Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jika Orang Gila Boleh Memilih, Siapa yang Diuntungkan?

17 Februari 2018   15:48 Diperbarui: 18 Februari 2018   12:25 1841
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sbr : hellosehat.com

Menjelang dua tahun suksesi kepemimpinan Nasional, tensi dan suhu politik sudah mulai meningkat naik. Tensi dan suhu politik itu semakin meningkat tajam karena dibumbui dengan berbagai intrik politik.

Salah satu intrik politik itu adalah mulai melakukan kampanye hitam untuk memberi stigmatisasi secara terstruktur, sistemtais , dan massif (TSM) terhadap rejim yang sedang berkuasa saat ini. Sebanyak mungkin memproduksi berita-berita berbau hoaks dan fitnah, demi menggiring opini publik agar memberi kesan negative terhadap rejim yang sedang berkuasa. Apalagi rejim saat ini (petahana) sedang membangun asa pula untuk ikut berkompetisi dalam kontestasi suksesi kepemimpinan Nasional pada periode berikutnya. Semua itu dilakukan hanya untuk satu tujuan meningkatkan elektabilitas politik sekaligus pada saat bersamaan mencoba mendegradasi melalui pembusukan pamor bakal calon lawan.

Saat ini di media sosial sedang beredar sebuah berita tentang regulasi menyangkut hak suara bagi kaum dissabilitas, termasuk pula di dalamnya orang-orang yang mengalami gangguan mental alias gila. Regulasi tersebut sengaja disebar, selain memanfaatkan momentum jelang tahun politik sehubungan dengan suksesi kepemimpinan Nasional, juga sebagai senjata kampanye untuk menyerang bakal calon lawan. Tak tanggung-tanggung, salah satu media Nasional berbasis agama (Islam) dengan sangat bombastis memberi judul, "Sejarah Baru, Penderita Ganguan Jiwa Dapat Hak Suara".

Motif utama media tersebut dengan memberi judul berita itu, kemudian sebagian orang terdidik karena sikap obsesif membagikan pula berita itu adalah ingin memberi kesan bahwa rejim yang sedang berkuasa saat ini, mempunyai niat sangat busuk. Di mana melalui jaring-jaring kekuasaannya mencoba menghalalkan segala cara, telah dan sedang mengupayakan secara curang mendesain dan merekayasa sebuah ketentuan hukum untuk mencapai tujuan politiknya. Bahwa rejim Jokowi, sebagai petahana yang akan maju kembali dalam kontestasi pada Pilpres 2019, sedang membuat 'jembatan emas' agar dapat menyeberang untuk menggapai asa politiknya. Memperpanjang masa jabatan pada periode lima tahun ke-2, menjadi Presiden masa bhakti 2019-2024.

Sebagian kelompok saking terlalu bersemangat, bahkan terlihat 'niat amat' untuk melakukan pembusukan itu. Maka tanpa terlebih dahulu mencoba melakukan crosscheck secara memadai sebagai cermin sikap kritis dari orang terdidik, sampai-sampai lupa untuk melakukan check and recheck, kemudian tergopoh-gopoh membagikan (share) berita yang sudah kadaluarsa (expired). Mereka ingin melekatkan kesan negative (stigma) dengan membagikan berita, meski kadaluarsa, asal itu berkaitan dengan aspirasi dan ekpektasi, sehingga lupa mengecek bahwa berita atau informasi, menyangkut sebuah regulasi, misalnya bukan diterbitkan dan disahkan oleh rejim yang berkuasa saat ini.

Motifnya sangat kentara terbaca, mencoba menggiring opini public untuk memberi stigma negative terhadap petahana sebagai rejim yang dzalim. Hal mana sebagai salah seorang bakal calon kontestan pada Pilpres 2019 yang akan datang (yad) dikesankan sedang berusaha dengan berbagai cara melakukan 'kecurangan konstitusional' untuk mengamankan kepentingan politiknya.

Adalah tidak terlalu salah sikap 'tergopoh-gopoh' ingin membagikan sebuah berita, apalagi terkesan bombastis dan sensasional agar semua warga bangsa dapat tahu dan memahaminya. Akan menjadi tidak elok bila dengan predikat sangat terdidik, tapi kehilangan daya kritis menelaah sebuah konten berita, malah lupa atau dengan sengaja abai terhadap kronologis (tanggal) penerbitan berita itu. Bahwa setiap orang, termasuk kaum intelektual, mempunyai hak konstitusional memberikan pendidikan dan pencerahan politik kepada masyarakat umum, yang secara rerata masih awam. 

Namun, bila di balik membagikan berita itu tersembunyi motif (politik) tertentu, yakni ingin 'mengkapitalisasi kebencian', maka saya sangat menyayangkan marwah integritas keintelektualan seseorang sebagai orang terdidik. Sebab boleh jadi sebagai kaum cerdik-cendekia seharusnya bertugas memberi edukasi dan pencerahan, malah yang hadir dan terkesan muncul adalah upaya pembodohan yang dilakukan secara sadar dan sengaja bersifat terstruktur, sistematis, dan massif (TSM).

Berdasarkan kronologi terbit, terlihat bahwa regulasi yang mengatur tentang hak suara kaum dissabilitas termasuk orang berkelainan mental (baca gila) juga sebagai warga negara, terbit dan berlaku pada rejim sebelumnya dikamuflase seolah-olah didesain oleh rejim saat ini. Mereka ingin memberi kesan dan membentuk opini bahwa rejim saat ini, yakni petahana akan bermain curang menghalalkan segala cara, termasuk merekayasa sebuah regulasi untuk mencapai tujuan politik jangka pendek.

Stigmatisasi terselubung untuk mengaburkan fakta. Bahwa sesungguhnya segala rupa yang ditempuh itu hanya untuk mencapai tujuan politik, tidak menjadi soal apakah yang dilakukan masih relevan atau tidak. Mengingat ambisi sudah mencapai di ubun-ubun. Mereka lupa dengan predikat dan gelar yang tersemat di depan dan di belakang nama. Belum lagi bila menilik status yang disandang pula sebagai cerdik-cendekia yang syarat sikap kritis.

Sesungguhnya regulasi yang mengatur tentang hak suara bagi warga Negara, yakni kaum dissabilitas termasuk orang berkelainan mental (baca orang gila), sebagaimana terlihat pada hari-hari ini dibagikan di media sosial, ternyata bukan diterbitkan dan disahkan oleh rejim yang berkuasa saat ini. Artinya regulasi tersebut terbit dan disahkan pada masa rejim sebelumnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun