Menurut tokoh sufi kondang, Muhammad Ibnu Atha'illah as-Sakandari (1250-1309) dalam kitabnya Al-Hikam mengungkapkan, "Janganlah engkau mendekati orang yang perilakunya tidak menggugah kesadaranmu pada Allah, dan ucapannya tidak menunjukkanmu pada jalan Allah".Â
Ironinya, sebagian tokoh dan pemuka agama yang seharusnya menyeru kebaikan dan mencegah kemungkaran (amar ma'ruf nahi mungkar), justru menghancurkan tatanan toleransi di antara umat manusia melalui khotbah-khotbah agama yang sebetulnya memuat kebencian. Hal tersebut justru merusak dan merobek wajah Islam sebagai agama yang toleran dan memperjuangkan perdamaian.
Para perusak toleransi di dunia maya, secara eksplisit berpaham oportunistik memanfaatkan sentimen-sentimen keagamaan yang semata-mata, hendak mengambil keuntungan untuk diri sendiri maupun komunalnya. Dengan membangkitkan emosi masyarakat sehingga mendorong pengekspresian kehendak massa yang berujung pada mobilisasi aksi kekerasan yang merusak.
Aktor penghasut dan peluku intoleransi semacam Refly Harun dan Sugi Nur Raharja, selayaknya ditindak tegas melalui aturan-aturan hukum. Meski penulis sendiri mempertanyakan Undang-undang yang memuat pasal-pasal karet tentang pelarangan dalam penghinaan agama di negeri demokrasi.
Akan tetapi tidaklah patut para perusak toleransi itu terus mengumandangkan ujaran kebencian yang berakhir aksi-aksi anarki terhadap kelompok yang berkeyakinan dan berpandangan lain.
Oleh karena itu, kita perlu terus mengawasi para perusak toleransi, baik di lingkungan sekitar, maupun para peselancar jaringan maya. Melalui persatuan dan kesatuan dengan penuh rasa cinta sebagai energi sekaligus substansial keagamaan, mari kita pekikkan rasa persaudaraan dan perdamaian di antara perbedaan keyakinan, suku, ras, jenis kelamin, ideologi dan afiliasi politik. Perbedaan itulah yang seharusnya menopang kekuatan dalam menghadapi zaman penuh fitnah dan kebencian yang merusak toleransi.