Tetiba ada kesempatan mengulik Candra Naya dan kawasan Pecinan Glodok ketika mbak Gana, pendiri Koteka mengabarkan kepulangannya ke Indonesia. Kita tahu mbak Gana bermukim di Jerman, maka keberadaannya membuka kesempatan untuk silaturahmi dan jalan-jalan. Dengan antusias saya menyatakan ikut serta.
Rabu pagi mbak Gana mendarat di bandara Soekarno-Hatta, lalu masuk hotel Novotel Gajah Mada. Kami berkumpul sebelum pukul tiga sore, bertujuh. Setelah melepas kangen dengan riuh, barulah kemudian melangkah menuju Candra Naya yang cuma "sejengkal" dari Novotel.Â
Uniknya Candra Naya, bangunan bersejarah yang menjadi cagar budaya adalah letaknya yang tepat di tengah hotel Novotel. Kalau kita masuk dari depan, sebelah kiri adalah lobby hotel sedangkan sebelah kanan gerai kopi terkenal. Space di tengah sengaja dibuat kosong agar Candra Naya langsung terlihat. Seorang petugas sekaligus pemandu bernama Kamal, akan dengan sigap menyambut tamu yang datang.Â
Cantiknya Candra NayaÂ
Candra Naya berada di tengah kepungan gedung. Selain hotel Novotel di depan, ada bangunan apartemen di belakangnya. Tetapi sebenarnya gedung-gedung itu satu kompleks dengan Candra Naya karena tanah yang digunakan adalah milik Candra Naya. Mungkin ini adalah bentuk subsidi silang agar dapat mempertahankan Candra Naya dalam laju kemajuan zaman.Â
Di samping pintu ada plakat berisi penjelasan singkat mengenai Candra Naya. Sedangkan menurut Wikipedia, kira-kira seperti ini: Candra Naya adalah bangunan seluas 2250 meter persegi  dengan arsitektur Tionghoa, merupakan salah satu kediaman Mayor Tionghoa Batavia yaitu Mayor Khouw Kim An. Lokasinya di jalan Gajah Mada No.188, Jakarta.
Khouw Kim An lahir di Batavia pada tanggal 5 Juni 1879, dididik pada sekolah Hokkien namun fasih juga berbahasa Belanda. Merupakan salah seorang pendiri Tiong Hwa Hwe Kwan Jakarta pada tahun 1900. Pada tahun 1905 diberi pangkat lieutenant oleh pemerintah Belanda. Tiga tahun kemudian dipromosikan menjadi kapitein dan dua tahun setelah itu diangkat menjadi major pada tahun 1910.
Sebetulnya tidak banyak benda-benda yang tersimpan di gedung Candra Naya. Setelah pintu masuk, ada ruangan yang hanya berisi foto sang Mayor. Sedangkan di ruang berikutnya ada banner yang dijajar, tentang bangunan-bangunan bersejarah Tionghoa yang berada di kawasan kota tua dan sekitarnya.Â
Selanjutnya ada dua ruangan lagi sebelum pintu belakang. Sebelah kiri berisi topeng-topeng yang digunakan dalam kesenian Tionghoa. Tetapi ruangan sebelah kanan kosong. Ruang ibadah justru berada di belakang kanan, yang tidak begitu tampak jika dilihat dari pintu keluar yang menghadap taman dan kolam ikan.Â
Kolam ikan yang cantik dan bersih ini tampak penuh dengan ikan- koi yang berenang hilir mudik. Ada satu pancuran air yang berasal dari sebuah patung di tepi kolam. Di sekelilingnya banyak tanaman bunga yang segar dan indah. Di belakang kolam tampak tangga, yang menjadi akses ke gedung apartemen.Â
Menyusuri Pecinan GlodokÂ
Puas mengubek-ubek Candra Naya, kami keluar menuju kampung Pecinan Glodok. Hanya dengan berjalan kaki sekitar 200 meter, sampai ke depan gerbang kawasan Pecinan. Suasana cukup ramai dan mulai macet karena sudah jam pulang kantor.Â
Kami berjalan masuk gang ke vihara Dharma Bakti. Sayangnya vihara ini dalam tahap renovasi, sehingga sebagian area ditutup terpal. Karena itu kami tidak memutuskan untuk masuk, tetapi berjalan terus, belok kanan menyusuri kawasan Pecinan.Â
Jalan kecil itu kadang berbelok-belok, melewati vihara kecil dan gang-gang tempat bermukim warga Tionghoa. Banyak pedagang makanan di sepanjang jalan, bukan hanya makanan khas oriental tapi juga pempek Palembang, gado-gado dan sebagainya.Â
Lalu kami masuk sekolah Tionghoa yang telah berubah menjadi gereja. Bangunan masih asli dengan arsitektur Tionghoa. Bangunan ini terpelihara dengan baik, bersih dan rapi. Padahal jalan kecil di depannya justru terlihat agak kumuh. Mungkin karena banyak rumah-rumah tua yang tidak terurus.Â
Kami masuk vihara yang megah, tapi hanya singgah sebentar. Setelah itu belok ke petak enam, di mana berkumpul outlet -outlet makanan tradisional. Teman-teman tidak berminat makan di sini, jadi kami kembali berjalan ke pintu besar Selatan, ke arah gerbang. Tadi kami lihat ada restoran muslim Cina di sebelah Pancoran Tea House.Â
Makan Bakmi Lamian
Akhirnya kami berhenti di restoran muslim Cina yang menyajikan bakmi Lamian. Ternyata bakmi Lamian ini langsung dibikin dan dapat kita saksikan prosesnya. Jadi, bakmi ini segar tanpa pengawet.Â
Sambil makan, kamu mendengarkan cerita mbak Gana yang bekerja sebagai pengajar di sebuah sekolah. Mbak Gana memang gigih, setelah kuliah lagi di Jerman, ia merintis karir sebagai guru. Padahal dia juga seorang penari yang sering diundang kedutaan.Â
Kamu tahu berapa penghasilan mbak Gana sebagai pengajar? Kira-kira sebesar Rp. 50 juta Rupiah perbulan. Waduh besar juga ya, pasti bikin ngiler orang Indonesia yang saat ini saja sulit mencari pekerjaan. Tapi tentu saja untuk bekerja di Jerman, harus dengan bekal keilmuan yang cukup.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI