Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

"Blasteran" yang Mengaku Pribumi

20 Oktober 2017   14:09 Diperbarui: 20 Oktober 2017   14:55 9510
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Periode 2017-2022 (https://inet.detik.com)

Terlebih yang mencoba membangkitkan semangat dengan politik identitas itu terselip motif ingin menyindir kelompok seberang (kompetitor), tanpa menyadari bahwa dia juga menyandang status yang sama. Sama-sama berstatus 'blasteran'.

Jika disepakati bahwa yang dimaksud pribumi adalah penduduk asli Indonesia (berbagai suku bangsa yang bukan sebagai suku pendatang di negeri ini), maka frasa pribumi yang dipidatokan itu sebagai bumerang pula. Mengingat, dua calon gubernur (cagub) yang berlaga di putaran kedua Pilkada DKI kemarin, sama-sama berlatar belakang  sebagai suku bangsa pendatang. Dengan begitu berarti tak seorang pun dari keduanya berhak mengklaim diri sebagai 'pribumi'.

Terus mengapa pula sang Gubernur terpilih, Anies seolah-olah merasa lebih pribumi daripada calon lainnya? Hanya karena ia sendiri sedang 'mengidentifikasikan' dirinya sebagai muslim yang identik dengan agama mayoritas warga Jakarta? Atau karena ia merasa bahwa agama yang dianut mayoritas warga Jakarta berasal dari negeri leluhurnya? Sehingga karena itu, sang Gubernur merasa lebih pantas mengklaim diri sebagai warga pribumi yang lebih berhak memiliki bangsa ini.

Dalam diskursus politik sejak pemilihan presiden (Pilpres) 2014 hingga saat ini, dikotomi pribumi dan nonpribumi sengaja dikedepankan untuk menarik simpati dan menegasikan lawan politik. Maka sentimen SARA berlatar etnis menjadi ajang kampanye murahan. Parahnya, kampanye murahan itu tidak hanya dilakukan oleh masyarakat akar rumput yang kurang melek, tapi juga bahkan dimotori oleh kaum cerdik pandai, intelektual dan akademisi kampus.

Bahkan ada seseorang, yang berasal dari kampung yang sama dengan penulis (intelek lagi, karena berpendidikan tinggi, aktivis) ketika masa Pilpres 2014 sampai-sampai menulis statusnya di akun media sosialnya, dengan mengatakan, bahwa "merupakan sebuah penghinaan, bila Jokowi yang terpilih sebagai Presiden RI". Karena dalam benaknya, entah karena sudah tercuci otaknya atau tidak, atau sedang ingin juga 'berkampanye ria ala hoaks', menganggap bahwa Jokowi itu keturunan etnis China. Padahal, jelas-jelas dari tipikal fisikalnya saja sudah tergambar bahwa Jokowi bukan berasal dari etnis pendatang.

Karena itu, saking gemasnya saya membaca status tersebut, saya pun memberi komentar dengan mengambil contoh kasus kalau seandainya Anies (Rasyid Baswedan) yang sedang mengikuti dan memenangkan konvensi capres ala Partai Demokrat dan dicalonkan pada kontestasi Pilpres 2014 (waktu itu), apakah itu juga sebagai sebuah penghinaan? Karena secara Anies juga berlatar belakang etnis pendatang (blasteran). Atau kita akan bersikap ambigu, si Anies diterima, karena berasal dari etnis yang secara latar belakang agama sama dengan agama dan keyakinan mayoritas warga bangsa ini?

Bukannya menjawab secara argumentetatif komentar saya, dia malah dengan ketus membalas bahwa dia tidak sedang ingin meminta penilaian dari orang lain, termasuk saya. Padahal statusnya yang dia publish tersebut pasti mempunyai tujuan ingin mendapatkan respon balik dari netizen lainnya.

Mungkin karena keseringan mengkonsumsi berita hoaks dan fitnah ala portal PKSpiyungan dan VOA Islam, belakangan juga terkuak kelompok spesialis penebar berita hoaks berkonten SARA bernama Saracen. Sehingga membuat  cara berpikir mereka juga terkontaminasi yang menyebabkan logika pun ikut terbalik.

Fenomena itu juga sedang dialami sang Gubernur DKI yang baru, Anies Baswedan. Ternyata eforia kemenangan yang berlebihan dapat membuat seseorang kehilangan kontrol kesadaran intelektualnya. Tanpa disadari bahwa pilihan frasa pribumi dalam pidato politiknya malah menjadi olok-olok netizen. 'Blasteran' yang mengaku dan bicara tentang pribumi! Oalalaaaaa, ...

Wallahu a'lam bish-shawabi

Makassar, 20102017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun