Mohon tunggu...
Darryl Hilmy
Darryl Hilmy Mohon Tunggu... Lainnya - Undergraduate Student in Political Sciences Department, Faculty of Social and Political Sciences, University of Indonesia

A fan of Liverpool Football Club, Boston Celtics and Boston Red Sox. An enthusiast in pop culture especially music. Also likes cars, model kits, technology and food. I write for fun.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Omnibus Law dan Buruh Perempuan: Sebuah Perspektif

15 November 2020   15:01 Diperbarui: 15 November 2020   15:10 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Conflict of Interest Statement: Tulisan ini dibuat untuk penilaian Ujian Tengah Semester Ganjil mata kuliah Perempuan dan Politik. Penulis menyatakan bahwa tulisan berikut bersifat murni akademis tanpa ada kepentingan finansial dan politik dari penulis maupun pihak-pihak lain.

Pada tahun 2020, Rancangan Undang-undang Cipta Lapangan Kerja (RUU Cilaka) atau yang sering disebut Omnibus Law disahkan menjadi Undang-undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Undang-undang ini membahas tentang ketenagakerjaan dan investasi, Upah Minimal Kabupaten/Kota dan kontrak kerja. 

Undang-undang ini menjadi undang-undang yang kontroversial, karena mendapat tentangan dari berbagai kelompok masyarakat di Indonesia, seperti mahasiswa, buruh dan perempuan. Salah satu kelompok yang menolak Omnibus Law ini adalah kelompok perempuan, karena Omnibus Law dianggap sebagai peraturan perundang-undangan yang merugikan perempuan terutama kelompok pekerja perempuan karena perubahan peraturan cuti hamil dan menstruasi.

Akan tetapi, apakah Omnibus Law merugikan kelompok perempuan secara keseluruhan? Tulisan ini akan membahas bagaimana reaksi kelompok perempuan terhadap Omnibus Law, dampak Omnibus Law terhadap perempuan, dan bagaimana masa depan perempuan akan terbentuk sebagai efek dari Omnibus Law nantinya.

Sherry Cable dalam tulisannya Women's Social Movement Involvement: The Role of Structural Availability in Recruitment and Participation Processes (1992) tentang teori pergerakan sosial kelompok perempuan menjelaskan bahwa kelompok perempuan mempunyai dorongan untuk melakukan perubahan peran gender melalui gerakan-gerakan sosial karena perubahan peran ini akan mengubah tatanan hidup domestik perempuan secara keseluruhan (Cable, 1992 p. 35). 

Pernyataan ini sejalan dengan pendapat Fraser (1992) yang mengkritik konsep nation-state dan gender dari Habermas (1991) yang menurutnya mengekslusikan perempuan. Fraser dalam Rinaldo (2008) beranggapan bahwa perempuan harus berada dalam lingkungan politik agar kepentingan perempuan tidak ditinggalkan oleh institusi negara (Rinaldo, 2008 p. 1782). Peran perempuan dalam penyusunan Omnibus Law terlihat pada posisi ketua DPR RI yaitu Puan Maharani. 

Puan Maharani sebagai ketua DPR RI menjadi aktor utama pengesahan RUU Cilaka menjadi sebuah UU, karena menurutnya RUU ini mendukung seluruh elemen masyarakat terutama buruh. 

Dilansir dari Tirto.id, Puan menyatakan bahwa RUU ini tetap akan berlanjut karena menjadi RUU yang menjadi prioritas kepentingan negara (Briantika, 2020). Tetapi, yang jadi pertanyaan adalah: Apakah dalam kepentingan negara ini, kelompok perempuan termasuk kelompok yang diuntungkan? Apakah posisi Puan sebagai ketua DPR dan yang mengesahkan Omnibus Law dapat mempermudah kelompok perempuan?

Sayangnya, posisi Puan sebagai ketua DPR dan sebagai perempuan tidak berhasil menimbulkan perubahan yang positif bagi kelompok perempuan. Dampak yang terjadi malah sebaliknya, dimana kelompok perempuan malah mendapat dampak yang negatif dari diberlakukannya Omnibus Law. 

Dilansir Detik.com, LSM Solidaritas Perempuan (SP) menyatakan bahwa setidaknya ada lima poin dalam Omnibus Law yang berpotensi merugikan perempuan: kemudahan AMDAL dan KLHS yang berpotensi mengancam perempuan di daerah, tidak dilibatkannya perempuan dalam investasi yang mengancam kepemilikan tanah perempuan, memperluas konflik agraria, mengancam kedaulatan pangan dan migrasi tenaga kerja perempuan dari sektor agraria menjadi buruh rumah tangga yang notabene tidak dijamin pemerintah (Rahayu, 2020). 

Tentu peraturan-peraturan ini akan sangat berdampak bagi perempuan terutama di wilayah rural yang kebanyakan bekerja sebagai buruh tani, karena apabila AMDAL dan KLHS dipermudah, akan menciptakan kemudahan bagi investor untuk menggusur tanah kepemilikan perempuan dan di saat yang sama menutup mata pencaharian sehari-hari mereka. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun