Ia hafal semua rumus. Nilainya nyaris sempurna, tapi hidup tak pernah bisa dijawab dengan pilihan ganda, dan ia tak tahu harus bagaimana.
Sebuah Irama yang Pincang
Di rapor, ia selalu juara. Di olimpiade sains, namanya langganan naik podium.Â
Tapi di panggung kehidupan ia ragu, bingung, gugup hanya untuk membuat keputusan sederhana. Dunia nyata tidak menyediakan kisi-kisi.Â
Dan ia tak pernah diajarkan bagaimana bertahan ketika yang datang bukan soal ujian, tapi kehilangan dan luka. Kita sedang menyaksikan paradoks menyakitkan: kecerdasan yang luar biasa di atas kertas, tapi kelumpuhan dalam menjawab realitas.
Apakah kita sedang mencetak generasi jenius yang gagal menjadi manusia?
Kita Didik Mereka Menjawab, Tapi Tidak Bertanya
Sejak kecil, anak-anak  diminta duduk diam, mendengar, mencatat, dan menghafal. Mereka dipacu menumpuk angka, bukan makna.Â
Kita mendorong mereka menguasai rumus, tetapi tak pernah memberi ruang untuk mengerti mengapa mereka hidup. Dan bagaimana berdamai dengan hidup itu sendiri.Â
Kita bangga ketika mereka bisa menyebut semua provinsi di Indonesia, tapi tidak merasa perlu mengajarkan bagaimana berkata "tidak" saat ditekan. Bagaimana tetap berdiri saat dicemooh, atau bagaimana menjaga diri dari depresi diam-diam yang menggigit pelan.
Kecerdasan kognitif (IQ) terus kita kejar, tapi kecerdasan emosional (EQ) dan spiritual (SQ) dibiarkan terlantar.
Cumlaude di Kampus, Tapi Gagal Bertahan di Kehidupan
Banyak yang lulus dengan predikat pujian, tapi merasa dunia kerja terlalu liar. Terlalu tak beraturan.Â