Mohon tunggu...
El Sanoebari
El Sanoebari Mohon Tunggu... Penulis - Salah satu penulis antologi buku "Dari Pegunungan Karmel Hingga Lautan Hindia".

Menyukai pekerjaan literasi & kopi | Suka buku filsafat, konseling dan Novel | Jika harus memilih 2 hal saat jenuh saya akan makan banyak dan traveling | Suka belajar hal yang baru | Saya suka berpikir random, demikian dalam menulis | Imajinatif | Saya suka menulis Puisi dan cerpen sejak SD, yang terkubur di dalam laptop | Bergabung menjadi kompasianer merupakan tantangan yang menyenangkan | Saya suka segala hal yang menantang | Cukup ya, terlalu banyak

Selanjutnya

Tutup

Diary

Sebentar

23 November 2022   11:25 Diperbarui: 23 November 2022   11:31 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Betapa bodohnya dirimu jika kamu hanya mau didengar, tanpa mendengar orang lain. Tapi perangaimu telalu sulit untuk dibantah. Memaksa orang untuk mendengar semua isi otak yang ingin kau muntahkan.

Kau serupa orang bebal yang konflik dengan tetangga karena kau menikahi istri kawannya. Tapi siapakah yang bisa kau dengarkan saat ini?

Akh, aku terlalu berani untuk memaksamu diam atau aku ingin muntah sepertimu. Diamkan segala nyalimu yang hampir memberontak setiap pagi untuk bicara. Bicara banyak, itu yang orang-orang bilang padaku tentangmu.

"Sebentar." Itu yang selalu menjadi dalihmu, tangan yang kau angkat, kepala yang kau pegang, lalu menghindar sebentar, kembali lagi dan bicara. Kau terus menginterupsi setiap bibir yang bergerak untuk bicara.

"Sebentar." Kau lagi-lagi mengatup mulut yang sudah terlanjur terbuka. Hati yang memberontak dan jantung yang berdetak perlahan ingin mati rasanya pergi jauh, jauh dari hadapanmu karena terlalu lelah mendengar bicaramu.

Betapa bodohnya aku menguras pikiran untuk sesuatu yang tak berarti ini. Tak berarti untuk terus kupikirkan. Kepalamu yang yang dipenuhi rambut berkeluk-keluk menjadi kebanggaanmu sejak melihatmu duduk bersila di atas tilam, itu yang sering kau pegang, kau elus dan berkata : sebentar saja, ingin bicara.

Sebentar saja ingin bicara, lagi dan lagi. Tak pernah kau berpikir bagaimana kerongkongan ini sudah mengering karena menelan air ludah tanda menahan gejolak dalam diri ingin memberontak.

"Sebentar." Kau menggigit jarimu, melirik dengan jahatnya setiap orang yang mau mengutarakan rasanya, pikirnya dan idenya. Menganggap mereka terlalu lemah untuk melawan.

"Berapa lama lagi kau harus mengatup mulut, dengan tenang berdiam diri untuk meresap suara hati?"

"Sebentar. Bukan itu maksudku, bukannya kau bodoh tapi dengarkan pengertianku," dalihmu.

"Sebentar, jangan hiraukan. Aku sudah terlalu terbiasa dengan itu. Bicaralah terus. Karena telinga kananku siap mendengar, dan telinga kiriku terbuka lebar untuk mengeluarkan segera semua yang masuk." Suara hatiku ingin mengamuk

"Sebentar, kamu bicara apa tadi?"

Betapa bodohnya aku mengabaikanmu yang terlalu ingin bicara.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun