348946
12995600401306348946
[/caption] Prosa ketiga berjudul 'Perempuan dalam Cermin', karya Herlia Annisa. Lagi-lagi sebuah kisah duka yang dilakoni perempuan tanpa nama. Perempuan dalam cerita itu, Si Aku, tak tahan terus-terusan disakiti oleh suaminya. Hingga suatu malam ia memutuskan 'meminjam karakter perempuan lain' untuk membunuhnya. Cerita yang tak asing lagi dan akhir-akhir ini makin sering kita dengar dan baca, di televisi, media massa atau dari mulut ke mulut karena terjadi di lingkungan kita. Seorang sahabat yang berpengalaman menangani kekerasan dalam rumah tangga pernah berpesan begini pada para perempuan muda: "Bila pada masa pacaran seorang lelaki menunjukkan tanda-tanda posesif yang berlebihan, suka mengatur, suka mencela, mudah cemburu tanpa alasan, menyakiti dengan kata-kata kasar, maka berpikir ulang untuk meneruskan pacaran itu. Bila di awal pernikahan pasangan kita mulai menggunakan tangannya untuk berbicara, jangan ragu-ragu, segera mencari bantuan. Kekerasan itu kejahatan, tidak ada seorangpun, laki-laki maupun perempuan berhak menyakiti siapapun, laki-laki maupun perempuan." Ya. Tiga-tiganya 'hanya' cerita, namun itu potret buram masyarakat kita. Saya bertanya-tanya, mengapa para penulis perempuan itu memilih tokoh 'aku'? Apakah dengan begitu mereka menjadi lebih dekat dengan karakter yang dipotretnya? Apakah mereka ingin menyatakan simpati atas derita yang dialami perempuan lainnya? Biarlah jawabannya menjadi rahasia Uleng Tepu, Dina Sulistyaningtyas dan Herlia Annisa. [caption id="attachment_93080" align="alignright" width="300" caption="Diambil dari ilustrasi cerita Perempuan dalam Cermin"]
1299560099514780851
1299560099514780851
[/caption] Terlepas dari tema yang tak pernah basi seputar jatuh-bangun para perempuan di sektor domestik dan publik, ijinkan saya melihat bagian-bagian cerita yang menurut saya bisa 'diperbaiki' agar lebih nendang. Kisah "Mirip Bapaknya", menurut saya alinea ini bisa dipermak lagi:

Kali ini berbeda, mereka hanya mengusap pipi bayi dalam gendonganku, memandang datar, berbicara denganku seadanya, kemudian pamit. Tak ada tawa, tak ada canda, tak juga keluar kata mirip-bapaknya.

Saya berharap di bagian itu disisipkan semacam 'ungkapan kekaguman' dari teman-teman si Aku atas pilihan yang telah diambilnya. Dalam cerita 'Aku Ingin Kaya', menurut saya, kesamaan nasib dua kakak perempuan Si Aku terasa berlebihan. Bisa jadi kalau Uleng memilih nasib buruk yang berbeda, kisahnya akan lebih hidup. Yang terakhir, cerita "Perempuan dalam Cermin" mengandung sedikit inkonsistensi alur. Di paragraf bagian atas si Aku dikisahkan tidak tahu menahu tentang perubahan perilaku suaminya, seperti ini:

Entah apa gerangan yang telah merasuki hati dan jiwa lelaki itu, hingga ia menjadi berubah kasar dan beringas. Mungkin karena tekanan pekerjaan, mungkin juga karena kekalahan di meja judi, atau mungkin memukul memang kegemarannya. Entahlah!

Namun di paragraf bagian bawah, diceritakan adanya 'perempuan lain yang dekat dengan si suami'. Mungkin, bila sebab-sebab perubahan perilaku itu dikisahkan lebih jelas di bagian awal, lalu dipertajam lagi di bagian bawah, alur cerita akan makin kuat. Selain hal-hal di atas, saya perhatikan teman-teman masih sering kurang cermat dalam memakai kata depan dan awalan, khususnya pemakaian 'di'. Semoga 'hal-hal kecil' seperti ini bisa mulai diperbaiki, meskipun seorang editor akan melakukannya bila cerita-cerita kita akan dimuat di media massa atau dibukukan. Perlu saya sampaikan bahwa tulisan ini bukan 'ulasan sastra'. Pun saya akui, dengan mengulas tidak berarti saya lebih pintar dari para penulis yang karyanya saya amati. Tulisan ini sekedar cara saya mengapresiasi cerita-cerita yang telah ditulis oleh teman-teman, untuk menunjukkan bahwa saya - semoga juga pembaca lain - menikmati kisah-kisah di kanal fiksi hingga ke detil-detilnya. Semoga teman-teman penulis fiksi makin giat mengasah pena agar karya-karya yang dihasilkan lebih tajam dan bersuara.

*****

Catatan: Kompasiana beruntung menjadi pilihan para penulis pemula untuk memajang karya mereka yang luar biasa

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun