Mohon tunggu...
Elly Esra
Elly Esra Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Dimanakah Tuhan: TentangNya Aku Bercerita

26 April 2015   14:08 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:40 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Fantasi Jiwa
Saya pernah dengan serius mendengarkan pembicaraan seseorang dalam sebuah ruangan ketika ibadah. Seluruh perhatian saya arahkan ke sosok yang sedang berbicara dengan intonasi suara yang diatur seakan sedang membacakan puisi, kadang suaranya lembut, kadang keras–nyaring: menekankan sekaligus mendramatisir cerita yang dibuatnya berdasarkan sebuah perikop pembacaan Alkitab, dan dengan intonasi suara seperti itu, cerita tersebut seakan mengorek sentuhan nurani setiap orang di depannya. Saya tidak tahu apa yang dirasakan teman disamping kiri dan kanan maupun depan dan belakang saya, yang saya tahu dan rasakan adalah munculnya sensasi-sensasi diri yang sulit terdefinisikan. Getaran emosi jiwa membuat bulu kuduk berdiri dan merinding, ada apa gerangan? Anda mungkin juga pernah merasakan apa yang saya rasakan.

Pikirku kala itu, yang kurasakan adalah wajar saja karena sedang berada dalam sebuah ibadah, dan “elite agama” memang orang yang belajar dengan saksama tentang bagaimana membangkitkan emosi dan sensasi-sensasi diri pendengar atau jemaatnya. Namun sensasi seperti ini pernah juga saya rasakan dalam sebuah upacara bendera waktu sekolah SMP dan SMA. Kala itu saya diberi peran sebagai pemimpin upacara, diam berdiri di depan barisan para siswa dan pembina upacara, dalam “balutan” sang mentari pagi sambil mendengarkan amanat/arahan pembina upacara “emosi jiwa” membalut diri kala itu dan mengguncang rasa membuat diri merinding, takjub, terharu, bahkan gugup bercampur baur menjadi satu kesatuan yang tidak mudah untuk dijelaskan secara pasti dan tepat. Bahkan mendengar pidato presiden dengan serius di TV pun saya bisa merinding kala mencermati penekanan pada kalimat-kalimat tertentu. Mengapa emosi diri, fantasi-fantasi yang berimplikasi pada sensasi-sensasi itu bisa muncul ketika nurani tersentuh?

Effervescent
Sekarang saya mengajak anda untuk membayangkan jika anda pernah mengikuti sebuah ritual–praktek budaya, tertentu dan seluruh perhatian diri anda tertuju pada “upacara” yang dipimpin kepala adat yang sedang berkomat-kamit membacakan mantera (doa), umpamakanlah doa/mantra tersebut dibunyikan dalam bahasa daerah anda. Jika anda serius “menikmati’ jalannya ritual itu, maka saya yakin situasi itu meciptakan rasa kekaguman, takjub, merinding bahkan tegang. Emosi diri yang kuat ini, bagi saya dan mungkin juga anda akan bersepakat bahwa ada kesulitan untuk menjelaskan arti dan maknanya, meminjam Durkheim, kita mungkin sedang membayangkan dan mengarahkan emosi diri (individual) bercampur-baur dengan emosi orang lain, dalam sebuah situasi mental yang luar biasa dari lingkungan sosial tertentu. Situasi mental yang luar biasa ini diduga berimplikasi pada pembentukan moral kolektif.

Saya yakin bahwa dalam situasi apapun ketika pikiran dan emosi kita diarahkan secara total pada situasi itu, akan muncul rasa yang sulit dijelaskan: “gregetan” begitu kata anak muda sekang. Sebuah rasa antara gemas, takjub, merinding, tegang bahkan marah yang tidak mampu tersampaikan pada situasi tertentu. Kita terbuai bahkan mungkin “terlebur” dalam situasi mental yang luar biasa–effervescent begitu kata Emile Durkheim dalam The Elemntary Form of the Religion Life.

Nah, sekarang bayangkan anda dalam kesendirian membaca buku atau apalah, dan anda “melebur” diri dalam kegiatan yang sedang dilakukan itu atau secara total anda membayangkan diri anda berada dalam “cerita” yang sedang anda baca. Apa yang anda rasakan? Bukankah ada getaran hati dan pikiran yang sama anda rasakan? bukankan rasa itu masih sulit diartikan? Atau kalau anda dicium dengan mesra dibagian tengkuk oleh pacar anda, bukankan yang anda rasakan adalah sama dengan getaran pada “sikon” lainnya? Bedanya pada situasi kolektif maupun ketika anda sedang sendiri, situasi mental yang luar biasa itu mengkonfermasikan sebuah kekaguman kepada liyan seperti: subahanallah, inilah kebesaran Tuhan dan lain sebagainya. Namun, dalam situasi ketika anda dicium pacar, mungkin anda akan berkata: oh yes, oh no dan oh my God. Chemistry yang ditimbulkan dalam setiap situasi itu membuktikan bahwa anda adalah manusia. Itulah sisi psikologi manusia yang membuka ruang bagi gairah agama.

Pada “wilayah” rasa itulah saya kira yang namanya agama “bermain-main” dengan manusia, atau sebaliknya manusia “bermain-main” dengan agama tentang satu sosok misterius yang dikonstruksikan sebagai Tuhan–dalam bahasa yang bernada teologis: sebuah pengharapan. Pertanyaannya apakah anda menemukan sosok Tuhan itu dalam situasi-situasi chemstry (rasa) di atas atau anda hanya berada pada sebuah situasi rasa yang tidak mampu anda jelaskan arti dan maknanya dan kemudian anda menempatkan Tuhan dalam “kekosongan rasa” itu? Itu pilihan kawan. Saya, dan saya percaya anda-pun demikian, memiliki kebebasan untuk memilih dan memutuskan pilihan. Situasi cemistry itu adalah pilihan masing-masing orang, karena itu jangan menghakimi keputusan pilihan orang lain sebab masing-masing memiliki konsekuensi yang tidak sama. Religion is a matter of psychology, begitu kira-kira yang terjadi.


Dimanakah Tuhan?
Pertanyaan ini terasa agak menohok dan terkesan dituduh sebagai pertanyaan orang yang tidak beragama, ya begitulah kira-kira anda akan beranggapan. Namun saya hendak berkata bahwa saya masih memiliki keyakinan akan sesuatu, atau saya ingin katakan bahwa saya penganut Kristen–walau kadang-kadang lupa ke gereja hehehe “Engkaulah Tuhan Gembalaku yang menerangi hidupku ini” sebait syair lagu yang sering saya dengungkan disetiap jalan hidup saya. Saya berharap anda-pun ikut merinding dengan sebait syair lagu itu.

Kembali pada pertanyaan dimanakah Tuhan. Jawaban terhadap pertanyaan ini-pun tentu adalah pilihan masing-masing orang. Bagi orang Kristen, ada yang mengatakan “Yesus hanya sejauh doa”–ini karena Yesus diyakini sebagai Tuhan oleh orang Kristen. Jika Yesus adalah Tuhan maka pertanyaan itu dengan mudah terjawab bahwa Tuhan ada di Yerusalem sebab Yesus “bersemayam” disana, namun ada yang mengatakan bahwa Dia bangkit, maka tentu Dia tidak lagi ada disana. ah..saya tidak ingin terjebak dalam perdebatan dogma agama, saya lagi berupaya dengan keras untuk tidak masuk terlalu dalam ke wilayah itu.

“Yesus hanya sejauh doa” ini adalah ungkapan orang Indonesia yang beragama Kristen, orang bukan Indonesia yang beragama Kristen (mungkin) tidak pernah mengungkapkan rasa seperti itu dalam nyanyian, karena bahasanya berbeda hehe. Apa artinya ungkapan itu?

Bagi orang Indonesia yang beragama Kristen, Yesus yang adalah Tuhan itu ada dalam setiap ungkapan atau setiap kata-kata yang keluar dari mulut orang Indonesia-Kristen. Konsekunsinya adalah tidak hanya kata-kata, namun pikiran dan tindakan orang Indonesia-Kristen harus merujuk pada apa yang sudah dilakukan Yesus dalam hidupnya yang singkat itu, sebagai manusia. Dia melayani, Dia melayani dengan hati, dan tidak membeda-bedakan pelayanannya terhadap yang miskin dan yang kaya, Dia tidak pernah mengharapkan imbalan (bayaran) dalam bentuk uang, emas bahkan permata. Dia melayani semua manusia karena kemanusiaannya, dan membela kemunusiaan mereka yang kecil, terdiskriminasi, tertindas–mereka yang miskin, lapar dan penyakitan. “Yesus hanya sejauh doa” bukan hanya kata-kata indah yang harus diucapkan tapi harus terwujud dalam pikiran dan termanivestasi dalam tindakan. Itulah integritas. Karena itu, menjadi orang Kristen sejati itu tidak gampang!
Bagi saudara-saudara saya yang Islam, pertanyaan tentang “dimankan Tuhan” mungkin sulit dijawab, sebab kata saudara saya “tiada Tuhan selain Allah”–tentu dengan aksen atau dialek yang khas darinya untuk menyebut kata “Allah” itu. Bahkan saudara saya masih berujar “waman yabtaghi ghoira al-Islama dinan fala yuqbalu minhu”, yang apabila diterjemahkan kira-kira artinya begini: barangsiapa yang mencari agama selain Islam maka tidak akan diterima. Ini terjadi karena Islam adalah satu-satunya agama yang diturunkan oleh Allah kepada manusia lewat Muhammad. Ah, saya terjebak lagi dalam perdebatan teologis-dogmatik agama. Tapi itulah realitas yang harus saya terima dan saya apresiasi sebagai sebuah kebenaran menurut versi saudara saya.

Saya coba menanggalkan identitas Kristen saya untuk kemudian menjawab pertanyaan di atas dengan kaca mata budaya saya: sebagai orang Evav–sebuah komunitas budaya yang hidup di kepulaun Kei, provinsi Maluku. Kami (orang Kei-Evav), sebenarnya juga tidak mengenal Tuhan–dalam sebutan umum, tapi kami mengenal suatu sosok yang ada dan kami yakini hidup serta “menghidupi semua benda” yang ada disekitar kami. Kami mengkonsepsikannya dengan sebutan Duan yang secara bebas saya terjemahkan sebagai “pemilik” atau “sang pemilik”. Duan ini diyakini ada di pohon, batu, gunung, air, laut, matahari, bulan, bintang, bahkan tanah. Inilah keafiran budaya kami yang luhur.

Implikasi dari local genius ini adalah “perilaku liar” dari setiap individu dalam komunitas itu menjadi tertata, dan menunculkan pemahaman dan perilaku yang “berdamai dengan alam” sebab setiap benda di alam diyakini sebagai “ada yang memiliki”, sehingga penggunaan yang berlebihan atau pengrusakan benda-benda di alam bahkan pengrusakan alam diyakini akan mendatangkan malapetaka/bencana berupa sakit-penyakit bahkan kematian bagi pelakunya. Karena itu, dalam praktek kultural, aktivitas yang dilakukan kepada sesuatu harus didahuliu dengan “disembahyangi” lewat pemberian sirih, pinang, tembakau, dan uang logam yang ditelakan dalam piring putih dan dipersembahkan sebagai “tikat masuk” atau permohonan izin dan pemberitahuan guna melakukan kegiatan tertentu. Dalam bahasa setempat, praktek ini dikenal dengan istilah vor yauf atau flurut nit–memberi makan sang pemilik sembari memohon izin.

Dalam perjalanan sejarahnya, “Tuhan” orang Kei (Duan) harus berbagi tempat dengan “Tuhan” orang Kristen, mungkin karena “Tuhan” orang Kei bukan Tuhan yang pencemburu hehehehe mesra amat mereka ciiee. Dalam “pencarian” saya akan Tuhan orang Kei yang berbagi tempat dengan Tuhan orang Kristen, ternyata yang terjadi adalah munculnya dominasi Tuhan orang Kristen terhadap Tuhan orang Kei.

Pertemuan antar dua budaya (Kei dan Kristen), awalnya ternyata tidak dalam situasi saling menghidupkan dan saling menerima, tetapi yang tampak adalah Tuhan orang Kristen menjadi kanibalis bagi Tuhan orang Kei. Tuhan orang Kei (Duan) yang diyakini memiliki otoritas bagi setiap benda itu, dalam perjumpaannya “dipaksa” untuk merelakah sebagian kewenangannya bagi Tuhan orang Kristen, bahkan rela menerima fakta ketika secara sosial masyarakat yang dilindunginya mengkonstruksikan Tuhan orang Kristen lebih tinggi kedudukannya dibanding “Tuhan” yang mula-mula mereka kenal sebagai sesembahan mereka.

Pelabelan makna kultural bagi Tuhan orang Kristen dalam budaya orang Kei adalah “Duad”. Secara kebahasaan (bahasa Kei), menurut saya “Duad” dirasakan memiliki makna lebih tinggi dari “Duan”. Sebab dalam praktek hidup masyarakat Kei (Kristen), Duad dimaknai sebagai Tuhan Allah dalam perspektif agama Kristen, sedangkan Duan tetap bermakna pemilik yang bersemayam disetiap benda-benda. Artinya duan terbagi menurut jenis, nama dan bentuk bendanya, misalnya: ai ni duan (“pemilik” kayu), wear ni duan (“pemilik” air), vaut ni duan (“pemilik” batu) dll, sedangkan Duad didaulat memiliki otoritas tertinggi sebagai pemilik semua benda bahkan pemilik manusia Kei-Evav.

Konstruksi budaya dalam konteks agama (penyebutan Tuhan) tersebut berimplikasi pada pemahaman manusia Evav bahwa duan berposisi setingkat di bawah duad, yang mengakibatkan sebuah pengakuan bahwa duan-duan perlu bahkan harus ikut menyembah duad. Atau dengan kata lain, saya hendak mengatakan bahwa dalam perjumpaan budaya Kei dan agama Kristen, Tuhan orang Kei (Duan) tidak memiliki posisi tawar yang kuat terhadap Tuhan orang Kristen yang dalam budaya Kei mendapatkan predikatnya sebagai Duad.

Dugaan saya, “kekalahan” Tuhan orang Kei ketika berjumpa dengan Tuhan orang Kristen diakibatkan doxa agama Kristen yang juga didoktrinkan kepada masyarakat Evav-Kei bahwa “di luar gereja tidak ada keselamatan”. Sebuah dogma yang secara bom-bastis dikenal sebagai extra exclesia nula solum telah mengangkat Tuhannya berkuasa atas Tuhan orang Kei. Jawaban terhadap pertanyaan dimanakah Tuhan jadi lebih mudah dikonstruksikan dalam perspektif ini, bahwa Tuhan orang Kei ada dimana-mana–diselaga benda dan tempat, sedangkan Tuhan orang Kristen dalam perspektif dogma di atas sedang duduk manis di dalam Gereja bahkan mungkin sedang menertawakan kekalahan Tuhan orang Kei. Tapi pengikut Yesus harusnya tidak hanya duduk manis dalam gereja hehehe.

Tuhan Orang Indonesia
Ketika pertanyaan yang sama dicari jawabannya dalam konteks Indonesia; dimanakah Tuhan? Guru saya pernah mengajarkan bahwa Tuhan berkarya dalam kemerdekaan bangsa Indonesia. Ajaran ini hendak memberi pesan bahwa Tuhan tidak hanya bersemayam di Yerusalem atau sedang duduk manis di dalam gereja. Dengan kata lain, saya ingin berkata bahwa: Tuhan ada di Indonesia dan sedang berkarya lewat pikiran, perkataan dan perbuatan setiap insan Indonesia. Namun pertanyaan turunannya adalah Tuhan mana atau Tuhan siapa yang berkarya tentang kemerdekaan Indonesia itu? Hmmm anda mungkin kembali menuduh saya sebagai orang yang kurang bahkan tidak beriman, sebab mempertanyakan kebesaran, keagungan dan kemampuan Tuhan. Terhadap tuduhan seperti ini saya sering berkata, anda sedang berpikir dengan kacamata agama, karena itu pendekatan anda berbeda dengan saya.

Tuhan yang mana atau Tuhan siapa yang berkarya tentang kemerdekaan Indonesia? Tuhan orang Kristen, Tuhan orang Islam, atau Tuhan orang Kei? orang Kei diikutsertakan saja hehehehe. Jawaban terhadap pertanyaan ini, lagi-lagi saya perlu meminjam kata-kata guru saya bahwa “Dia adalah Tuhan orang Indonesia”. Tuhan orang Indonesia? Anda mungkin bertanya demikian, dan saya pernah juga bertanya demikian. Namun jika kita tidak mengakui bahwa orang Indonesia memiliki Tuhannya sendiri, maka kita sedang menipu diri kita. Saya mau berkata begini: Allah Tritunggal, Allah Swt, Yahweh adalah nama Tuhan yang “diimpor” dari luar, bahwa Tuhan seperti itu tentu dikonstruksi dalam komunitas budaya tertentu, karena orang Kei ternyata bisa juga mengkostruksi Tuhannya sendiri, demikian pula suku-bangsa lain di Nusantara, saya yakin bahwa mereka juga mengkonstruksi Tuhannya sendiri. Karena itu kita mengenal: Debata, Puang Matua, Upu Lanita, Marapu, dan lain sebagainya.
Kalau sukubangsa-sukubangsa yang mendiami Nusantara ini sudah memiliki dan mengkonstruksi Tuhannya sendiri berdasarkan local genius mereka, maka Indonesia yang baru dibentuk tahun 1945 tidak terlepas dari proses pencarian dan pembentukan identitas diri bahkan identitas Tuhannya sendiri. Karena itulah menjadi bermakna ketika kita membaca rumusan sila pertama Pancasila “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sila ini diduga dikonstruksikan kembali dari frasa “atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa…” dalam Pembukaan UUD 1945. Dengan demikian, maka Tuhan orang Indonesia adalah Tuhan Yang Maha Kuasa yang Kekuasaannya itu Esa. Apa artinya? Bagi saya rumusan Tuhan orang Indonesia ini bertujuan mendamaikan Tuhan-Tuhan lain yang “dihidupi” oleh setiap komunitas budaya di Nusantara, termasuk Tuhan yang “diimpor” itu. Karena itu Tuhan Yang Maha Kuasa perlu didaulat untuk duduk pada tempat tertinggi yang mendamaikan dan memberi tempat sejajar bagi semua komunitas budaya dengan Tuhannya itu.

Mengapa Tuhan Yang Maha Kuasa perlu mendamaikan tuhan-tuhan lain dan memberi tempat yang sejajar bagi mereka? Bayangkan saja jika orang Kei memaksakan Duan untuk harus diakui dan menjadi Tuhan orang Toraja dalam NKRI, apa saudaraku orang Toraja mau menerimanya? mereka kan sudah memiliki Tuhannya sendiri, demikian pula sebaliknya. Dengan demikian, konstruksi Tuhan Yang Maha Kuasa bertujuan menghilangkan “kegenitan” tuhan-tuhan lain untuk menggoda komunitas budaya tertentu. Kegenitan Tuhan lain itu “dikebiri” tetapi sekaligus juga diberi tempat terhormat karena semuanya menjadi sejajar dalam kedudukannya dihadapan Tuhan Yang Maha Kuasa. Karena itu Tuhan Yang Maha Kuasa adalah solusi terbaik bagi moment of transcendent bangsa Indonesia yang baru dibentuk, agar komunitas-komunitas budaya dengan Tuhannya itu tidak saling mendahului dan saling mengklaim bahwa Tuhannya yang paling benar dan paling pantas untuk diikuti. Itulah sebabnya ketika Bung Karno “berbicara” tanggal 1 Juni 1945 dia menghendaki prinsip “Ketuhanan yang berkebudayaan” artinya Bung Karno sadar betul bahwa jika moment of transcendent tentang Tuhan tidak disepakati dalam negara baru ini, maka kemungkinan yang muncul adalah komunitas-komunitas budaya (sukubangsa) itu akan bertindak saling meniadakan liyan atas nama Tuhannya masing-masing, maka homo homini lupus ala Hobes akan terjadi atas nama Tuhan.

Namun apakah “manusia adalah serigala bagi sesamanya” atas nama Tuhan dan agama tidak terjadi pada negeri yang memiliki Tuhannya sendiri ini? Tidak juga, mereka ternyata dalam beberapa kasus berperilaku saling meniadakan atas nama Tuhan. Apakah Tuhan orang Indonesia kurang sakti? Bisa juga demikian, namun saya tidak hendak berspekulasi. Saya hanya ingin mengatakan bahwa Tuhan orang Indonesia belum sepenuhnya diakui oleh komunitas budaya yang bernama Indonesia itu, ini bukan berarti bahwa Dia kurang sakti, namun lebih dikarenakan Tuhan Yang Maha Kuasa belum atau tidak tercatat dalam kitab manapun, atau Tuhan orang Indonesia tidak memiliki kitab sucinya sendiri, tidak menawarkan tatacara ritual tertentu, dan belum mengirimkan pesan-pesan gaib (berfirman) bagi pendukungnya. Satu-satunya hal yang telah dilakukan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa adalah mendamaikan dan memberi tempat (kedudukan) yang setara dan sejajar kepada perbedaan. Walau dalam realitasnya tuhan yang lain masih terlalu bergairah memaksakan kegenitannya dengan memandang perbedaan dan kesetaraan dari kacamatanya sendiri.

Sebagai penutup catatan ini saya hendak mengkonstruksikan bahwa “Religion is a matter of psychology. Manusia senang dengan sensasi-sensasi psikologis seperti ketenangan, merinding, melankholi, dan lain sebagainya, dan agama memanfaatkan kehausan manusia akan sensasi-sensasi itu. Namun tidak berarti bahwa agama itu lantas benar hanya karena sensasi-sensasi yang ditimbulkan dari momen-momen semacam itu. Dan jika kita mengerti dan mengetahui bahwa sensasi-sensasi itu bisa juga muncul disaat kita sedang tidak beribadah atau berdoa kenapa kita masih saja beranggapan bahwa Tuhan kitalah yang memberikan sensasi-sensasi yang sulit terdefinisikan, dan kemudian mengklaim bahwa Tuhan dan agama kita yang paling benar, yang lain salah, dipersalahkan bahkan perlu ditiadakan? Bagi saya, Tuhan Yang Maha Kuasa yang Kekuasaannya itu Esa atau Tuhan orang Indonesia adalah jawaban bagi keanekaragaman atau pluralitas masyarakat Indonesia yang dalam banyak hal masih sangat menyukai sensasi-sensasi akibat fantasi yang terkadang tidak selalu bermakna kehadiran Tuhan. Bagi saya Tuhan orang Indonesia menjadi relevan sebab hanya Dia yang bersedia memberi kedudukan yang setara bagi tuhan-tuhan lainnya.

Dan dalam sensasi-sensasi yang sulit dijelaskan, saya mengakhiri catatan ini dengan berkata: Tuhan ada di Indonesia–Tuhan orang Indonesia, Tuhan Yang Maha Kuasa itu telah membuat saya merinding. Saya mengikuti Tuhan Yang Maka Kuasa sekaligus mengikuti Yesus Kristus, dan saya akui bahwa saya bukan orang beragama yang baik, sebab agama terkadang membuat kita berkelahi.

Kota Hati Beriman

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun