Suara itu sering kita bungkam demi terlihat kuat, padahal justru suara itu yang paling jujur. Kita berusaha bertahan, menggenggam serpihan luka yang tak terlihat.Â
Tapi menjadi manusia bukan tentang selalu kuat, melainkan tentang berani mengakui bahwa kita pernah rapuh dan itu tidak apa-apa. Karena di sanalah proses pulih sebenarnya dimulai.
Saat Diri Menjadi Antagonis bagi Dirinya Sendiri
Ingat satu hal musuh tidak hanya dari luar. Tapi musuh yang sangat kejam ialah diri kita sendiri. kebanyakan kita menghakimi masa lalu, menyesali pilihan, dan terus mengulang kesalahan di kepala seolah itu satu-satunya identitas kita.
Kita pun menjelma menjadi antagonis bagi diri sendiri bukan karena ingin, tapi karena kita tak tahu cara lain mencintai diri selain lewat penyesalan.
Luka yang Tak Perlu Dipaksa Sembuh
Tidak semua luka harus disembuhkan dengan tergesa-gesa. Sebab, beberapa luka hadir bukan untuk dihapus, melainkan untuk diingat sebagai penanda bahwa kita pernah jatuh, pernah kalah, tapi tetap memilih untuk melangkah.Â
Justru dari sanalah kita belajar menjadi lebih kuat dan bijak. Maka lihatlah ke depan, bukan ke belakang.Â
Karena saat kita terus menoleh ke masa lalu yang menyakitkan, kita bisa terjebak di sana dan perlahan hancur oleh bayangannya sendiri.
"Luka bukan selalu kelemahan. Kadang, ia adalah saksi bahwa kita pernah benar-benar merasa hidup."
Ada luka yang tak ingin cepat sembuh, bukan untuk dipamerkan, tapi agar dimengerti. Luka itu tak membuat kita lemah justru menunjukkan bahwa kita masih manusia.Â
Dan di sanalah letak keberanian sejati: menerima rapuhnya diri, tanpa harus merasa gagal jadi kuat.
Kita Adalah Naskah yang Masih Ditulis
Hidup kita bukan sekadar tentang motivasi atau kata-kata yang indah dan rapi. Kadang, hidup adalah soal bertahan di tengah kekacauan, menerima hari-hari yang tak selalu masuk akal, dan tetap berjalan meski tak ada yang menyemangati.