Mohon tunggu...
Suryan Masrin
Suryan Masrin Mohon Tunggu... Guru - Guru

Penulis Pemula, Guru SD Negeri 10 Muntok (sekarang), SD Negeri 14 Parittiga, pemerhati manuskrip/naskah kuno lokal Bangka, guru blogger

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Asal Mula Lubok Siti

11 Januari 2019   12:00 Diperbarui: 11 Januari 2019   13:10 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Dahulu kala, di sebuah perkampungan yang termasuk pedalaman di wilayah Peradong Simpang Teritip, tinggallah seorang gadis belia yang cantik nan imut bernama Siti. Ia adalah seorang gadis yatim yang hanya tinggal bersama dengan ibunya. Mereka berdua tinggal sedikit lebih jauh dari pemukiman penduduk lainnya di perkampungan tersebut. 

Tidak ada kebisingan dan keramaian didekat rumah mereka. Hiruk pikuk dan hilir mudik lalu lalang penduduk-pun tergolong jarang melewati tempat tinggal mereka. Mereka berdua bukanlah orang yang dibuang atau diasingkan oleh penduduk di sana. Itu semua atas keinginan dan pilihan merekalah untuk tempat tinggal tersebut. 

Kekurangan mereka dalam hal kehidupan sehari-hari, yang menyebabkan mereka merasa minder tinggal di tengah-tengah penduduk lain adalah sebagai alasan pilihan tersebut. Namun mereka yakin akan pilihan tersebut, tanpa ada paksaan dari siapapun, karena hidup itu adalah pilihan.

Di perkampungan tersebut mereka tinggal di gubuk kecil yang sederhana. Tidak ada yang istimewa dari gubuk mereka. Dinding terbuat dari pohon bambu yang sudah ditempah dan telah diawetkan secara alami, yakni dengan direndam di dalam air terlebih dahulu beberapa lamanya. Kemudian bambu tersebut dipecahkan sehingga menjadi satu potongan bambu yang telah pecah tetapi masih dalam kesatuan.

 Artinya bambu tersebut meskipun telah pecah tetapi tidak lepas dari potongan tersebut. Kemudian bagian satu arahnya dibelah dari pangkal pohon hingga ujung pohon. Setelah itu bambu yang telah dibelah tadi dijemur terlebih dahulu agar mempermudah dalam proses melengketkan atau menempelkan ke rumah sebagai dinding.

 Lantai gubuk mereka hanya dari tanah yang sudah dipadatkan dan dikeraskan, tidak ada apapun yang mewah dari lantain tersebut. Atap dari daun rumbia yang telah dipilih (daun yang terbaik), yang telah kemudian dirajut atau dianyam sendiri, dan dengan tempat tidur yang seadanya (beralaskan tikar yang juga dianyam sendiri dari daun kuang ).

Siti dan ibunya termasuk keluarga yang paling miskin dibandingkan dengan penduduk lain di perkampung itu. Kehidupan mereka serba kekurangan, jangankan untuk membeli barang-barang mewah, untuk memenuhi kebutuhan pokok sehar-hari saja hanya pas-pasan. Namun, mereka berdua hidup bahagia walaupun dengan kondisi yang seadanya tersebut. Keadaan demikian bukanlah menjadi beban dan tekanan bagi mereka. Rasa syukur lah yang menjadi penguat dan tangguh bagi mereka berdua. 

Kondisi ini telah mereka jalani sejak ayah Siti meninggal dunia setahun yang lalu. Ayahnya meninggal karena serangan penyakit asma yang telah lama dideritanya dan tak kunjung sembuh. Sakit yang diderita oleh ayah Siti sebenarnya bukanlah penyebab utama kematiannya, melainkan karena terlalu letih bekerjalah yang menjadi pemicu dari memuncaknya asma tersebut. 

Setelah sekian lama berjuang dan bertahan hidup dengan penyakitnya tersebut, akhirnya waktu untuk bersama telah usai. Semuanya kembali pada yang Maha Pencipta, karena segala sesuatu hanya milik-Nya dan kembali juga kepad-Nya. Hingga pada akhirnya Siti dan ibunya tinggal berdua.
Selepas kepergian ayahnya, kehidupan mereka dalam keseharian hanya bertampu dengan pekerjaan yang tidak pasti atau dalam istilah lainnya serabutan. 

Apalagi ayahnya pergi meninggalkan mereka untuk selama-lamanya dengan meninggalkan hutang kepada seorang rentenir yang sangat galak dan kejam, tua dan serakah pula dari kampung seberang. Ini juga menjadi tanggungan bagi mereka untuk melunasi hutang-hutang tersebut. Padahal sumber penghasilan mereka sangat terbatas. Sehingga ini menjadi tekanan yang tak berkesudahan bagi mereka berdua.
Jika mereka tidak mampu melunasi hutang tersebut hingga tenggat waktu yang telah ditentukan oleh rentenir, maka Siti harus rela menikah dengan rentenir itu. 

Sungguh bukanlah hal yang mengenakkan bagi Siti dan Ibunya. Tapi apalah daya nantinya jika mereka benar-benar tidak mampu melunasinya. Sang rentenir tak memberikan rasa iba sedikitpun. Sifat serakah dan tamaknya telah menyatu dengan hidupnya. Ia tidak memperdulikan bagaimana cara mereka melunasi hutang tersebut, ia juga tidak pernah mau memikirkan derita hidup yang dirasakan oleh Siti dan Ibunya, yang terpenting baginya jika hutang tersebut tidak terlunasi hingga waktunya, maka Siti-lah sebagai pengganti dan pelunas hutang tersebut. Tidak terbayangkan jika seandainya nanti Siti benar-benar harus menjadi istri dari rentenir tersebut. Bagaimana nasib kehidupan mereka setelahnya, akankah menjadi lebih baik, ataukah bertambah menderita dari sebelumnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun