Mohon tunggu...
Denny Boos
Denny Boos Mohon Tunggu... Profesional

Perempuan asal Tobasa. Menyukai hal-hal sederhana. Senang jalan-jalan, photography, sepedaan, trekking, koleksi kartu pos UNESCO. Yoga Iyengar. Teknik Sipil dan Arsitektur. Senang berdiskusi tentang bangunan tahan gempa. Sekarang ini sedang ikut proyek Terowongan. Tinggal di Berlin.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Pengalaman Nge-jepret Pernikahan Professor

29 Februari 2016   23:48 Diperbarui: 1 Maret 2016   07:43 550
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="(makanan prasmanan: daging dan sayuran)"]

[/caption]

[caption caption="(roti Brenzel di salah satu sudut)"]

[/caption]

[caption caption="(makanan hangat beserta nama-namanya)"]

[/caption]

[caption caption="(keju-kejuan dan selai di salah satu sudut)"]

[/caption]

Menurut saya, acaranya santai dan memang seperti kata si Prof (pengen) lebih kekeluargaan. Kalau mau dibilang, mungkin sedikit di atas dari selamatan anak ulang tahun di Indonesia. Selama acara, si prof berpindah terus dari meja ke meja menyapa tamunya. Begitu juga dengan suaminya.

Ketika si Prof berbincang-bincang dengan saya tentang bagaimana mereka ketemu,  apa yang penting dari sebuah pernikahan, bagaimana konsep pernikahan yang diinginkan, saya makin jatuh hati pada kesederhanaan dia. Walau, terlepas ada juga prinsip yang berseberangan seperti: di grup si prof menari, ada 5 temannya yang sering bersama. Tapi karena dia merasa hanya lebih cocok dengan 3 orang, si prof hanya mengundang yang 3 orang saja. Coba, tega nggak nyakitin orang segitu nya kalau di Indo? Tapi itulah budaya di sini, dilarang sakit hati. Bahkan keluarga dekat pun, kalau merasa tidak menyumbang kebahagiaan alias tidak begitu cocok, ya, tidak diundang.

Iya, dari obrolan kami malam itu, saya pun menjadi berpikir perihal esensi dari sebuah pernikahan yang diikuti perayaan. Saya menarik jauh ke dalam diri, yang selama ini masih berkutat dalam pemikiran konsep perayaan seperti apa untuk nyenangin orang. Saya lebih menimbang-nimbang kebahagiaan khalayak, sementara kebahagiaan saya entah disebelah mana saya letakkan.

Adalah juga betul memikirkan membahagiakan orang lain kalau kita mampu dan kita juga senang melakukannya, namun kalau kita merasa tidak sejahtera, itu yang jadi masalah. Iya, kan? Pernikahan sekali seumur hidup, perlu direncanakan dengan baik, tapi tidak juga berarti kita bersedia menumpahkan semua kemampuan dengan mengabiskan banyak energi terlebih biaya, itu dasar pemikiran saya yang kemudian menjadi bahan diskusi panjang selama ini.

***

Saya melihat resepsi pernikahan si Prof ini semata-mata seperti acara perayaan biasa, yang tidak menghabiskan biaya sampai ratusan juta rupiah. Mungkin menyisihkan sebulan gaji dia saja sudah cukup namun tetap mereka merayakan hari bahagia itu bersama dengan orang terdekat tanpa perlu merasa kurang. Sekaligus, di saat yang sama, saya menjadi paham kenapa si prof tidak merasa begitu penting menyewa seorang fotografer profesional mengabadikan momen bahagia mereka.


Iya, beberapa waktu lalu survey biaya perayaan seperti ini di sini, dan terpikir betapa mahalnya adat yang harus dibayar untuk sebuah pernikahan di tanah air (lagi cari tau di tanah air juga soalnya). Adat pernikahan yang pada akhirnya seolah memberatkan keluarga yang menikah mengeluarkan materi, demi, tidak menjadi malu... atau menyesuaikan dengan standar yang (biasa) ada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun