Mohon tunggu...
Elnado Legowo
Elnado Legowo Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis

Kata-kata memiliki kekuatan untuk mengesankan pikiran tanpa menyempurnakan ketakutan dari kenyataan mereka. - Edgar Allan Poe

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ratapan di dalam Katakomba

10 November 2022   10:58 Diperbarui: 10 November 2022   11:04 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Rick Rosenshein

Paris! Apa yang terlintas di pikiran kalian saat mendengar nama tersebut? Ibu Kota Prancis? Kota Cahaya? Kota Romantis? Kota Mode dan Seni? Itu semua tidak salah. Namun di balik semua itu, terdapat kisah-kisah kelam yang kontradiktif dengan keindahan visualnya. Kerusuhan-kerusuhan dan revolusi; wabah dan persekusi; berabad-abad kemiskinan; aksi-aksi kriminal; pengepungan; sekaligus pembantaian. Itulah Kota Paris yang sesungguhnya!
 
Kekacauan dan kegilaan telah membuat Kota Paris penuh dengan darah dan mayat. Saking banyaknya mayat, pemakaman umum terbesar di Paris -- yaitu Cimetire des Saints-Innocents -- sampai tidak mampu menerima mayat-mayat baru. Alhasil mereka diletakan begitu saja di atas tanah sampai membusuk. Hingga di masa pemerintahan Napoleon Bonaparte, pemakaman kuno bawah tanah kota mulai dibuka untuk menerima limpahan mayat; baik itu mayat baru maupun lama.
 
Jutaan mayat yang telah berabad-abad dimakamkan di Cimetire des Saints-Innocents, akhirnya dikeluarkan dari sana untuk dipindahkan ke pemakaman bawah tanah secara bertahap. Dari situlah, publik mulai mengenal tempat itu dan menyebutnya sebagai Catacombes de Paris. Tempat itu tidak hanya pemakaman umum bawah tanah; tapi juga labirin kuno yang mencekam, suram, sekaligus mematikan.
 
Kesimpulan mengerikan tersebut datang menutup pikiranku yang membingungkan dan rasa enggan menjadi kepastian yang menyeramkan. Terutama saat aku terjebak dan tersesat di dalam sana, dan menyaksikan peristiwa merisaukan yang tidak dapat kuuraikan secara bijaksana.
 
****
 
Tatkala di pengujung musim dingin tahun 2017 -- sewaktu aku masih merantau ke Paris untuk menjalani program magister -- aku berdiskusi dengan seorang teman kampus, bernama Franoise Dieudonn, di Clair Caf -- terletak di Rue Mouffetard -- saat menjelang magrib. Itu adalah jalan yang paling ramai di Paris; penuh dengan caf; sering ada pasar; toko-toko yang terpisah; warna-warni; sehingga menjadi tempat yang menyenangkan untuk mengisi waktu kosong.
 
Di sanalah kami berdiskusi seputar rencana aktivitas di akhir pekan mendatang, yaitu sebuah kecintaan aneh terhadap penjelajahan tempat-tempat bersejarah ataupun seni. Namun, kali ini, Franoise mengajakku untuk mengunjungi sebuah tempat yang tidak biasa daripada sebelumnya -- baik itu museum maupun galeri -- yaitu Catacombes de Paris.
 
Franoise beralasan; bahwa Catacombes de Paris adalah saksi sejarah kelamnya Kota Paris yang tersembunyi. Namun yang terpenting adalah misteri dan cerita-cerita mengerikan tentang tempat itu. Seketika, ide tersebut membangkitkan epinefrinku, sehingga aku lantas menyetujui ajakannya.
 
Arkian, saat hari yang direncanakan telah tiba, kami mendatangi Catacombes de Paris dengan penuh romansa petualang yang berapi-api. Namun, tidak pernah terlintas sedikitpun di pikiran kami, bahwa itu akan berakhir pada fenomena aneh dan kengerian yang menodai sastra kehidupan lazim.
 
****
 
Pada awalnya tidak ada keganjilan selama penelusuran kami di dalam Catacombes de Paris. Hanya saja tidak terlalu banyak turis yang berkunjung di hari itu, sehingga kondisi katakomba menjadi cukup hening dan sepi.
 
Sejujurnya aku cukup bergidik selama menelusuri lorong demi lorong yang berada di bawah 66 kaki dari permukaan tanah; terlihat sangat kuno, karena itu dibangun saat Kekaisaran Romawi masih menduduki tanah Paris; menyaksikan kerangka demi kerangka manusia dari berbagai waktu dan peristiwa -- beberapa di antaranya sudah lapuk akibat termakan usia -- yang disusun secara artistik di beberapa sudut dinding lorong katakomba.  Itu adalah panorama mengerikan -- tapi juga indah -- yang pernah kulihat secara langsung.
 
Setelah hampir setengah jam kami menelusuri lorong katakomba dengan penuh antusiasme dan kecermatan, akhirnya kami tiba di sebuah jalan menikung yang dekat dengan sebuah papan informasi bertuliskan;
 
"Ossements de l'ancien cimetire St. Nicolas des Champs dposs de 1843 a 1846 dans L'ossuaire de L'ouest et transfrs dans les catacombes en 7ber 1859 (Tulang-tulang dari kuburan tua St. Nicolas des Champs disimpan dari tahun 1843 hingga 1846 di Osuarium Barat dan dipindahkan ke katakombe pada September tahun 1859)."
 
Di sanalah, secara mengejutkan, kami mendengar suara samar dan terdistorsi. Suara itu datang dari sebuah jalan yang gelap dan disegel oleh sebuah rantai yang dipasang papan peringatan tunggal, berbunyi;
         
"Entre Interdite! (Dilarang Masuk!)"
 
Mulanya kami ragu dengan apa yang kami dengar. Lantas kami mempertajam pendengaran; lalu bergidik dan kebingungan, saat sadar bahwa suara itu terdengar seperti ratap kesedihan ataupun keputusasaan seseorang. Kami menduga bahwa itu adalah suara dari sesama pengunjung yang mengalami kecelakaan atau tersesat.
 
Walhasil naluri kemanusiaan kami tergerak, sehingga kami sepakat mendatangi sumber suara tersebut, untuk memeriksa dan memberi pertolongan. Kalakian kami segera menerobos masuk ke jalan yang disegel rantai itu, dan melaju masuk ke dalam lorong gelap dan bercabang. Franoise berjalan di depanku, selayaknya seorang pemandu yang gagah berani dan berpengalaman. Aksi tersebut kami lakukan dengan mulus, berkat tidak ada satupun orang di sekeliling kami.
 
****
 
Tiba-tiba rasa antusiasme dan penasaran kami berubah menjadi bencana, ketika kami sudah masuk terlalu dalam dan jauh dari jalur utama untuk para turis. Semakin dalam makin banyak ceruk arkais yang berliku. Lampu-lampu lorong makin minim, sehingga penerangan kian redup. Satu-satunya cahaya yang dapat kami andalkan hanyalah senter dari ponsel. Dengan cahaya itulah, kami bisa berkelok dan mengikuti jalan semampu mata menjangkau, mengikuti arah datangnya suara ratapan yang menggema di dinding lorong.
 
Namun, entah mengapa, Franoise sangat terobsesi akan rasa keingintahuan terhadap pemilik suara ratapan itu; sampai-sampai dia tidak memperhitungkan langkahnya. Walhasil, secara tidak terduga, aku terpisah dan tertinggal oleh Franoise; ketika kami sedang berada di sebuah lorong yang dibanjiri oleh tulang belulang tidak utuh -- yang berserakan secara kacau di atas tanah -- sehingga menghambat langkahku.
 
Lantas aku menjadi panik dan segera berteriak memanggil Franoise. Tetapi dia sudah terlalu jauh, sehingga dia tidak dapat mendengarku. Aku berusaha mengejar Franoise, tapi aku yakin bahwa itu akan berakhir sia-sia dan membuatku makin tersesat.
 
Sontak pikiranku menjadi kalut. Rasa takut kian mengintimidasi. Kini aku sendirian di dalam ceruk atau lorong arkais, yang sempit dan berliku di Catacombes de Paris; di tempat yang asing dan tidak terjangkau, atau mungkin terlarang untuk turis. Terlebih lagi tidak ada sinyal, sehingga ponselku tidak bisa memanggil bantuan. Walhasil aku hanya bisa berkelok semampuku ke segala arah, dengan pandangan tegang, dan tidak mampu menangkap objek apapun yang berfungsi sebagai tonggak penunjuk jalan agar bisa mengembalikanku ke jalur semestinya.
 
Kegelapan dan ketakutan telah membutakan mata sekaligus ingatan, sehingga aku tidak mampu mengingat apapun tentang jalan yang pernah kulalui. Satu-satunya petunjuk yang kumiliki hanyalah suara ratapan yang masih menggema di dinding katakomba. Kupikir dengan mendatangi sumber suara itu, aku bisa menyusul Franoise atau mungkin bertemu dengan seseorang, yang kuharap adalah sesama pengunjung atau petugas katakomba.
 
****
 
Kian lama daya ponselku mulai menipis. Sebentar lagi aku akan diselimuti oleh kegelapan total. Lantas aku mengumpulkan semua kekuatan, lalu berteriak keras; berharap ada yang mendengar dan datang. Akan tetapi, suaraku hanya terpantul di dinding benteng labirin suram yang tidak terhitung jumlahnya, sampai akhirnya kembali jatuh ke telingaku sendiri. Aku melakukan itu beberapa kali, sampai ponselku benar-benar mati, dan pandanganku berubah menjadi tidak jelas.
 
Indra yang dapat kuandalkan hanyalah pendengar dan peraba. Aku berusaha melaju tidak stabil ke sumber suara ratapan, sambil meraba dinding lorong selayaknya orang rabun. Akan tetapi, semakin lama aku mendekati sumber suara, aku makin menyadari bahwa suara itu terdengar menggelisahkan. Aku tidak dapat memahaminya. Itu terdengar sangat ambigu; antara suara manusia atau lolong binatang asing; sehingga menciptakan alunan suara yang menggetarkan jiwa.
 
Alhasil mentalku merosot dan otakku mulai dijamuri oleh imajinasi-imajinasi liar yang menyeramkan. Tetapi itu belum seberapa, sampai aku menyadari bahwa sebenarnya aku hanya berputar-putar di lorong yang sama. Aku sempat berpikir untuk kembali berteriak; tapi sebelum itu terjadi, perhatianku tertuju pada suatu kejutan di salah satu sudut lorong. Di mana aku mendengar seperti suara langkah kaki dan tangan, tanah yang dibongkar, dan tulang-tulang kering yang digerakkan.
 
Aku berpikir itu adalah Franoise atau mungkin eksistensi orang lain, sehingga dengan penuh harapan aku segera menghampirinya. Namun, dalam sekejap harapanku berubah jadi kengerian yang tidak terucap, saat aku tiba di sana. Secara samar aku melihat sesosok yang tidak dapat kupahami dengan nalar sehat. Dia kurus dan berkaki panjang seperti kangguru. Makhluk itu sedang merangkak keluar dari bawah tanah, seperti ghoul yang bangkit dari dalam kubur.
 
Seketika naluri bertahan hidupku mulai bekerja maksimal. Aku segera memutar balik arahku dan menjauhi tempat itu. Namun, selama pelarianku, aku menyaksikan kengerian yang menggilakan; di mana hampir di setiap sisi lorong katakomba -- baik itu di dinding, di langit, maupun di tanah -- makhluk-makhluk serupa dari yang kulihat sebelumnya sedang menyembul keluar, sambil melantunkan suara rapatan yang merindingkan. Panorama itu benar-benar seperti sarang iblis paling menakutkan di perut bumi.
 
Aku bergidik ngeri dan histeria. Walhasil aku bergegas lari ke arah yang tidak kupahami secara membabi buta, asalkan aku bisa menjauhi mereka. Namun ketakutan dan kekacauan telah membuatku tidak memperhatikan langkah, sehingga kakiku menyandung anggota tubuh dari salah satu makhluk itu, dan membuatku terjatuh sekaligus menyadarkan mereka akan eksistensiku.
 
Lantas dengan penuh gairah predasi, makhluk itu mulai memberi sinyal -- berupa suara lolong yang tidak dapat dianalisa dengan pengetahuanku -- lalu mengepungku. Aku berusaha memberontak; menendang; hingga memukul tubuh mereka. Sampai akhirnya tangan kananku yang dipandu oleh indra perasa yang sensitif, segera menyadari bahwa ada beberapa keping batu di dekatku. Lantas aku langsung meraih sebuah batu berukuran besar, kemudian kuayunkan ke salah satu kepala makhluk yang ada di hadapanku.
 
Aku berhasil mengenainya -- tepat di bagian kepala belakang -- dan dia tumbang seketika. Walhasil timbul rasa kepuasan di hatiku atas upaya pertahanan diri yang kuperbuat. Namun itu tidak bertahan lama. Karena makhluk lainnya segera membalas dan menaklukanku.
 
Arkian, mereka menarik dan menyeretku secara bengis, masuk ke salah satu lubang tempat keluar. Kini aku sudah tidak dapat berbuat apa-apa. Tidak ada upaya pertahanan diri yang bisa kulakukan, selain menjerit histeris penuh keputusasaan. Mungkin Tuhan telah memilih kematianku yang lebih cepat, daripada mati akibat kelaparan atau menjadi gila di dalam katakomba ini.
 
Tetapi, sebelum kisah tragis itu benar-benar terwujud, secara mendadak ada sebuah ledakan cahaya suar merah yang menyakitkan mata. Kemudian cahaya suar itu mengayun ke arah makhluk-makhluk yang ada di sekitarku. Sontak mereka semua menjerit, takut, hingga lari tidak keruan; demi menghindari cahaya suar itu. Hingga akhirnya mereka semua hilang di dalam lorong bopeng gelap yang tidak terjangkau oleh mataku maupun cahaya suar merah. Kemudian cahaya suar itu terlempar ke dalam lorong itu, sehingga menjadi pagar pelindung.
 
Di saat itulah aku dapat melihat lingkungan sekitar, termasuk si pelaku dari cahaya suar tersebut. Dia adalah salah seorang penjaga katakomba, yang memiliki gestur tubuh bugar selayaknya anggota tim khusus polisi. Lantas aku menghujaninya dengan ucapan terima kasih. Akhirnya aku terbangun dengan kesadaran normal. Si penjaga itu mengatakan bahwa pihak keamanan telah menyadari ketidakhadiranku bersama temanku di katakomba. Lantas secara intuitif, dia segera mencari keberadaanku beserta temanku. Beruntung, berkat teriakanku, dia dapat mengidentifikasi lokasiku berada.
 
****
 
Arkian, setibanya di pos jaga, aku dimarahi oleh kepala petugas keamanan katakomba akibat kelancangan yang kuperbuat. Dia menjelaskan, bahwa sudah banyak turis nakal dan bodoh yang nekat menerobos masuk ke tempat terlarang, dan berakhir tersesat di dalam sana. Bagi mereka yang beruntung, mereka akan berhasil ditemukan kembali. Tetapi bagi yang tidak, nasib mereka akan lebih buruk; bahkan bisa lebih buruk daripada kematian.
 
Di dalam sebuah kesempatan, aku menyempatkan diri untuk menanyakan identitas dari makhluk yang kutemui tadi. Alhasil, pertanyaan itulah yang mengantar kepada kengerian yang mengejutkan.
 
Kepala petugas katakomba menjelaskan, bahwa sebenarnya dia tidak yakin sepenuhnya dengan teori yang dia dapatkan. Tetapi dia menduga kuat, bahwa makhluk-makhluk itu dulunya adalah manusia; para turis atau pekerja yang terjebak di dalam katakomba. Seakan-akan di beberapa tempat katakomba memiliki kekuatan sihir jahat, sehingga dapat mengubah manusia lazim menjadi sosok iblis pemangsa yang mengerikan.
 
Namun mereka juga memiliki ketakutan dan kebencian terhadap cahaya terang, sehingga semua petugas katakomba dipersenjatai oleh senjata apapun yang berkaitan dengan cahaya terang. Selain itu, pihak katakomba juga berusaha meningkatkan keamanan dan penghalang -- kalau bisa menutup akses -- di setiap tempat yang dianggap berbahaya.
 
Penjelasan itulah yang mengantarku kembali pada sebuah ingatan yang tidak utuh, sehingga melengkapinya seperti puzzle. Di mana saat aku masih berada di dalam katakomba; ketika lorong gelap diterangi oleh cahaya suar -- sebelum aku pergi meninggalkan tempat itu -- aku menyaksikan fisik dari makhluk yang menjadi korbanku. Dia berbentuk menjijikan; benar-benar mirip makhluk keropeng dan tidak sehat; berwajah sangat manusiawi meski tidak memiliki hidung, dahi, dan bagian-bagian penting lainnya.  
 
Perihal yang paling menodai ingatanku adalah ketika makhluk sekarat itu meratap, sembari melontarkan kalimat terakhir yang berbunyi;
 
"A... Aidez-moi... (To... Tolong aku...)"
 
Tetapi yang lebih menggelisahkan adalah ketika kepala petugas katakomba mendapat laporan dari beberapa anak buahnya, bahwa mereka tidak menemukan Franoise. Bahkan mereka sama sekali tidak menemukan tanda-tanda dari eksistensinya di dalam katakomba. Walhasil Franoise benar-benar dinyatakan hilang.
 
****

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun