Video tentang pemuda bernama Adi Saputra yang merusak motor karena tak mau ditilang telah viral di dunia internasional. Setidaknya hari ini, televisi Turki ikut menayangkan berita tersebut.
Dalam televisi Turki, rekaman video ditunjukkan dengan jelas. Keterangan di bawahnya mengatakan, bahwa karena tidak terima mendapat hukuman polisi, pemuda ini menghancurkan motornya.
Mungkin menjadi terkenal adalah sesuatu yang membanggakan, apalagi jika sampai ke luar negeri. Nama bangsa dan negara terbawa oleh dia. Masalahnya ini terkenal karena berperilaku buruk.
Perhatikan sudut kanan televisi, itu adalah kata Endonezya (Indonesia dalam bahasa Turki). Maka bisa diduga, apa yang dipikirkan pemirsa televisi Turki, kok pemuda Indonesia seperti ini ya?
Anak muda seperti Adi Saputra, pernahkah berpikir bahwa dampak kelakuan dia akan mencoreng nama bangsanya? Tingkah laku destruktif ini sama sekali bukan seperti apa yang selama ini diketahui oleh masyarakat Turki.
Perlu diketahui bahwa kebanyakan orang Turki menganggap bahwa orang Indonesia adalah orang yang ramah, baik dan soleh. Mereka sangat menghargai orang Indonesia.
Kenapa begitu? Karena rata-rata pemuda/pemudi Indonesia yang sedang sekolah atau melanjutkan studi di Turki menunjukkan perilaku yang baik, yang justru menjadi contoh bagi pemuda Turki.
Setiap kali saya bertemu dengan orang Turki yang pernah mengenal anak Indonesia, mereka memujinya. Karena itu saya bangga dengan kesan mereka terhadap orang Indonesia.
Namun dengan menonton kelakuan Adi Saputra seperti itu, tentu timbul pertanyaan. Apakah banyak anak muda yang begitu di Indonesia?
Seharusnya ini menjadi peringatan untuk kita, dan lebih baik kita bercermin. Mungkin ada yang salah dalam sistem pendidikan kita.Â
Salah didik, bisa terjadi dalam dua lingkungan. Pertama adalah lingkungan keluarga. Kedua adalah lingkungan sekolah.
Tampaknya ada krisis pendidikan moral dalam keluarga di wilayah Jabodetabek. Kesibukan orang tua, perhatian yang tertuju pada masalah yang tidak penting seperti gosip, politik dsb membuat orang tua abai terhadap anak anak mereka.
Orang tua tidak banyak mengetahui apa yang dilakukan anak anak mereka. Sehingga ketika sudah terjadi kasus yang melibatkan anak-anak, mereka baru sadar. Biasanya kesadaran datang terlambat.
Kedua, dari lingkungan sekolah. Lembaga pendidikan seperti sekolah sepertinya sudah tidak mampu menanamkan nilai-nilai moral karena lebih mementingkan angka akademik.
Anak anak dipacu untuk mendapatkan nilai tinggi, tetapi mereka tidak diajarkan dengan sungguh-sungguh untuk memahami sekitarnya. Mereka tercetak seperti mesin, tidak punya hati.
Maka selayaknya kasus ini menjadi perhatian para pemerhati pendidikan. Bagaimana mengantisipasi perubahan perilaku anak anak di zaman milenial ini.Â
Dan yang paling penting adalah menemukan sistem pendidikan yang sesuai dengan zaman ini. Jangan sampai kita memiliki generasi muda yang minim moralitas.