Mohon tunggu...
Muthiah Alhasany
Muthiah Alhasany Mohon Tunggu... Pengamat politik Turki dan Timur Tengah

Pengamat politik Turki dan Timur Tengah. Moto: Langit adalah atapku, bumi adalah pijakanku. hidup adalah sajadah panjang hingga aku mati. Email: ratu_kalingga@yahoo.co.id IG dan Twitter: @muthiahalhasany fanpage: Muthiah Alhasany"s Journal

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Korespondensi, Apa Kabarnya?

17 Mei 2025   14:31 Diperbarui: 17 Mei 2025   14:31 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Surat-surat yang masih tersimpan. (Dok.pri)

Tanpa sengaja saya menemukan kembali beberapa surat di laci meja rias. Surat-surat ini sudah saya simpan selama lebih dari 30 tahun. Saya tersenyum mengenang masa kejayaan korespondensi, dengan bersurat-suratan kepada sahabat pena yang jauh di mata. 

Korespondensi secara fisik kini telah lama ditinggalkan. Generasi Z dan Alpha mungkin tidak tahu bagaimana cara dan rasanya bersurat-suratan. Padahal, di masa lalu menjadi andalan untuk mengabarkan berita tentang kita kepada orang-orang terdekat. 

Sekitar tahun 1990-an era bersurat-suratan secara fisik mulai tergeser oleh email (electronic mail). Meskipun ternyata email sudah ditemukan sejak tahun 1971 oleh Roy Tomlinson dengan membuat program email antar dua komputer,  tapi  baru populer di Indonesia tahun 90-an. 

Saya masih ingat, ketika saya masih ke kantor pos Pasar Baru untuk mengirimkan sebuah surat. Ada deretan komputer di sudut ruangan. Saya lantas bertanya, mengapa ada banyak komputer di sana. Karyawan pos dan giro menjelaskan, bahwa komputer itu disewakan untuk orang yang ingin mengirim surat elektronik. 

Saya belum tahu bagaimana membuat dan mengirim email. Lalu, seorang sahabat mengajarkan saya membuat email di Yahoo. Email itulah yang saya gunakan hingga sekarang, walaupun saya juga membuat email di akun google. Email di Yahoo adalah email utama yang saya gunakan. 

Namun saya tidak memakai email untuk urusan pribadi. Justru setelah surat fisik tergantikan email, saya jadi malas bersurat-suratan secara pribadi. Email diperuntukkan bagi kepentingan di luar itu. 

Sahabat Pena

Kembali ke surat fisik, saya senang berkorespondensi pada masa kuliah. Saya punya beberapa sahabat pena yang secara rutin bersurat-suratan. Satu sahabat pena, seorang perempuan muslim yang ada di Manado. Saya belum pernah bertemu dengan dia, tapi kami saling bertukar foto. Sayangnya sekarang sudah putus kontak, tak tahu lagi kabarnya.. 

Satu lagi sahabat pena saya seorang prajurit TNI yang mengenal saya melalui tabloid Bola, di mana saya pernah diberitakan menjadi juara karate antar mahasiswa. Prajurit TNI ini juga seorang karateka yang tinggal di Bali. Setelah beberapa tahun, putus kontak juga. Mungkin dia ditugaskan ke tempat lain. 

Sahabat pena yang pernah bertemu saya adalah seorang guru yang tinggal di Bantul, Yogyakarta. Dia juga seorang penulis yang pernah mendapatkan penghargaan dari Depdiknas pada masa Orde Baru. Tapi saya juga sudah tidak tahu kabarnya.

Selain sahabat pena dari dalam negeri, saya juga punya sahabat pena dari luar negeri. Saya pernah bersurat-suratan dengan seorang pria yang bekerja di sebuah pabrik di Swiss. Dia sangat antusias membaca tentang adat istiadat Indonesia yang saya ceritakan. Bahkan saya senang mengirim kliping berita tentang kebiasaan masyarakat Indonesia. 

Kemudian ada seorang sahabat pena yang menjadi dosen di Amerika Serikat. Dia dosen sastra, kami bertemu di Indonesia. Kebetulan dia adalah penggemar penyair angkatan 45, Sitor Situmorang yang menjadi salah satu guru saya di bidang sastra dan politik. 

Saya juga mempunyai sahabat pena yang tinggal di Inggris. Lucunya kami bertemu di atas kapal laut yang menuju Kepulauan Riau. Dia sangat senang menjelajah di Indonesia, berpetualang dari daerah ke daerah. Setelah dia pulang ke Inggris, kami lalu bersurat-suratan. 

Sahabat pena yang sangat saya hormati adalah Sitor Situmorang sendiri. Karena dia tidak bermukim di Indonesia. Dia pernah tinggal di Prancis dan menjadi dosen di sana. Namun karena istri terakhirnya adalah wanita Belanda, pada sisa hidupnya dihabiskan di Belanda dan mengajar di Universitas Leiden. 

Bagaimana dengan kamu? Masih menyimpan surat-surat? Kalau gen Z dan Alpha, tidak usah menjawab. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun