Mohon tunggu...
Emanuel Ristian Handoyo
Emanuel Ristian Handoyo Mohon Tunggu... Dosen

Seorang pengajar di UAJY yang antusias mengeksplorasi teknologi dan transformasi digital. Memiliki fokus pada UX research, privasi informasi, serta perkembangan ekonomi digital. Aktif mengikuti tren AI terkini serta mengeksplorasi penerapan teknologi digital dalam konteks riset dan pembelajaran.

Selanjutnya

Tutup

Parenting

Fenomena Orang Tua Milenial Indonesia yang Membatasi Teknologi pada Anaknya

22 April 2025   00:14 Diperbarui: 22 April 2025   00:14 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagaimana diungkapkan oleh pakar perkembangan bahasa anak, "Yang terpenting adalah berinteraksi dan berbicara langsung dengan anak, karena itulah cara mereka belajar bahasa. Anak tidak mendapatkan stimulasi dan umpan balik yang sama dari sebuah layar." Ini seperti perbedaan antara belajar berenang dari video tutorial dan belajar berenang langsung di kolam dengan pelatih -- umpan balik langsung, dukungan, dan adaptasi yang dipersonalisasi tidak dapat digantikan oleh layar.

Para ahli menekankan pentingnya pengalaman bersama seperti membaca dan bermain dengan mainan yang berinteraksi dengan bahasa dan perasaan. "Orang tua adalah guru pertama dan terpenting bagi anak. Pengalaman bersama seperti membaca dan bermain dengan mainan yang melibatkan bahasa, perasaan, dan emosi adalah saat-saat berharga yang membentuk perkembangan anak secara optimal," jelas seorang spesialis perkembangan anak.

Tantangan Penggunaan Teknologi dalam Pendidikan Indonesia

Tantangan terbesar bagi orang tua Indonesia dalam membatasi screen time adalah inkonsistensi di berbagai lingkungan. Sekolah-sekolah di Indonesia semakin banyak mengintegrasikan teknologi dalam pembelajaran, bahkan sejak jenjang pendidikan dasar. Pandemi Covid-19 yang telah berlalu semakin mempercepat digitalisasi pendidikan, membuat orang tua kesulitan menegakkan batasan screen time ketika sekolah justru mendorong penggunaan perangkat digital untuk pembelajaran.

Seperti yang disampaikan oleh seorang pengamat pendidikan, "Bayangkan seorang orang tua sudah berusaha menerapkan batasan gadget di rumah, tapi kemudian anaknya ke sekolah dan disana justru difasilitasi dengan layar digital. Ini tantangan besar dalam era pendidikan digital sekarang." Ini menciptakan dilema seperti orang tua yang mengajarkan pola makan sehat di rumah, sementara di luar rumah anak dikelilingi makanan cepat saji. Inkonsistensi ini membuat upaya membatasi screen time menjadi jauh lebih sulit.

Para ahli menyarankan orang tua untuk aktif berkomunikasi dengan sekolah: "Saatnya berdialog dengan pihak sekolah dan menanyakan berapa jam anak-anak terpapar layar digital di kelas? Apakah memang perlu memberikan tablet pada anak TK?" Pertanyaan-pertanyaan kritis ini penting untuk memulai dialog tentang keseimbangan penggunaan teknologi dalam pendidikan.

Strategi "Modeling" untuk Keluarga Indonesia

Orang tua Indonesia yang menerapkan pembatasan layar mengakui bahwa konsistensi dan modeling adalah kunci utama keberhasilan. Seperti ditegaskan oleh pakar pengasuhan, "Tindakan kita jauh lebih berpengaruh daripada kata-kata." Ini bagaikan seorang pelatih yang mengajarkan kesehatan dengan sebatang rokok di tangannya -- pesan dan contoh yang bertentangan.

Para ahli perkembangan anak menekankan pentingnya orang tua menyadari perilaku mereka sendiri: "Apakah orang tua sadar bahwa mereka sendiri adalah bagian dari masalah dengan kecanduan layar yang mereka alami?" Ini adalah refleksi penting yang harus dilakukan setiap orang tua. Mereka menyarankan, "Sadari ketika Anda terlalu fokus pada ponsel. Anak Anda tidak merespons, Anda pun kesal. Letakkan ponsel itu dan kembalilah pada anak Anda, tunjukkan bahwa Anda hadir sepenuhnya untuk mereka."

Strategi konkret yang disarankan untuk keluarga Indonesia meliputi penetapan zona dan waktu bebas gadget di rumah, menciptakan rutinitas keluarga yang tidak melibatkan teknologi, dan memberikan contoh penggunaan teknologi yang sehat. Ini seperti menciptakan "oasis digital" -- ruang dan waktu di mana koneksi manusia menjadi prioritas utama, dan bukan koneksi internet.

Membangun Benteng Digital yang Sehat

Tantangan yang dihadapi keluarga Indonesia adalah menemukan keseimbangan yang tepat -- tidak terlalu ketat hingga anak menjadi "buta teknologi", namun tidak terlalu longgar hingga terjebak kecanduan. Ini seperti mengajarkan anak berenang -- kita tidak ingin anak tenggelam, tapi kita juga tidak ingin mereka takut air seumur hidup.

Para pakar kesehatan anak merekomendasikan untuk tidak memperkenalkan screen time sama sekali sebelum usia 3 tahun: "Usahakan untuk tidak mengenalkan anak pada layar digital sebelum usia 3 tahun." Ini adalah batasan yang jelas yang dapat menjadi panduan bagi orang tua. Bahkan untuk media yang mengklaim sebagai "edukatif", para ahli tetap skeptis: "Hindari YouTube, ponsel, dan tablet, bahkan yang mengklaim sebagai konten pendidikan." Ketika ditanya mengapa, jawaban mereka tegas: "Karena kita tidak benar-benar tahu apakah konten tersebut benar-benar edukatif."

Orang tua yang merasa telanjur memperkenalkan gadget terlalu dini tidak perlu putus asa. Seperti yang diungkapkan oleh konsultan pengasuhan anak, ketika ditanya, "Bagaimana jika orang tua merasa sudah terlambat?" Jawabannya menawarkan harapan: "Tidak ada kata terlambat, Anda selalu bisa memulai perubahan kapan saja." Ini mengingatkan kita bahwa tidak pernah terlambat untuk mengevaluasi kembali kebiasaan digital keluarga dan membuat perubahan positif.

Memadukan Kearifan Lokal dengan Literasi Digital

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun