Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Solidaritas Semu Calon Pemimpin

18 September 2017   13:32 Diperbarui: 19 September 2017   07:48 1145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Masyarakat muslim Indonesia benar-benar membuktikan sangat peduli terhadap nasib sesama kaum muslim. Dalam berbagai kesempatan yang menuntut solidaritas sebagai sesama muslim, tanpa harus menunggu lama bergerak menunjukkan aksi simpati. Tak hanya dengan cara mengumpulkan donasi, tapi juga diikuti dengan aksi berupa unjuk rasa, mengekspresikan simpati mereka.

Semua itu dilakukan atas alas agama. Sebuah niat yang sangat mulia yang dilandasi oleh moral agama yang sangat kuat. Di mana agama mengajarkan untuk turut merasakan kesakitan bila ada sebagian saudara seiman sedang mengalami kesusahan. Apalagi kesusahan dan atau penderitaan itu akibat dari represi oleh sebuah rejim lalim.   

Agama (Islam) mengajarkan, bahwa umat Islam itu ibarat sebuah (bangunan) tubuh, bila salah satu bagian tubuh menderita sakit, maka bagian yang lain akan turut merasakan sakit pula. Karena itu adalah wajar ketika umat muslim  di negeri ini menunjukkan rasa simpati dan empati terhadap penderitaan yang sedang dialami oleh muslim Rohingya. Bahkan ada kelompok dari elemen bangsa ini, karena saking semangatnya, berkeinginan pula mengirimkan pejuang ke Rohingya untuk berjihad melawan junta militer Myanmar.

Sayangnya semangat saja tidak cukup. Semangat harus pula diikuti oleh pijakan rasionalitas yang waras. Kita boleh saja berimajinasi ingin masuk surga dengan jalan berjihad (berperang secara fisik) di medan perang melawan rejim yang lalim. Tapi hendaklah hal itu harus dilakukan dengan perhitungan, strategi, dan taktik yang matang dan rasional. Jika hanya bermodalkan semangat doang, tanpa perhitungan yang matang dan rasional, maka boleh jadi itu hanya mengantar nyawa ke ujung kematian, tanpa konsekuensi religius apa-apa. Dengan kata lain, sia-sia menjemput maut. Mengingat yang terjadi di Rakhine State bukan merupakan konflik agama, sehingga harus menuntut sebagian saudaranya yang seagama untuk hadir membantu berjuang (baca berjihad) secara fisik.

Maka umat Islam di Indonesia pun tidak mau ketinggalan dan berkewajiban melakukan aksi unjuk rasa untuk menujukkan kepedulian dan simpati mereka. Berdemonstrasi untuk menunjukkan kepedulian dan rasa simpati terhadap tragedi yang sedang dialami saudara muslim Rohingya di Myanmar.

Cuma kita juga perlu bersikap kritis dalam melihat fenomena sebagian umat muslim Indonesia, yang lagi 'ghirah' ini. Jangan-jangan di sana ada infiltrasi motif politik oleh para petualang politik yang sedang ingin-inginnya meraih kuasa. Mungkinkah di sana ada anomali 'pemahaman' tentang moral dan atau doktrin (ajaran) agama yang dianut? Atau mencoba memelintir sebuah pesan agama untuk meraih kepentingan politik jangka pendek.

Ketika unjuk rasa muslim Indoensia di ibukota (Sabtu, 16/9/2017) yang diisi dengan orasi beberapa tokoh politik, yang masih saja menunjukkan kesan tendensius (memanfaatkan isu Rohingya sebagai komoditas politik), saya jadi merenung sambil menggaruk kepala yang tidak gatal. Semakin lucu ketika argumentasi yang digunakan memperlihatkan logika terbalik. Sehingga secara berkelebat, muncul judul salah satu sinetron yang sedang tayang di salah satu stasiun TV Swasta Nasional, "Dunia Terbalik", saya pun tersenyum simpul.

Dalam salah satu artikel Komoditas, saya menyebutbeberapa politisi yang mencoba memanfaatkan tragedi kemanusiaan yang sedang menimpa etnis Rohingya sebagai komoditas politik merupakan 'politisi ndeso'. Karena syahwat ingin kuasa yang tak terbendung sehingga membuat nalar dan hati mereka menjadi tertutup. Dalam 'kegelapan' itu mereka mencoba memanfaatkan tragedi Rohingya sebagai isu politik untuk mendegradasi peran dan menyerang Pemerintah.

Mental sebagai politisi ndeso itu juga diidap oleh para orator yang hadir pada unjuk rasa itu. Para orator yang juga merupakan politisi gaek ambisius bin oportunis di hadapan para audiens (demonstran) membakar semangat mereka dengan mempertontonkan kejenakaannya menggunakan logika terbalik. Menurut para orator itu (sebut saja politisi gaek oportunis, Amien Rais, dan sang 'jenderal kancil', Prabowo) menyebut bantuan yang telah dikirimkan ke Rohingya oleh Pemerintah dan beberapa elemen masyarakat lainnya sebagai sebuah pencitraan semata.

Saya tak habis berpikir, kalau bantuan kemanusiaan yang telah disalurkan saja disebut sebagai pencitraan, terus apa namanya menunjukkan simpati dan empati hanya dengan melalui orasi? Masih mending bila isi orasi itu benar-benar ingin mengajak setiap orang untuk meningkatkan sensifitas kemanusiaan atas sebuah tragedi. Tapi jika sebaliknya, hanya berteriak tak ada juntrungannya sambil sumpah serapah, caci maki, menghujat, dan menegasikan sebuah niat tulus pihak lain, apa pula namanya itu?

Bukankah ini sebuah logika yang sangat parah? Tidak melakukan apa-apa, hanya bisa mencerca dan mencaci, tapi dengan pongah dan percaya diri mengatakan bahwa pihak lain yang telah memberikan donasi melakukan pencitraan. Semakin pengkor itu otak, billa sampai harus mengatakan bahwa jika ingin membantu (materiil maupun nonmateril), harus terlebih dahulu 'mengukur diri'.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun