Mohon tunggu...
Emut Lebak
Emut Lebak Mohon Tunggu... Guru - Guru, Bloger, aktif di komunitas menulis

Hoby menulis travelling

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Suka Duka Menjadi Guru Pesantren

17 Oktober 2022   01:27 Diperbarui: 17 Oktober 2022   05:48 1028
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar interest.com


Menjadi guru di sebuah pesantren yang berbasis boarding sungguh tantangan yang sangat berat. Tanggung jawab yang di pikul bukan hanya ketika jam sekolah, tetapi non stop 24 jam alias full day. Dari bangun subuh jam 4 dini hari sampai bertemu subuh kembali.

Seluruh aktifitas siswa (santri) dari bel masuk sekolah, kemudian shalat berjamaah, ngaji kitab setelah magrib dan setelah shalat subuh. Belajar bersama setelah isya, sorogan setelah shalat duhur semua tanggung jawab guru. Karena guru juga tinggal di asrama yang disiapkan pesantren, guru orang tua kedua siswa. Kadang rasa lelah mendera ingin rasanya keluar biar bisa terbang bebas mengepakan sayap kesana kemari. 

Tapi teringat kembali akan pengabdian terhadap pesantren, dituntut untuk selalu amanah dengan penuh keikhlasan dan tanggung jawab atas semua pekerjaan yang sudah embankan, menuntut saya untuk bertanggung jawab dan amanah dalam setiap pekerjaan. Pesantren mengajarkan tentang keikhlasan dalam bertugas, mengajarkan  untuk belajar bagaimana mengurus siswa dengan baik mendidik dengan benar dan penuh kasih sayang.

Disetiap ajaran baru banyak siswa baru dan mereka harus terbiasa dengan lingkungan yang baru, suasana baru, teman-teman baru, keluarga baru. Kebiasaan di rumah bangun siang, di pesantren dipaksa harus bangun jam 4 sebelum adzan shubuh, mandi harus antri makan harus antri semuanya serba antri.

Budaya antri di pesantren bukan hal aneh. Fasilitas terbatas, jumlah santri yang sangat banyak, otomatis harus ngantri. Antri adalah hal yang sangat mendidik, secara tidak langsung mengajarkan anak didik menjadi sabar. 

Mengantri mungkin membuat sebagian siswa kesal, namun lama kelamaan budaya itu akan melekat dan mendarah daging. Yang sebenarnya tengah mengajarkan realitas kehidupan di antaranya disiplin, tertib, sabar, tidak saling mendahului dan menghargai sesama.

Dengan demikian, seorang santri adalah orang yang sanggup tertib ditengah masyarakat. Menghargai siapa yang dulu dan siapa yang kemudian. Dan itulah budaya santri adalah mengantri,jika dia tidak mau mengantri berarti dia bukanlah santri yang sesungguhnya.

Siswa baru akan kaget dan banyak yang tidak betah dan tidak tahan banting dengan suasana pesantren. Berbagai macam alasan mereka lakukan untuk mencari perhatian, dari pura-pura sakit sampai pura-pura kesurupan, agar mereka dipulangkan atau paling tidak orang tuanya di telpon agar datang ke pesantren. Berbagai macam trik yang santri lakukan sudah menjadi makanan sehari-hari guru pesantren, diperiksa satu demi satu untuk memastikan bahwa si A sakit atau hanya pura-pura.

Ini menjadi tantangan meski kadang rasa jengkel ada, bukan sekali dua kali Tengah malam lagi nyenyak di alam mimpi harus terbangun gegara ada santri yang sakit, keikhlasan benar-benar dituntut, memperlakukan santri selayaknya anak sendiri.

Santri harus mampu beradaptasi dengan sesama santri yang memiliki latar belakang berbeda - beda, pun asal yang berbeda, Dari pendidikan itu mempermudahkan kita untuk berinteraksi dengan orang lain yang memiliki latar belakang yang jauh dari kita. Karena di pesantren kita sudah diajari untuk taat peraturan pesantren, menghargai pendapat satu sama lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun