Mohon tunggu...
Endah Lestariati
Endah Lestariati Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Seorang banci kolam [renang] yang sedang butuh vitamin K; Kamuuuuuuuuuu

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Semangat Membuat Cahaya Ilmu dan Agama Kembali Berpendar Untuk Kemajuan Peradaban

3 September 2012   12:19 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:58 706
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13481679891036127356

 

  [caption id="attachment_200091" align="aligncenter" width="500" caption="copy paste semena-mena dari sebuah link"][/caption] Hakekat sebuah perjalanan bukanlah sekedar mengagumi dan menemukan tempat-tempat unik di suatu daerah dengan biaya semurah-murahnya. Makna sebuah perjalanan adalah bagaimana perjalanan tersebut harus bisa membawa pelakunya naik ke derajat yang lebih tinggi, memperluas wawasan sekaligus memperdalam keimanan.  

Saya setuju banget sama quote di halaman 6 Novel 99 Cahaya di Langit Eropa ini. Sebuah buku tentang perjalanan mempelajari sejarah Islam di Benua Eropa. Kenapa berangka 99? Tentu saja karena Asmaul Husna, Nama-nama indah Allah yang berjumlah 99 yang menjadi icon penerang perjalanan Islam. Sebagai seorang gembelita (ini hanya sebutan ala anak bawang saya untuk traveller), tentu saja buku ini terasa sangat beracun bagi saya, menggugah keinginan untuk bisa mengikuti jejak Hanum dan Rangga (sepasang penulis buku ini sekaligus tokoh utama novel) menapaki tempat-tempat bersejarah di Eropa yang menyimpan cerita kejayaan Islam di masa lalu, tidak terlepas pula oleh masa kegelapan (orang Eropa lebih suka menyebutnya sebagai abad pertengahan), ketika Eropa didominasi oleh doktrin agama yang seolah mengharamkan segala bentuk ilmu pengetahuan, hanya mengagungkan kebenaran gereja, hingga gebrakan renaissance yang sebagian dipelopori oleh aktivis muslim dari Andalusia (Spanyol). Pengetahuan sejarah lewat penuturan Hanum ini menjadi sangat menarik, mengalir ringan dengan gaya bahasa yang mudah dicerna. Secara pribadi, saya semakin tertarik mengulik sejarah arsitektur di balik bangunan-bangunan monumental yang diceritakan Hanum dan Suami.

Al hambra di Granada yang menjadi saksi bisu benteng terakhir pertahanan Islam di bumi andalusia. Entah kenapa dari cerita novel, saya jadi ngebayangin efek ROL matahari jingga senja hari yang membias syahdu semakin memperkuat nuansa merah istana ini. Kemegahan Mezquita di Cordoba yang telah beralih fungsi dari Masjid menjadi Cathedral. Sebalinya, Hagia Sophia di Istanbul yang awalnya gereja Kristen Ortodoks, sempat beralih fungsi menjadi masjid sebelum akhirnya diwakafkan sebagai museum sejak pemerintahan Mustafa Kemal Ataturk yang dikenal dengan gerakan sekulerismenya. Episode Istanbul atau Constantinople yang membuat saya penasaran pembagian wilayah Turki dalam dua benua, terpisahkan oleh selat Bosphorus, mendapati visualisasi jembatannya yang sebelas dua belas dengan Suramadu, lengkap dengan metal highlight nya.

Landmark-landmark di Kota Paris Perancis, seperti Arc Du Triomphe de l'Etoile dan Arc du Triomphe du Carrousel yang dibangun atas perintah Napoleon Bonaparte, terkenal sebagai Voie Triomphale atau jalan kemenangan, yang bisa dianaliskan sebagai jalan kemenangan searah dengan kiblat, arah teristimewa pemersatu umat muslim sedunia. Tulisan ini membuat saya bersemangat menggugling artikel yang menguatkan tentang ke-Tauhid-an Napoleon Bonaparte, termasuk tangan kanan, kepercayaan beliau Jacques Francois Menou yang berikrar syahadad sekembalnya dari Mesir.

Orang-orang yang ditemui di tiap perjalanan adalah guru tak terencana. Tinggal di Wina, Austria telah mempertemukan Hanum dengan Fatma, sahabat dari sebatang coklat yang menjadi awal mula petualangannya menyusuri kejayaan islam di Eropa. Fatma wanita sederhana, tidak berpendidikan tinggi yang kebetulan seorang imigran Turki, namun mampu membagi hal-hal sederhana, mengajarkan pelajaran hidup yang mendalam, keindahan hidup cara islam yang toleran berdampingan dengan umat agama lain. Quote Fatma yang sangat mendominasi dan memberi nafas novel ini adalah 'Menjadi Agen Muslim yang Baik'. Gomez, Sergio, Luiz dan sederet nama lain, tokoh-tokoh yang meski hanya sekedar pemain figuran dalam novel ini namun telah menjadi guru tak terencana bagi Hanum dan Rangga.

Kahlenberg di awal cerita mengiming-imingi saya dengan keindahan viewnya dari atas bukti, sekaligus menyimpan cerita dan saksi sejarah kekalahan dan keruntuhan Kekhalifahan Ottoman, beserta kaitannya dengan asal muasal roti croissant, menjelaskan siapa Kara Mustafa Pasha dan hubungan kekerabatannya dengan Fatma. Hanum sungguh cerdas mengemas ilmu pengetahuan dalam format novel dan membaginya kepada pembaca.

Dari novel ini juga membuka mata saya menjadi mengenal Isabella yang tidak sebatas peran telenovela maupun sekedar kisah cinta dua dunia, lambang cinta dan prahara -lirik lagu melayu- tapi justru seorang ratu yang berkuasa memukul mundur kekuatan muslim dari tanah Andalusia. Hal yang ingin ditekankan Hanum tentang pentingnya mempelajari sejarah adalah bukan kemampuan menjabarkan siapa yang menang siapa yang kalah, melainkan mengadaptasi semangat untuk terus menatap ke depan, mengambil sikap bijak darinya dalam menghadapi permasalahan-permasalahan dunia.

Siapa yang tak kenal Louvre? Museum yang tampil iconic dalam film visualisasi novel Da vinci Code-nya Dan Brown ini menyimpan arsip sejarah terlengkap seluruh dunia, termasuk di dalamnya sejarah Islam. Membayangkan Hanum menganalisa tulisan kufic pada sebuah piring terakota, atau mencoba membaca inskripsi tepian kerudung lukisan Bunda Maria, rasanya seperti sedang menonton Nicholas Cage memecahkan teka-teki pada film National Treasure.

Saya pun mengagumi analisis Hanum tentang geometri Ka'bah yang sederhana namun sempurna, mendiskripsikan tentang Islam. Kain hitam sebagai finishing Ka'bah yang mampu menyerap semua spektrum cahaya sebagai asosiasi pencapaian menuju puncak, berkebalikan dengan warna pakaian ihram yang justru paling tidak mampu menyerap satu pun spektrum, karena dia yang harus terserap kembali kepada Allah SWT.

Kesimpulan buku ini mengajak pembaca, terutama umat muslim untuk selalu bangga dengan identitas kemuslimannya, menjadikan agama sebagai sumber energi di muka bumi untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, seperti esensi 'Iqra' saat wahyu Allah turun pertama kali kepada Nabi Muhammad lewat perantaraan Jibril.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun