Mohon tunggu...
elsaumairah
elsaumairah Mohon Tunggu... Mahasiswi

music, sport, and nature lovers. and learn about anything i loved

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Optimalisasi Penanganan Dalam Meminimalisir Kredit Bermasalah/Macet

13 Desember 2024   13:32 Diperbarui: 14 Desember 2024   15:58 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Optimalisasi Penanganan Dalam Meminimalisir Kredit Bermasalah/Macet

Kredit bermasalah (Ismail, 2013) adalah kredit yang telah disalurkan oleh suatu lembaga keuangan, dan debitur tidak dapat melakukan pembayaran atau angsuran sesuai dengan perjanjian yang telah ditandatangani oleh bank dan nasabah. Bank Indonesia (BI) menetapkan arah dan kebijakan agar setiap lembaga keuangan secara bertahap dapat menurunkan NPL sampai dengan tingkat tidak lebih dari 5%.

Berikut terdapat beberapa permasalahan mengenai kredit bermasalah di Pegadaian Kanwil Balikpapan diantaranya : Pegadaian Kanwil Balikpapan hampir setiap tahunnya sering mengalami resiko kredit bermasalah, dalam setahun terdapat begitu banyak berkas debitur bermasalah yang dilakukan penyelamatan melalui restrukturisasi kredit oleh pihak Pegadaian  Kanwil Balikpapan. Permasalahan ini timbul dari kredit bermasalah yang berkaitan dengan adanya pandemic covid 19 selama tahun 2020.

Berdasarakan hasil wawancara yang dilakukan di Pegadaian Kanwil Balikpapan, didapatkan data jumlah kredit bermasalah pada tahun 2017, 2018, 2019 dan 2020. Dilihat dari permasalahan yang ada maka dibutuhkan strategi yang dapat mengantisipasi kerugian yang diakibatkan kredit bermasalah, yakni salah satunya diantaranya dengan menggunakan strategi restrukturisasi sebagai upaya pengamanan sehingga tidak semakin parah dan mengakibatkan sulitnya penyelesaian kredit bermasalah.

Restrukturisasi kredit adalah upaya yang dilakukan dalam perbaikan di lembaga keuangan dalam kegiatan perkreditan terhadap debitur yang mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajibannya yang diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No.11/POJK.03/2015 dan PBI Nomor 14/15/PBI/2012. Program restrukturisasi kredit akan memberikan pembayaran hutang dengan syarat yang lebih lunak atau lebih ringan dibandingkan dengan syarat sebelum proses restrukturisasi sehingga dapat memperbaiki posisi keuangan debitur. Dalam Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) Nomor 23/12/BPPP tanggal 28 Februari 1991, menjelaskan beberapa kebijakan dalam penyelamatan kredit macet, mulai dari rescheduling (penjadwalan kembali), reconditioning (persyaratan kembali), restructuring (penataan kembali).

Kredit bermasalah atau kredit macet merupakan salah satu tantangan terbesar yang dihadapi oleh lembaga keuangan, seperti bank, perusahaan pembiayaan, dan institusi lainnya. Ketika debitur gagal membayar kewajibannya sesuai jadwal, bank akan mengalami risiko kerugian yang dapat mempengaruhi stabilitas keuangan mereka. Oleh karena itu, penanganan kredit bermasalah menjadi aspek yang sangat penting dalam dunia perbankan. 

Artikel ini membahas tentang penanganan dan analisis kredit bermasalah, serta langkah-langkah yang diambil oleh bank untuk mengurangi dampak negatifnya. Penanganan kredit bermasalah atau kredit macet adalah langkah-langkah yang diambil oleh lembaga keuangan, seperti bank, untuk mengelola dan menyelesaikan masalah terkait peminjam yang tidak dapat memenuhi kewajibannya dalam membayar cicilan pinjaman. Kredit bermasalah ini biasanya terjadi ketika peminjam tidak membayar pokok atau bunga pinjaman sesuai dengan jadwal yang telah disepakati.

Apa Itu Kredit Bermasalah?

Kredit bermasalah adalah pinjaman yang tidak dapat dibayar kembali oleh debitur sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati. Kredit bermasalah terbagi dalam beberapa kategori, seperti:

  1. Non-performing loan (NPL): Merupakan pinjaman yang sudah terlambat lebih dari 90 hari.
  2. Restructured loan: Pinjaman yang mengalami perubahan ketentuan karena kesulitan pembayaran oleh debitur.
  3. Write-off loan: Pinjaman yang dianggap tidak dapat ditagih lagi oleh bank dan dihapus dari laporan keuangan.

Analisis Kredit Bermasalah

Proses analisis kredit bermasalah sangat penting dalam menentukan langkah-langkah penyelesaiannya. Berikut adalah beberapa aspek yang dianalisis dalam kredit bermasalah:

1. Identifikasi dan Klasifikasi Risiko

Langkah pertama dalam penanganan kredit bermasalah adalah identifikasi. Bank harus memantau performa kredit secara teratur dan mendeteksi sejak dini pinjaman yang berpotensi bermasalah. Kredit yang bermasalah kemudian diklasifikasikan berdasarkan tingkat keparahannya, yang biasanya terbagi dalam kategori sebagai berikut:

  • Lancar: Kredit yang masih dibayar tepat waktu.
  • Dalam Perhatian Khusus (DPK): Kredit yang menunjukkan potensi bermasalah.
  • Macet: Kredit yang telah melewati jatuh tempo dan berisiko tidak dapat dibayar.

2. Evaluasi Kemampuan Bayar Debitur

Analisis ini melibatkan penilaian terhadap kemampuan finansial debitur, seperti:

  • Analisis cash flow (arus kas): Memeriksa apakah debitur masih mampu membayar kewajiban dengan sumber pendapatan yang ada.
  • Posisi likuiditas: Mengukur apakah debitur memiliki aset yang dapat dijual atau dicairkan untuk memenuhi kewajibannya.
  • Aset dan Agunan: Memastikan apakah debitur memiliki agunan yang cukup untuk menutupi pinjaman yang belum dibayar.

3. Perilaku Pembayaran Debitur

Bank akan menganalisis pola pembayaran debitur, apakah terjadi keterlambatan berkala atau satu kali, serta alasan keterlambatannya. Jika debitur mengalami kesulitan keuangan sementara, maka bank bisa menawarkan opsi restrukturisasi.

4. Pemahaman Kondisi Eksternal

Kondisi ekonomi eksternal, seperti inflasi, tingkat suku bunga, atau krisis ekonomi, juga akan dianalisis. Terkadang, kredit bermasalah terjadi karena faktor eksternal yang mempengaruhi kemampuan debitur untuk memenuhi kewajiban.

Langkah-langkah penanganan kredit bermasalah meliputi :

  1. Identifikasi Dini: Bank atau lembaga keuangan segera mengidentifikasi debitur yang terlambat membayar, biasanya berdasarkan ketentuan waktu pembayaran seperti 30, 60, atau 90 hari setelah jatuh tempo.

  2. Penyuluhan dan Negosiasi: Pihak bank atau lembaga keuangan melakukan komunikasi dengan debitur, memberikan informasi mengenai keterlambatan pembayaran dan mencoba mencari solusi agar debitur bisa kembali memenuhi kewajibannya. Negosiasi dapat mencakup perpanjangan waktu, penurunan bunga, atau restrukturisasi utang.

  3. Restrukturisasi Pinjaman: Jika debitur memiliki masalah keuangan sementara, bank dapat menawarkan restrukturisasi pinjaman, seperti perubahan jadwal pembayaran atau pengurangan cicilan untuk periode tertentu.

  4. Penjaminan atau Jaminan: Dalam beberapa kasus, jika debitur gagal memenuhi kewajibannya, bank dapat melaksanakan haknya terhadap jaminan atau agunan yang telah diserahkan sebelumnya oleh debitur.

  5. Penagihan dan Tindakan Hukum: Jika upaya penyelesaian tidak berhasil, bank dapat melibatkan agen penagihan untuk mengingatkan atau mengambil tindakan hukum untuk mendapatkan kembali uang yang terutang, termasuk melalui gugatan ke pengadilan atau penyitaan aset.

  6. Penyelesaian dengan Jual Aset: Sebagai langkah terakhir, jika debitur tetap tidak dapat membayar, bank dapat menjual agunan atau aset yang dijaminkan untuk mengurangi kerugian.

Penanganan kredit bermasalah penting bagi bank untuk menjaga kesehatan keuangan dan mengurangi risiko kerugian yang lebih besar.

Peran OJK dan Regulasi dalam Penanganan Kredit Bermasalah

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai lembaga pengawas sektor jasa keuangan di Indonesia memberikan pedoman terkait penanganan kredit bermasalah. Salah satu regulasi yang diterbitkan oleh OJK adalah Peraturan OJK Nomor 15/POJK.03/2017, yang mengatur tentang penanganan kredit bermasalah. OJK menekankan pentingnya bank untuk memiliki prosedur penanganan yang jelas dan transparan agar tidak menambah beban bagi debitur yang berusaha untuk memperbaiki kondisi keuangan mereka.

Lembaga dan Sarana Hukum Apa Yang Dapat Dipergunakan Dalam Menyelesaikan Kredit Bermasalah? 

Apabila penyelesaian sebagaimana tersebut diatas tidak berhasil dilaksanakan, pada umumnya upaya yang dilakukan bank dilakukan melalui prosedur hukum. Sehubungan dengan hal tersebut, sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku terdapat beberapa lembaga dan berbagai sarana hukum yang dapat dipergunakan untuk mempercepat penyelesaian masalah kredit macet perbankan. Pengaruh kelembagaan terhadap kelancaran penyelesaian krisis perbankan menunujukkan pengaruh yang penting. Krisis perbankan membebani fiskal terutama apabila dilaksanakan kebijakan seperti rekapitalisasi perbankan, bantuan likuiditas, dan jaminan pemerintah yang eksplisit terhadap lembagalembaga keuangan, serta penerapan kelonggaran atas peraturan prudensial. Kelembagaan yang lebih baik yang melaksanakan pengurangan praktik korupsi dan memperbaiki hukum dan ketentuan, sistem hukum, dan birokrasi, maka akan dihasilkan teknik yang lebih berkesinambungan untuk memonitor dan mengawasi dampak lingkungan yang kurang baik dari kelembagaan dalam menghadapi kemungkinan krisis keuangan dan besarnya biaya fiskal. Disarankan agar negara-negara menerapkan kebijakan yang ketat dalam menyelesaikan krisis dan menggunakan krisis sebagai kesempatan untuk melaksanakan reformasi struktural jangkah menengah yang sekaligus diharapkan dapat membantu mencegah krisis sistemik yang akan datang.

Adapun lembaga yang berfungsi untuk menyelesaikan masalah kredit macet perbankan dapat diuraikan pada sub bagian dibawah ini :

 1. Pengadilan Negeri Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 dan pasal 10 Undang-Undang No.14 Tahun 1970, badan peradilan merupakan 1 Stijn Claessens dan Luc Laeven, Resolving Systemic Financial Crisis: Policies and Institutions, The World Bank, 2005 lembaga yang sah dan berwenang untuk menyelesaikan sengketa. Sebagai tindak lanjut dari Undang-Undang No.14 tahun 1970 ditetapkan berbagai peraturan perundangundangan yang menentukan batas yurisdiksi untuk setiap badan peradilan. Khusus berkenaan dengan permasalahan sengketa perkreditan, yurisdiksinya termasuk kewenangan lingkungan peradilan umum, sehingga badan peadilan yang secara resmi bertugas menyelesaikan kredit macet bila disengketakan adalah Pengadilan Negeri. Penyelesaian sengketa kredit macet bank-bank swasta dapat diselesaikan melalui Pengadilan Negeri dengan 2 (dua) cara: 1. Bank menggugat nasabah karena telah melakukan wanprestasi atas perjanjian kredit yang telah disepakati. Bank dapat menggugat debitur yang melakukan wanprestasi dengan tidak membayar utang pokok maupun bunga ke Pengadilan Negeri. Pengadilan Negeri dalam hal ini akan memproses gugatan tersebut dengan mempertimbangkan bukti-bukti dan sanggahan-sanggahan yang diajukan oleh kedua belah pihak. Apabila proses pemeriksaan selesai dilakukan, Pengadilan Negeri akan mengeluarkan putusan. Putusan tersebut dilaksanakan dengan sita eksekusi atas agunan yang diberikan untuk kepentingan pelunasan kredit. 2. Bank meminta penetapan sita eksekusi terhadap barang agunan debitur yang telah diikat secara sempurna. Terhadap barang agunan yang telah diikat secara sempurna, seperti dengan cara hipotik (sekarang Hak Tanggungan) atau credietverband, maka bank dapat langsung mengajukan permohonan penetapan sita eksekusi barang agunan untuk dapat memperoleh pelunasan piutangnya tanpa harus melalui proses gugatan biasa di Pengadilan. 

2. Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) Dengan Undang-Undang No.49 Prp. Tahun 1960, Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) bertugas menyelesaikan piutang negara yang telah diserahkan kepadanya oleh instansi pemerintah atau badan-badan negara. Dengan demikian bagi bank milik negara penyelesaian masalah kredit macetnya harus dilakukan melalui Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN), dimana dengan adanya penyerahan piutang macet kepada badan tersebut secara hukum Jurnal Pahlawan Volume 2 Nomor 2 Tahun 2019 ISSN :2615-5583 (Online) 33 wewenang penguasaan atas hak tagih dialihkan kepadanya. Pengurusan piutang negara dimaksud dilakukan dengan membuat Pernyataan Bersama antara PUPN dan debitur tentang besarnya jumlah hutang dan kesanggupan debitur untuk menyelesaikannya. Pernyataan Bersama tersebut mempunyai kekuatan pelaksanaan seperti putusan hakim dalam perkara perdata yang berkekuatan pasti, sehingga pernyataan tersebut mempunyai titel eksekutorial. Jika debitur menolak membuat Pernyataan Bersama, maka Ketua PUPN dapat menetapkan besarnya jumlah hutang sendiri. Dalam hal Pernyataan Bersama tidak dipenuhi oleh debitur, PUPN dapat memaksa debitur untuk membayar sejumlah hutang dengan surat paksa, sehingga selanjutnya penyitaan dan pelelangannya disamakan dengan penagihan pajak negara (pasal 11 UU No.49 Prp.tahun 1960). Dengan demikian penagihan piutang negara dilakukan sesuai dengan parate eksekusi. Surat Paksa dikeluarkan dalam bentuk keputusan Ketua PUPN dengan titel eksekutorial yang mempunyai kekuatan seperti grosse putusan hakim dalam perkara perdata yang tidak dapat diajukan banding lagi. 

3. Kejaksaan Berdasarkan UU No.5 Tahun 1991 dan Keputusan Presiden No.55 tahun 1991, Kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak didalam maupun diluar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah. Oleh karena itu peranan Kejaksaan dalam bidang hukum perdata tersebut dapat disejajarkan dengan Government's Law Office atau Advokat/Pengacara Negara. Dengan demikian Kejaksaan dapat mewakili bank-bank milik negara dalam menyelesaikan masalah-masalah hukum, termasuk masalah hukum yang timbul dari hubungan pemberian kredit antara bank dengan debitur bilamana debitur tidak memenuhi kewajiibannya (wanprestasi) kepada bank. Sehubungan dengan hal tersebut diatas, dalam pelaksanaan penyelesaian masalah hukum yang timbul dalam hubungan antara bank dengan nasabahnya antara lain dalam hubungan pemberian kredit, perlu dilakukan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut : 

  • Untuk menangani masalah hukum yang bersifat perdata dalam hubungan bank dengan nasabahnya, bank dapat memberikan surat kuasa khusus kepada kejaksaan 
  • Dengan surat kuasa khusus tersebut, kejaksaan termasuk dalam kategori pihak terafiliasi yang berkewajiban mematuhi ketentuan Undang-Undang no.7 tahun 1992 tentang Perbankan termasuk ketentuan rahasia bank. 
  • Sebagai penerima kuasa, kejaksaan bertindak untuk dan atas nama bank tanpa adanya pelepasan/pengalihan hak tagih bank terhadap debitur 
  • Sebagai pengacara, kejaksaan akan menghormati rahsia klien termasuk bank yang telah memberikan kuasa kepadanya.

Lembaga-Lembaga yang dapat menyelesaikan kredit macet telah diuraikan diatas, sedangkan sarana hukum yang dapat dipergunakan untuk mempercepat penyelesaiaan masalah kredit macet perbankan yaitu :

1. Pelaksanaan Pasal 1178 ayat (2) KUH Perdata Menurut pasal 1178 ayat (2) KUH Perdata Kreditur pemegang Hipotik pertama (sekarang dikenal dengan Pemegang Hak Tanggungan sesuai dengan UndangUndang No.4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan) dapat diberi kuasa untuk menjual barang agunan dimuka umum untuk melunasi hutang pokok atau bunga yang tidak dibayar oleh debitur sebagaimana mestinya. Dengan demikian pelaksanaannya tidak memerlukan fiat/persetujuan Ketuan Pengadilan Negeri atau proses penyitaan serta tidak memerlukan adanya grosse akte. Namun pelaksanaan pasal dimaksud harus dilakukan dengan memperhatikan pasal 1211 KUH Perdata yaitu melalui Kantor Lelang Negara sekarang Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL). 

2. Grosse Akte Pengakuan Hutang Tujuan pemanfaatan grosse akte pengakuan hutang sebagaimana diatur dalam pasal 224 HIR adalah memberikan kekuatan hukum yang sama dengan Putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap agar langsung dapat dieksekusi. Dengan demikian pemegang grosse akte pengakuan hutang cukup mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat agar bunyi atau isi grosse akte dimaksud dapat dilaksanakan. 

Jurnal Pahlawan Volume 2 Nomor 2 Tahun 2019 ISSN :2615-5583 (Online) 34 a. Putusan Yang Bersifat Serta Merta (Uitvoerbaar Bij Voorraad) Putusan Yang Bersifat Serta Merta (Uitvoerbaar Bij Voorraad) sebagaimana diatur dalam pasal 191 Rbg/pasal 180 HIR merupakan suatu proses khusus yang memungkinkan dapat dilaksanakannya eksekusi sebelum putusan Hakim yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Putusan dimaksud dapat diterapkan hakim dengan syarat : 

1. ada suatu surat otentik, atau 

2. tulisan tangan yang menurut undangundang mempunyai kekuatan bukti, atau 

3. ada putusan lain yang sudah berkekuatan hukum yang tetap, atau 

4. ada tuntutan provisioneel yang dikabulkan b. Gizjeling dan Lijfsdwang Gizjeling sebagaimana ditetapkan dalam pasal 209 sampai 224 HIR atau pasal 242 sampai dengan 258 RBg merupakan lembaga upaya paksa agar debitur memenuhi kewajibannya. Gizjeling dikenakan terhadap orang yang tidak atau tidak cukup mempunyai barang untuk memenuhi kewajibannya. Sedangkan lembaga Lijfsdwang sebagaimana diatur dalam pasal 580-608 Rv merupakan paksaan yang bersifat mengasingkan seseorang dalam suatu tempat tertentu. Dalam pelaksanaannya Lijfsdwang ditujukan kepada orang yang membangkang, dalam arti yang bersangkutan mempunyai barang dan kemampuan tetapi tidak melaksanakan kewajibannya, sehingga dari segi keadilan lembaga ini lebih tepat untuk digunakan. Perlu diketahui bersama bahwa Undang-Undang Perbankan tidak cukup akomodatif untuk mengatur masalah kredit macet. Hal ini terbukti dari: 

a) UU Perbankan No.7 Tahun 1992 jo. UU No.10 Tahun 1998 tidak cukup banyak pasal yang mengatur tentang kredit macet

b) UU Perbankan No.7 Tahun 1992 jo. UU No.10 Tahun 1998 tidak mengatur jalan keluar dan langkah yang ditempuh perbankan menghadapi kredit macet

c) UU Perbankan No.7 Tahun 1992 jo. UU No.10 Tahun 1998 tidak menunjuk lembaga mana yang menangani kredit macet, dan sejauh mana keterlibatannya, dan 

d) UU Perbankan No.7 Tahun 1992 jo. UU No.10 Tahun 1998 tidak memberikan tempat yang cukup baik kepada komisaris bank sebagai badan pengawas. Untuk itu perlu dibentuk undang -- undang khusus tentang penanggulangan kredit macet baik dari segi hukum substantif, pengawasan preventif ataupun segi prosedural atau segi represif lainnya.2 Adanya kredit bermasalah tersebut akan menyebabkan menurunnya pendapatan bank, selanjutnya memungkinkan terjadinya penurunan laba. Kredit bermasalah dapat dilakukan secara sistematis dengan mengembangkan system "pengenalan diri" yang berupa suatu daftar kejadian atau gejala yaitu diperkirakan dapat menyebabkan suatu pinjaman berkembang menjadi kredit bermasalah. Dengan deteksi dan pengenalan diri akan sangat penting untuk mengantisipasi kemungkinan masalah yang timbul, baik secara individual maupun secara portofolio kredit dan menyusun rencana serta mengambil langkah sebelum masalah benarbenar terjadi. 

Referensi :

  • https://journal.trunojoyo.ac.id/jsmb/article/view/12589/6201
  • Hessel, N. s. (2005). Manajemen publik. Grasindo. Ismail. (2013). Manajemen Perbankan Dari Teori Menuju Aplikasi. Kencana Prenadamedia Group. Peraturan OJK Nomor 48/POJK.03/2020, 53 Peraturan OJK Nomor 48/POJK.03/2020 1689 (2020). PERATURAN OJK NOMOR 11/POJK.03/2020, 11/POJK.03 (2020). https://emea.mitsubishielectric.com/ar/ products-solutions/factory
  • Otoritas Jasa Keuangan (OJK), "Peraturan OJK Nomor 15/POJK.03/2017 tentang Penanganan Kredit Bermasalah," 2017.
  • Bank Indonesia, "Pedoman Penanganan Kredit Bermasalah," 2016.
  • Wahyudi, W. (2019). "Analisis Kredit Bermasalah dalam Penanganan Bank," Jurnal Ekonomi dan Keuangan.
  • Bank Indonesia, "Pedoman Penanganan Kredit Bermasalah", 2016.
  • Otoritas Jasa Keuangan (OJK), "Penanganan Kredit Bermasalah dan Restrukturisasi Kredit", 2021.
  • Adrian Sutedi, S.H., M.H, Implikasi Hak Tanggungan Terhadap Pemberian Kredit Oleh Bank dan Penyelesaian Kredit Bermasalah, BP Cipta Jaya, Jakarta, 2006 
  • A.totok Budi Santoso, Sigit Triandari, Y. Sri Susilo. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. Penerbit salemba Empat, 2000, Jakarta. 
  • Daeng Naja, Hukum Kredit dan Bank Garansi, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005 
  • Gema Yustisia, Diskusi Panel Pengurusan Piutang Negara, Denpasar, 1994 
  • Iman Sjahputra Tunggal dkk, Peraturan Perundang-undangan Perbankan di Indonesia, Harvarindo, Jakarta, 2006 
  • Mantayborbir S dkk, Hukum Piutang dan Lelang Negara di Indonesia, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2002 
  • Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan, Asas-Asas, KetentuanKetentuan Pokok dan Masalah yang Dihadapi oleh Perbankan, Alumni, Bandung, 1999
  • Soeria Atmadja, Arifin P. Mekanisme Pertanggungjawaban Keuangan Negara : Suatu Tinjauan Yuridis, Gramedia, Jakarta, 1986
  • Stijn Claessens dan Luc Laeven, Resolving Systemic Financial Crisis: Policies and Institutions, The World Bank, 2005 
  • Thorsten Beck dan Ross Levine, Legal Institutions and Financial Development, Working Paper, World Bank, Washington DC, 2003 
  • Yusri Munaf, Hukum Perbankan, Modul Kuliah Pascasarjana UIR 2011

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun