***
Saya masih bingung untuk ngambil posisi berdiri ketika dua orang wanita berjalan di tengah barisan menuju kastil. „Itu siapa?“ pikirku. „Namun, apapun itu, siapapun itu, artinya dia orang penting dalam acara ini.” Kembali saya berdiskusi dengan diri sembari mengeluarkan kamera cepat-cepat, lalu, memotret mereka dengan cepat-cepat juga. Mungkin karena baru saja sampai, Gaby belum sempat memberi aba-aba.
“Itu siapa?” memastikan sembari berbisik mendekat kepada Gaby.
"Itu Professor Tina!“
"Aw!“ (bengong)
Saya senang telah memutuskan untuk memotret walau tanpa aba-aba. „Untung!“ pikirku, lagi. Namun, juga mikir, mana gaun putihnya si Prof? Apakah ini betulan sudah masuk acara inti? Koq si Prof pakaiannya kaya tamu undangan saja? Lalu, tadi itu, mobil pengantinnya dimana?
***
"Kei akan memotret kalian!” Gaby membawa saya berkenalan dengan si Prof dan calon suaminya, sementara mereka berdua sudah duduk menunggu acara di dalam kastil.
[caption caption="(bouquet pengantin, si prof, masih juga nenteng semacam agenda bersamanya...hihi)"]

Saya tersenyum dan tidak nanya-nanya lagi karena segera acara akan mulai. Walau sejujurnya, saat itu saya grogi berat mikir masalah menyesuaikan “selera” foto seperti apa yang mereka mau, belum lagi saya benar-benar nggak tau rundown acaranya. Nggak ada briefing sama sekali (pusing).
Acara catatan sipil selesai, para undangan diajak menikmati champagne. Pengantin berdiri di depan kastil dan mengucapkan terimakasih. Professor memang tetap lah professor, beberapa kali suami nya salah bertutur, dengan santai si Prof membetulkan tanpa terkesan menjadi guru. Dan, oh ya, di sini, saya sadar menjadi satu-satu nya mahluk lain di sana, maksudnya, yang bukan orang berkulit putih. Sepintas saya berpikir, “professor kami ini rupanya nggak gaul! Undangannya rata saja.”