Mohon tunggu...
Emanuel Odo
Emanuel Odo Mohon Tunggu... Penulis Lepas pecanduan kopi

Mengamati

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Lima Puluh Meter (50 METER)

20 Agustus 2025   12:22 Diperbarui: 20 Agustus 2025   12:22 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

                                                                                                                            Gunungkidul.pic 

Saya Emanuel Odo  seorang mahasiswa Indonesia menuliskan catatan getir ini setelah tiga hari berada di Dusun Kendal, Desa Melikan, bersama kawan-kawan saya dari Jerman, Laos, Vietnam, Malaysia, Filipina, dan Indonesia. Kami datang dengan semangat lintas bangsa  bukan untuk politik bukan untuk propaganda  melainkan sekadar untuk belajar dari masyarakat penganut kepercayaan "Kejawen Urip Sejati" sebuah komunitas yang menyimpan kekayaan budaya Nusantara yang tak ternilai. Tetapi Ironisnya  yang kami temukan bukanlah wajah ramah Indonesia yang selalu digembar-gemborkan di panggung internasional melainkan wajah curiga, represif, dan miskin kepercayaan diri. Kawan-kawan asing yang datang dengan dokumen lengkap tetapi  justru diperlakukan seakan-akan mereka mata-mata. Aktivitas kami dipagari hanya boleh berjalan sejauh lima puluh meter dari rumah. Kami ingin belajar bertani  dilarang, kami ingin menghirup udara kebebasan pedesaan malah dijejali tatapan aparat yang datang silih berganti, seakan-akan kami sedang bersekongkol menjatuhkan negara.

Sebagai mahasiswa Hubungan Internasional, saya melihat ironi ini dengan rasa malu sekaligus marah. Betapa naifnya pemerintah setempat dan aparat keamanan yang berpikir bahwa anak-anak muda asing ini datang untuk "agenda politik tersembunyi". Tidakkah mereka sadar  bahwa dalam politik internasional citra sebuah negara bukan hanya dibangun lewat diplomasi resmi melainkan juga lewat pengalaman kecil seperti ini? Alih-alih menjadi duta tidak resmi yang mempromosikan Indonesia sebagai bangsa besar yang ramah dan terbuka tetapi kawan-kawan saya justru akan pulang membawa cerita horor bahwa Indonesia adalah negeri yang curiga pada tamunya sendiri  negeri yang masih takut pada keberagaman  negeri yang membiarkan masyarakat adatnya hidup dalam bayang-bayang intimidasi.

Saya jadi bertanya apakah pemerintah setempat sungguh paham arti "soft power"? Apakah mereka tahu bahwa yang kami lakukan di sini justru bagian dari diplomasi kultural yang memperkuat posisi Indonesia di mata dunia? Jika mereka tahu  mengapa memperlakukan kami seperti kriminal? Atau jangan-jangan, memang pemerintah kita terlalu nyaman memainkan peran sebagai "penjaga ketertiban" tanpa pernah benar-benar belajar apa arti kehormatan bangsa di mata global?

Bapak 80 tahun merdeka namun mental sebagian aparat dan birokrasi kita masih kolonial memandang rakyat sendiri dengan curiga, dan memperlakukan tamu dengan pengawasan ketat. Bedanya  kini bukan lagi Belanda yang menindas, melainkan bangsa kita sendiri yang menindas sesama anak bangsa. Jika bapak mengetahui bahwa dahulu penjajah membatasi gerak rakyat dengan senjata, kini aparat kita membatasi gerak rakyat dan tamu dengan dalih "keamanan". Padahal apa  yang lebih berbahaya bagi nama baik bangsa tamu asing yang ikut ke kebun untuk belajar bertani atau tamu asing yang pulang dengan cerita bahwa Indonesia adalah negeri yang menindas keberagaman? Bapak  Saya pastikan  yang kedua jauh lebih berbahaya. Satu cerita buruk bisa lebih kuat dari seribu baliho pariwisata.  Satu pengalaman represif bisa menghapus semua pidato indah tentang "Bhinneka Tunggal Ika".

Gunungkidul. merahputih
Gunungkidul. merahputih
Sebagai mahasiswa saya tidak ingin terus-menerus menunduk dalam malu. Saya ingin bersuara bahwa kebijakan ini adalah kegagalan diplomasi lokal. Sebuah ironi yang menunjukkan betapa miskinnya imajinasi pemerintah kita tentang arti keamanan dan kemerdekaan. Sebab keamanan sejati bukanlah membatasi langkah orang asing, tetapi memastikan bahwa masyarakat adat dapat hidup tanpa rasa takut. Dan kemerdekaan sejati bukanlah sekadar menaikkan bendera tiap 17 Agustus, tetapi memberi ruang pada setiap keyakinan, setiap budaya, untuk hidup tanpa intimidasi.

Saya  Emanuel Odo  meninggalkan desa ini dengan perasaan hancur. Saya membayangkan kawan-kawan saya dari Jerman, Laos, Vietnam, Malaysia, dan Filipina akan bercerita kepada komunitas mereka di tanah air. Tetapi alih-alih cerita tentang sawah hijau, keramahan masyarakat, atau kearifan lokal yang luhur, mereka akan bercerita tentang aparat bersenjata, tentang pengawasan ketat, tentang ketakutan yang menggelayut. Dan ketika cerita itu menyebar, dunia tidak akan mengenal Indonesia sebagai negeri yang ramah, tetapi sebagai negeri yang paranoid.

Jika pemerintah setempat masih merasa bangga dengan cara ini  maka saya hanya bisa  mengatakan : *kalian mungkin berhasil menjaga kami agar tidak melangkah lebih dari lima puluh meter, tetapi kalian gagal menjaga kehormatan Indonesia yang melayang jauh ke luar negeri.*

Dan saya ingin menutup pernyataan ini dengan pertanyaan yang menusuk: apakah kita sungguh bangsa merdeka, atau sekadar bangsa yang rajin merayakan kemerdekaan sementara jiwanya masih dijajah oleh ketakutan?

By: Emanul odo

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun