Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, jaminan terhadap hak asasi manusia adalah amanat konstitusional yang tidak bisa dinegosiasikan. Konstitusi Indonesia secara eksplisit menyatakan bahwa setiap orang berhak atas perlindungan terhadap diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang berada di bawah kekuasaannya, serta mendapatkan rasa aman dan bebas dari ancaman, maupun memilih untuk menjalankan suatu tindakan yang menjadi bagian dari hak asasinya. Norma konstitusional tersebut merupakan refleksi dari prinsip negara hukum yang berpegang teguh pada martabat semua orang serta menjamin kebebasan individu dari segala bentuk ancaman, kekerasan, dan pelanggaran hak. Konsekuensi dari jaminan konstitusonal tersebut adalah adanya kewajiban negara untuk hadir melindungi serta menjamin hak-hak warga negara, termasuk dalam situasi di mana terjadi pelanggaran hukum yang mengakibatkan kerugian, dari fisik maupun psikis terhadap individu. Apabila negara, melalui aparat penegak hukum dan instrumen-instrumen kelembagaannya tidak mampu menciptakan rasa terlindungi bagi korban tindak pidana, maka hal tersebut merupakan bentuk kegagalan negara dalam memenuhi tanggung jawab konstitusionalnya.Â
Berdasarkan kerangka filosofis dan teoritis, pemikiran Jeremy Bentham mengenai Teori Utilitas dalam karya terkenalnya The Theory of Legislation memberikan informasi penting bagi pembentukan hukum yang berorientasi pada kesejahteraan sosial. Bentham berpendapat bahwa hukum harus berfungsi sebagai sarana dalam melahirkan rasa bahagia bagi banyak orang. Dalam konteks ini, hukum idealnya berperan sebagai instrumen yang mendistribusikan manfaat berupa rasa aman, keadilan, kesetaraan, serta kesejahteraan ekonomi bagi masyarakat. Oleh karena itu, kepastian hukum dan keamanan hak-hak korban kejahatan menjadi indikator fundamental dari esensi fungsi hukum. Menciptakan rasa aman bagi masyarakat tidak semata-mata melalui penjatuhan pidana kepada pelaku kejahatan, tetapi juga melalui pemulihan hak-hak korban yang dirugikan akibat perbuatan melawan hukum tersebut.
Relitas yang berkembang di tengah masyarakat menunjukkn adanya ketimpangan dalam implementasi perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana, khususnya dalam hal pemulihan hak atas ganti kerugian. Tidak seidikit korban kejahatan yang pada akhirnya tidak memperoleh kompensasi atas kerugian yang dideritanya. Dalam banyak kasus apabila korban berhasil mendapatkan bentuk ganti rugi, hal tersebut lebih sering terjadi melalui mekanisme non-litigasi seperti mediasi antara korban dan pelaku. Praktik ini biasanya dilakukan atas inisiatif pelaku, dengan tujuan utama untuk menghindari proses hukum pidana yang dapat berujung pada penjatuhan pidana terhadapnya. Fenomena tersebut mencerminkan lemahnya posisi hukum korban dalam sistem peradilan pidana, di mana pemulihan hak-hak nya tidak menjadi perhatian utama, dan justru disubordinasikan di bawah aspek pembuktian kesalahan pelaku.
Sistem peradilan pidana Indonesia, seperti yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memang menyediakan mekanisme hukum yang memungkinkan korban untuk menuntut ganti rugi kerugian melalui Gugatan Ganti Rugi atau yang dikenal sebagai voeging berdasarkan ketentuan Pasal 98 KUHAP. Pasal tersebut membuka peluang bagi korban atau ahli warisnya untuk menggabungkan tuntutan ganti rugi dengan proses pidana yang sedang berlangsung. Namun demikian, dalam praktiknya ketentuan tersebut tidak mampu memberikan perlindungan hukum yang efektif dan optimal bagi korban. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain persyaratan formal yang mengharuskan korban secara aktif mengajukan permohonan penggabungan perkara secara tersendiri, serta ketidakjelasan tata cara dan standar pembuktian kerugian dalam forum pidana yang secara esensial lebih berorientasi pada pembuktian unsur-unsur delik.
Teori viktimisasi primer merupakan salah satu fondasi utama dalam studi viktimologi yang menyoroti penderitaan langsung yang dirasakan korban dan diakibatkan oleh terjadinya tindak pidana. Penderitaan ini tidak dibatasi oleh aspek fisik dan material, tetapi juga mencakup dimensi psikologis dan sosial yang seringkali bersifat jangka panjang. Negara mempunyai tanggung jawab mendasar dalam memberikan perlindungan hukum dan jaminan pemulihan kepada korban melalui mekanisme yang efektif dan cepat, seperti pemberian restitusi dan kompensasi. Restitusi sebuah bentuk ganti kerugian yang dibayarkan dari pelaku untuk korban, diakui atas persfektif viktimologi sebagai upaya pemulihan yang esensial. Sedangkan kompensasi merupakan wujud bentuk tanggung jawab negara terhadap korban. Hal ini sejalan dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang mengatur hak korban untuk memperoleh restitusi atas kerugian yang dideritanya. Mekanisme ini bertujuan untuk memulihkan keadaan korban mendekati kondisi awal sebelum terjadinya tindak pidana.
Ketentuan UU No. 13 Tahun 2006 jo. UU No. 31 Tahun 2014
Pasal 7
Merupakan dasar yuridis terhadap korban hak asasi manusia yang berat dan korban tindak pidana terorisme untuk memperoleh kompensasi dari negara. Kompensasi di sini dimaknai sebuah cara ganti kerugian yang didapat dari negara, khususnya dalam keadaan di mana pelaku tidak memiliki kemampuan dalam hal pemenuhan kewajibannya membayar ganti rugi terhadap korban. Dalam ketentuan ini negara mengambil tanggung jawab pemulihan sebagai wujud hadirnya negara dalam melindungi warga negaranya yang merupakan korban tindak pidana berat. Permohonan kompensasi dilakukan oleh korban, keluarga, atau kuasanya yang diberikan atas putusan pengadilan tetap dan pendanaannya berasal dari anggaran negara melalui LPSK. Untuk korban tindak pidana terorisme, pelaksanaan kompensasi mengacu pada undang undang khusus yang mengatur pemberantasan terorisme, menunjukkan kerangka perlindungan khsusus bagi jenis kejahatan tertentu.
Pasal 7A
Menjelaskan bahwa setiap korban tindak pidana memiliki hak untuk mendapatkan restitusi dari pelaku atau pihak ketiga. Restitusi meliputi:
a) "ganti rugi atas kehilangan kekayaan atau penghasilan