Mohon tunggu...
Denny Boos
Denny Boos Mohon Tunggu... Profesional

Perempuan asal Tobasa. Menyukai hal-hal sederhana. Senang jalan-jalan, photography, sepedaan, trekking, koleksi kartu pos UNESCO. Yoga Iyengar. Teknik Sipil dan Arsitektur. Senang berdiskusi tentang bangunan tahan gempa. Sekarang ini sedang ikut proyek Terowongan. Tinggal di Berlin.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Pengalaman Nge-jepret Pernikahan Professor

29 Februari 2016   23:48 Diperbarui: 1 Maret 2016   07:43 550
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 [caption caption="(ucapan terimakasih si prof di agenda saya, berikut sebuah foto jepretan saya saat pernikahannya)"][/caption]***

Apa yang Sakral dari Sebuah Pernikahan?

"Cinta dan komitmen menjaganya sampai maut memisahkan.“

***

Saya turun terburu-buru dari mobil Gaby, supervisor kami, yang meminta saya untuk datang di hari Sabtu sore itu. Cuaca memang tidak begitu cerah. Langit berbalut warna abu-abu saja. Tidak ada langit biru yang katanya salah satu penanda kegembiraan mengiringi hari-hari di musim panas. Namun, Sabtu itu, keriaan tidak sedikitpun meluruh dari wajah-wajah yang berdiri menyambut pengantin di depan kastil tua, di Negara bagian Saxony, bagian timur Jerman. Ya, hari itu adalah hari bahagia Professor kami dan calon suaminya. Kami sedang berdiri di depan kastil tempat mereka akan mengukuhkan pernikahan dengan catatan sipil.

[caption caption="(kastil tempat catatan sipil si prof)"]

[/caption]

Saya sempat mengedarkan pandangan ke sekeliling. Para tamu pria dengan pakaian resmi setelan jas dan para tamu wanita dengan pakaian yang tidak kalah resmi dan juga meriah. Oke! Tidak mengapa saya dengan Batik saja. Tunggu. Tidak hanya saya saja, Gaby yang katanya jatuh cinta dengan Indonesia itu, pakai Batik juga di pernikahan Profesor kami.

Ssstt… Batiknya Gaby seperti baju tidur loh. Haha. Tapi, diam-diam saja ya, nggak ada yang tau ini lah. Ini kan di Jerman! Yang penting dia tetap percaya diri, dan yang penting lagi jangan diledekin ya! Karena saya sendiri kaget lihat dia tiba-tiba muncul pakai (baju tidur) batik, lalu bilang “Kezia, ini bajunya beli di Bali! Cantik, kan?”

“Warna nya cerah!” sahutku singkat.

Senyumnya mengembang. Saya pun tidak sampai hati memberitahu perihal tipikal „baju tidur“ di tanah air, yang tidak jauh beda dengan apa yang dipakainya saat itu.

[caption caption="(di depan kastil. benar kan baju Gaby seperti daster?)"]

[/caption]

***

Saya masih bingung untuk ngambil posisi berdiri ketika dua orang wanita berjalan di tengah barisan menuju kastil. „Itu siapa?“ pikirku. „Namun, apapun itu, siapapun itu, artinya dia orang penting dalam acara ini.” Kembali saya berdiskusi dengan diri sembari mengeluarkan kamera cepat-cepat, lalu, memotret mereka dengan cepat-cepat juga. Mungkin karena baru saja sampai, Gaby belum sempat memberi aba-aba.

“Itu siapa?” memastikan sembari berbisik mendekat kepada Gaby.

"Itu Professor Tina!“

"Aw!“ (bengong)

Saya senang telah memutuskan untuk memotret walau tanpa aba-aba. „Untung!“ pikirku, lagi. Namun, juga mikir, mana gaun putihnya si Prof? Apakah ini betulan sudah masuk acara inti? Koq si Prof pakaiannya kaya tamu undangan saja? Lalu, tadi itu, mobil pengantinnya dimana?

***

"Kei akan memotret kalian!” Gaby membawa saya berkenalan dengan si Prof dan calon suaminya, sementara mereka berdua sudah duduk menunggu acara di dalam kastil.

[caption caption="(bouquet pengantin, si prof, masih juga nenteng semacam agenda bersamanya...hihi)"]

[/caption]

Saya tersenyum dan tidak nanya-nanya lagi karena segera acara akan mulai. Walau sejujurnya, saat itu saya grogi berat mikir masalah menyesuaikan “selera” foto seperti apa yang mereka mau, belum lagi saya benar-benar nggak tau rundown acaranya. Nggak ada briefing sama sekali (pusing).

Acara catatan sipil selesai, para undangan diajak menikmati champagne. Pengantin berdiri di depan kastil dan mengucapkan terimakasih. Professor memang tetap lah professor, beberapa kali suami nya salah bertutur, dengan santai si Prof membetulkan tanpa terkesan menjadi guru. Dan, oh ya, di sini, saya sadar menjadi satu-satu nya mahluk lain di sana, maksudnya, yang bukan orang berkulit putih. Sepintas saya berpikir, “professor kami ini rupanya nggak gaul! Undangannya rata saja.”

[caption caption="(sisa champagne yang disiapkan)"]

[/caption]

***

Dari kastil, kita masih perlu perjalanan sekitar 30 menit naik mobil menuju tempat resepsi. Tempatnya di sebuah restoran dengan lokasi di tempat ketinggian, kata si Prof, biar pemandangannya bagus.

[caption caption="(dari restoran, ini pemandangannya, akhirnya tersisa juga langit biru di hari itu)"]

[/caption]

[caption caption="(meja dan kursi perayaan)"]

[/caption]

Iya, dari luar, restoran yang menurutku cukup sederhana itu memang cukup menarik dengan bangunannya yang sudah tua bermaterial separuh kayu. Walaupun restorannya cukup besar, yang diperlukan untuk 50 orang saja. Iya, undangannya 50 orang saja. Si prof hanya menyewa sisi kiri restoran.

Beberapa tamu yang hadir diantaranya adalah Professor, sempat dikenalkan Gaby juga kepada saya. Lalu teman-teman dari suami si Prof yang kebetulan juga Gaby kenal sebelumnya. Oh ya, si Prof dan suami ada dalam area yang sama, sama-sama dari teknik mesin. Hanya, yang satu berkarir di universitas dan satu nya lagi di perusahaan.

[caption caption="(salah satu dari istri prof sedang mengisi buku tamu)"]

[/caption]

Perayaan berlangsung sampai pagi. Makan, minum, makan dan minum lagi, diselingi oleh tawa dan canda para tamu. Acara berjalan dengan baik dan lancar, mulai dari potong kue, ada hiburan sulap, kembang api, kejutan-kejutan dari para tamu undangan seperti baca kisah pengantin secara random, buka kado yang ternyata alat-alat mesin tapi dibingkai dan dijaiin jam, kue tart dari beton dimana si pengantin pria harus memecahkannya dengan martil, dan masih banyak lagi.

[caption caption="(besi apakah ini? eh, iya, biarlah mereka teknik mesin saja yang tau)"]

[/caption]

[caption caption="(tempat makanan di sisi kiri restoran)"]

[/caption]

[caption caption="(makanan prasmanan: daging dan sayuran)"]

[/caption]

[caption caption="(roti Brenzel di salah satu sudut)"]

[/caption]

[caption caption="(makanan hangat beserta nama-namanya)"]

[/caption]

[caption caption="(keju-kejuan dan selai di salah satu sudut)"]

[/caption]

Menurut saya, acaranya santai dan memang seperti kata si Prof (pengen) lebih kekeluargaan. Kalau mau dibilang, mungkin sedikit di atas dari selamatan anak ulang tahun di Indonesia. Selama acara, si prof berpindah terus dari meja ke meja menyapa tamunya. Begitu juga dengan suaminya.

Ketika si Prof berbincang-bincang dengan saya tentang bagaimana mereka ketemu,  apa yang penting dari sebuah pernikahan, bagaimana konsep pernikahan yang diinginkan, saya makin jatuh hati pada kesederhanaan dia. Walau, terlepas ada juga prinsip yang berseberangan seperti: di grup si prof menari, ada 5 temannya yang sering bersama. Tapi karena dia merasa hanya lebih cocok dengan 3 orang, si prof hanya mengundang yang 3 orang saja. Coba, tega nggak nyakitin orang segitu nya kalau di Indo? Tapi itulah budaya di sini, dilarang sakit hati. Bahkan keluarga dekat pun, kalau merasa tidak menyumbang kebahagiaan alias tidak begitu cocok, ya, tidak diundang.

Iya, dari obrolan kami malam itu, saya pun menjadi berpikir perihal esensi dari sebuah pernikahan yang diikuti perayaan. Saya menarik jauh ke dalam diri, yang selama ini masih berkutat dalam pemikiran konsep perayaan seperti apa untuk nyenangin orang. Saya lebih menimbang-nimbang kebahagiaan khalayak, sementara kebahagiaan saya entah disebelah mana saya letakkan.

Adalah juga betul memikirkan membahagiakan orang lain kalau kita mampu dan kita juga senang melakukannya, namun kalau kita merasa tidak sejahtera, itu yang jadi masalah. Iya, kan? Pernikahan sekali seumur hidup, perlu direncanakan dengan baik, tapi tidak juga berarti kita bersedia menumpahkan semua kemampuan dengan mengabiskan banyak energi terlebih biaya, itu dasar pemikiran saya yang kemudian menjadi bahan diskusi panjang selama ini.

***

Saya melihat resepsi pernikahan si Prof ini semata-mata seperti acara perayaan biasa, yang tidak menghabiskan biaya sampai ratusan juta rupiah. Mungkin menyisihkan sebulan gaji dia saja sudah cukup namun tetap mereka merayakan hari bahagia itu bersama dengan orang terdekat tanpa perlu merasa kurang. Sekaligus, di saat yang sama, saya menjadi paham kenapa si prof tidak merasa begitu penting menyewa seorang fotografer profesional mengabadikan momen bahagia mereka.


Iya, beberapa waktu lalu survey biaya perayaan seperti ini di sini, dan terpikir betapa mahalnya adat yang harus dibayar untuk sebuah pernikahan di tanah air (lagi cari tau di tanah air juga soalnya). Adat pernikahan yang pada akhirnya seolah memberatkan keluarga yang menikah mengeluarkan materi, demi, tidak menjadi malu... atau menyesuaikan dengan standar yang (biasa) ada.

Disisi lain saya melihat, perayaan di tanah air yang cenderung dengan jumlah undangan banyak termasuk karena nggak enak nyakitin hati, pada akhirnya justru sasaran untuk berbagi kebahagiaan agak sulit dicapai. Bagaimana coba pengantin punya waktu ramah tamah dengan tamu 500 orang?

Saya kemudian hanya terpikir, semoga ke depan sebuah pernikahan dan resepsi, pun jika hanya mengukuhkan sebuah ikatan tidak perlu terjebak oleh pemikiran umum tentang npernikahan dan perayaannya. Bukankah yang penting adalah meminta doa dan restu agar dikuatkan untuk menjaga komitmen cinta itu sampai maut memisahkan? Mungkin tidak ada yang salah memangkas sedikit biaya pesta pernikahan kekinian ala Jakarta, mari sebut saja demikian.

[caption caption="(suasana malam itu)"]

[/caption]

***

Terimakasih untuk teman-teman Kampret yang sudah banyak membantu saran ketika nanya-nanya kemarin di grup. Juga buat mas Adjie, mas Bowo dan mas Arif yang sudah membantu editing sebagian foto. Si Prof sangat berterimakasih, maaf saya yang mewakili undangan makan nya seminggu sehabis resepsi ya :)

Note: semua foto-foto di atas adalah milik pribadi, dan saya tidak posting foto acara dan orang karena merasa itu sangat pribadi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun