Mohon tunggu...
MH Maulana
MH Maulana Mohon Tunggu... -

mencoba menuliskan tulisan yang tak kunjung tertulis mencari yang tak pernah ditemukan. membaca yang tak pernah terkatakan. merindukanmu sampai tak kunjung tersampaikan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Masih Lumayan Onani Intelektual

29 April 2014   22:26 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:03 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Yang paling saya takutkan atas umat ini
adalah orang munafik yang berilmu”
(Umar bin khatab)
Sungguh menarik apa yang disampaikan Zulkifar Akbar di kompasiana tentang onani intelektual. Dimana onani intelektual diartikan kondisi kaum terpelajar atau kaum intelek yang menguasai ilmu tertentu tidak diamalkan secara meluas, tetapi hanya dinikmati untuk dirinya sendiri. Sepertinya memang sesuai dengan kabar dunia keilmuan kita hari ini, terutama juga banyak terjadi ditengah modernisasi pendidikan negeri ini, yang bisa dengan mudah kita saksikan, terlebih mendominasi.
Kondisi onani intelektual akhirnya terlihat rawan dan juga miris di dunia keilmuan, terlebih mahasiswa. Pasalnya mahasiswa yang (sering) sibuk berdiskusi perihal berbagai macam persoalan ternyata kaget melihat dunia luar kampus atau lapangan kerja nyata. Lain pihak, beberapa dosen dengan kemegahan ilmu dan gelar yang disandangnya tidak bisa melihat lingkungan sekitarnya tengah berjuang mati-matian untuk menikmati sececap kenikmatan dunia pendidikan dan kehidupan yang layak.
Hemat saya, kaum intelektual atau dalam fokusnya mahasiswa, bisa digolongkan menjadi tiga kriteria. Pertama, kaum intelektual dengan ilmu pengetahuan yang dimiliki bisa menerapkannya dalam lingkungan, masyarakat, serta yang membutuhkannya. Ini mungkin termasuk sebaik-baik kaum intelektual.
Kedua, kaum intelektual dengan ilmu dan pengetahuan yang dimiliki hanya dinikmati sendiri, tidak dikontribusikan secara meluas. Karena merasa semua yang dilakukan adalah dari jerih payah dan usaha kerasnya sendiri (ini yang digolongkan pelaku onani intelektual).
Ketiga, (jangan-jangan kita sendiri) adalah kaum intelektual yang mempunyai potensi ilmu dan pengetahuan justru kebingungan dengan apa yang dimiliki, apalagi diminta buru-buru untuk diamalkan atau dinikmati. Dalam keadaan seperti ini jelas tergambar situasi “ketololan” yang dilematis. Sebab tidak tahu tindakan apa yang harus dilakukan. Ini adalah kondisi yang lebih tragis dari onani intelektual, karena pelaku onani intelektual masih bisa menikmati ilmunya, masih lumayan lah dalam bahasa perhitungannya. sedangkan kriteria ketiga ini justru masih bingung dengan dirinya sendiri. Memunculkan banyak pertanyaan pada diri dan tak kunjung mencari jawabannya. Tapi tenang, bingung adalah awal pengetahuan, kata penyemangat dari pak Asep Jahidin, dosen filsafat IKS. Meski sejatinya tetap saja, orang bingung akan kesulitan menemukan jalan keluar.
Lalu, apa yang harus kita lakukan selaku kaum intelektual (konon agen perubahan)  menghadapi problematika keilmuan seperti ini? Data UNESCO tahun 2011 masih menempatkan Indonesia peringkat pendidikannya masih nomor 64 dari 120 negara lain. Sementara itu, data KEMENDIKBUD tahun 2010 memaparkan 1,8 juta anak tiap tahun tidak dapat melanjutkan pendidikan. Sungguh, kondisi yang memprihatinkan, sementara hampir  semua orang disibukkan dan menyibukkan diri dengan perbincangan politik, konflik agama, dan kaum seni yang terlalu eksistensialis, dalam bahasa WS Rendra, yang sibuk bersyair tentang anggur dan rembulan, sementara ketidakadilan disampingnya. Kebiasaan apatis semacam ini yang kini marak mewarnai kehidupan sosial bangsa Indonesia.
Maka dengan demikian, Kita pasti butuh langkah konstruksif untuk menyelesaikan problem pendidikan juga keilmuan seperti ini. selayaknya langkah strategis perlu diambil dalam rangka perbaikan. Ushul Fiqh mempunyai gagasan menarik dalam pernyataan “Dar’ul Mafaasidi Muqoddimu Jalbil Masyoolikh” mencegah bahaya didahulukan daripada menarik datangnya kebaikan. Anggap saja kondisi keilmuan kriteria 2 dan 3 adalah bahaya yang harus kita cegah dan diberantas. Maka langkah preventif harus kita upayakan bersama. Coba kita fokuskan pada kriteria nomer Dua, untuk para pelaku onani intelektual, kita ajukan pertanyaan untuk memancing kesadaran: sebarapa tidak pentingkah orang lain untuk kita? haruskah kita melakukan onani intelektual sepanjang masa? Tentunya dibutuhkan kesadaran yang tinggi bahwa pendidikan untuk semua harus diutamakan dan tak lupa untuk menengok nasib pendidikan bangsa ini yang masih jauh dari kata sejahtera. Untuk kreteria ketiga (yang lebih miris) timbul pertanyaan lagi, apa gunanya memasuki dunia keilmuan (baca; kampus) kalau tidak ada yang bisa dipahami dan mempengaruhi kita bersikap lebih positif? apa bedanya kondisi seperti ini dengan tidur, mendengkur, dan terlena dengan mimpi panjang yang indah? sengaja saya tidak memberikan gagasan sistematis seperti ayolah kita membuat Study club, mengikti Organisasi atau LSM, dan lain sebagainya, karena semua itu kosong tanpa adanya kesadaran terlebih dahulu.
Saya suka menyebut kesadaran adalah “harga mati” untuk kita semua dan saya lebih senang orang yang tidak menyebut dirinya kaum intelektual, tapi melakukan tindakan kemanusiaan dengan apa yang dia miliki. Seperti yang diangkat di tema  tentang Renaissance. Gambarannya kita berada dalam zaman kegelapan (baca; abad pertengahan) dan sebentar lagi (semoga) memasuki zaman kelahiran kembali, pencerahan (baca; renaissance).
Sebagai penutup, Dosa terbesar manusia adalah tidak berbuat apa-apa atau hanya berdiam diri ditengah potensi keilmuan yang dia miliki. Bersikap seolah semua baik-baik saja padahal kekacauan berada di sekitarnya, dan menikmati tidur panjang ditengah orang-orang yang berteriak membutuhkan bantuan dari tangan-tangan kita. Terakhir, sangat bijaksana K. Hadjar Dewantara bertutur untuk kita semua, bahwa “hanya dengan kecerdasan jiwalah manusia menuju arah kesejahteraan”

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun