Mohon tunggu...
elma sarianti sabelau
elma sarianti sabelau Mohon Tunggu... Mahasiswa

teruslah belajar, sebab bukan hasil tapi proses , memasak, volly, baca buku, musik

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Narasi Antagonistik Tentang Diri Yang Tidak Pernah Selesai Dituliskan

24 Juli 2025   11:55 Diperbarui: 24 Juli 2025   11:55 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Mencari diri, bukan sekadar pantulan ( Sumber: Pixpay )

Suara itu sering kita bungkam demi terlihat kuat, padahal justru suara itu yang paling jujur. Kita berusaha bertahan, menggenggam serpihan luka yang tak terlihat. 

Tapi menjadi manusia bukan tentang selalu kuat, melainkan tentang berani mengakui bahwa kita pernah rapuh dan itu tidak apa-apa. Karena di sanalah proses pulih sebenarnya dimulai.

Saat Diri Menjadi Antagonis bagi Dirinya Sendiri

Ingat satu hal musuh tidak hanya dari luar. Tapi musuh yang sangat kejam ialah diri kita sendiri. kebanyakan kita menghakimi masa lalu, menyesali pilihan, dan terus mengulang kesalahan di kepala seolah itu satu-satunya identitas kita.

Kita pun menjelma menjadi antagonis bagi diri sendiri bukan karena ingin, tapi karena kita tak tahu cara lain mencintai diri selain lewat penyesalan.

Luka yang Tak Perlu Dipaksa Sembuh

Tidak semua luka harus disembuhkan dengan tergesa-gesa. Sebab, beberapa luka hadir bukan untuk dihapus, melainkan untuk diingat sebagai penanda bahwa kita pernah jatuh, pernah kalah, tapi tetap memilih untuk melangkah. 

Justru dari sanalah kita belajar menjadi lebih kuat dan bijak. Maka lihatlah ke depan, bukan ke belakang. 

Karena saat kita terus menoleh ke masa lalu yang menyakitkan, kita bisa terjebak di sana dan perlahan hancur oleh bayangannya sendiri.

"Luka bukan selalu kelemahan. Kadang, ia adalah saksi bahwa kita pernah benar-benar merasa hidup."

Ada luka yang tak ingin cepat sembuh, bukan untuk dipamerkan, tapi agar dimengerti. Luka itu tak membuat kita lemah justru menunjukkan bahwa kita masih manusia. 

Dan di sanalah letak keberanian sejati: menerima rapuhnya diri, tanpa harus merasa gagal jadi kuat.

Kita Adalah Naskah yang Masih Ditulis

Hidup kita bukan sekadar tentang motivasi atau kata-kata yang indah dan rapi. Kadang, hidup adalah soal bertahan di tengah kekacauan, menerima hari-hari yang tak selalu masuk akal, dan tetap berjalan meski tak ada yang menyemangati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun