Mohon tunggu...
Elly Esra
Elly Esra Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mencari Bintang disaat Langit Berawan

29 April 2015   12:11 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:34 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hidup serasa berhenti ketika kau berkata “perjalanan kita cukup sampai disini saja, aku capek, aku bosan, aku sebel, aku muak,” dan ocehan-ocehan lainnya yang telah kau utarakan sebagai kata-kata pembuka dalam pertemuan ini. Aku hanya terdiam mendengar semua keluh-kesah termasuk cacian dan makian-nama-nama binatang keluar dari mulutmu dengan lancarnya. Walaupun begitu, sengaja kubiarkan kau terus berbicara, sudah ku putuskan untuk hanya menjadi pendengar setia dalam pertemuan ini, dan kau pun terus mengomel tanpa sedikitpun berhenti. Terkadang kau menatapku, mungkin untuk memastikan apakah aku sedang mendengarkanmu atau tidak, dan selebihnya kau memalingkan muka seolah aku tidak berada disana. Hampir satu jam ketika kita bertemu, kau terus saja berbicara tanpa sedikitpun memberi kesempatan atau sekedar menanyakan pendapatku. Aku terlena mendengar semua kata-katamu. Memang ada benarnya, namun kebanyakan ditambahi bumbu sehingga rasanya pembicaraanmu hanya membenarkan dirimu sendiri, dan menyalahkan aku. Pikirku kala itu, ketika beberapa minggu kita tak bertemu apakah kau sedang mengikuti kursus bahasa? Mengapa dirimu tak seperti biasanya?

Setelah sekian lama, akhirnya aku menemukan cela untuk menetralkan suasana yang sedang panas. Sayang, kataku, “coba kau lihat sekawanan rusa yang sedang makan disana”. Tanpa memalingkan muka kau berkata “itukan saudara-saudaramu.” Entah kau sedang bercanda atau tidak tapi itulah jawabanmu. Mendengar itu, aku pun tertawa dan berkata dengan sedikit bercanda: “saudara kita”. Kau tampak cemberut dan berkata “saya lagi serius!! Kita putus saja!!!.” Kata-kata terakhir itu menyadarkanku bahwa kau memang tidak sedang bercanda, suasana menjadi sunyi kembali. Beberapa hewan peliharaan di kebun binatang itu ikut terdiam dan hanya memandang bisu kearah kita, seakan sedang menggoda kita berdua dengan kebisuannya. Aku menatap lama padamu, ingin kucari kepastian kata-kata itu. kau terus diam, dengan tatapan kosong, jauh ke lokasi dimana sekawanan anak rusa dan induknya sedang mencari rumput untuk makan siang mereka.

Seekor rusa jantan menghampiri kawanan anak rusa yang sedang makan itu, solah-olah ingin mengusir mereka dari teritorialnya, kau terus memandang. Melihat anak-anaknya dalam kondisi bahaya, induk rusa bertindak cepat mengamankan anak-anaknya seolah dengan bahasanya sendiri dia hendak mengatakan ini wilayah kami. Induk rusa menjadi benteng harapan anak-anaknya, mereka terbebas dari ancaman si rusa jantan. Kemudian, datang pula seekor rusa jantan lainnya, pikirku dia akan membantu kawannya: sesama jantan, untuk mengamankan wilayah kekuasaan dan kecongkakan mereka. Namun, aku keliru. Rusa jantan yang baru saja muncul bertindak di luar dugaanku, dia mengejar rusa jantan yang mengganggu kawanan rusa itu. Sehingga rusa jantan yang tadinya hendak mengacaukan kebahagian “keluarga kecil” yang sedang makan itu lari terbirit-birit.

Kupalingkan wajah pada sosok mungil nan cantik yang tepat disamping kananku, dia masih terus menatap rusa-rusa itu. Sejenak terlintas dalam benakku, apa yang sedang kau pikirkan namun aku tidak bertanya. Coba ku buka suasana kesunyian itu dengan berkata “itu suaminya, Rusa jantan yang satunya itu adalah bapak dari rusa-rusa kecil yang sedang makan itu”. Kau berpaling padaku, dengan senyum yang sedikit dipaksakan namun tanpa berkata apa-apa. Pikirku, senyummu yang walaupun terkesan dipaksakan, namun memberiku harapan untuk memulai pembicaraan ini lebih serius. Dan, aku mulai bertanya “boleh aku bicara?”, kau hanya menganggukan kepala tanpa kata. Sayang, kataku, “aku tahu bahwa tidak banyak waktu yang kumiliki untuk berbagi denganmu.” Sambil memegang tangan kananmu, kutatap wajahmu dalam, dan lebih dalam lagi. Kau tertunduk seakan mencari jawaban lewat butiran pasir bercampur kerikil yang menjadi alas tempat di mana kita berdiri.

Sambil terus memenang tanganmu, aku melangkah dan kau pun mengikuti langkahku, tanpa suara. Tepat didepan sana terdapat rumah kecil, tempat istirahat para pengunjung. “Disana belum ada pengunjung lain yang duduk, kita kesana yuk?” Kau mengangguk tanda setuju, dan kita bergerak menghampiri dan duduk rumah kecil itu.

Rumah kecil itu kira-kira berukuran 1,5 x 2 meter, terdapat tempat duduk yang terbuat dari semen dan sebuah meja kecil dari kayu jati. Bagian bawah meja itu tertanam dalam tanah berpasir, sehingga tidak bisa digerakkan atau dipindah-pindahkan. Kita duduk bersebelahan sambil memandang hamparan rumput hijau yang tidak terlalu luas. Aku menatapmu, namun kau masih saja memandang rusa-rusa yang masih asyik berlarian sambil sesekali melahap rumput. “Makanan yang begitu lesat bagi mereka, namun bukan untuk kita”, aku berkata sambil tersenyum. Namun kau tanpa ekspresi, seakan tidak mendengarkan kata-kataku. Aku terus melanjutkan pembicaraan yang tertuda tadi, “Dinda, soal pertemuan kita yang jarang ini, kuharap kau memahaminya. Kita telah menjalani sebuah perjalanan panjang yang melelahkan, jalan yang tidak hanya melelahkan aku dan kau, jalan yang juga melelahkan bagi keluarga kita yang belum tahu akan vakansi kecil yang kita lakukan.” Namun butiran pasir putih dan ukiran pada meja kecil itu sepertinya lebih menarik perhatianmu daripada kata-kataku.

Kawanan rusa itu terus mencari makan, tidak menghiraukan tatapan sekian puluh orang-termasuk aku dan kau kepada mereka,. Kau masih saja memperhatikan meja kecil itu. Melihat tingkahmu, aku pun berkata “rusa-rusa itu mungkin telah mengajarkan kepada kita satu hal tentang kehidupan, mereka tidak menghiraukan sekian mata yang sedang menatap, mereka tetap saja mencari makan pada teritorialnya, walau ada juga rusa lain yang mencoba mengusir mereka. Kita sudah menciptakan teritorial kita sendiri, namun mengapa sekarang kita harus keluar dari teritorial itu? bukankah kita perlu mempertahankannya? Atau aku memang tidak layak lagi untuk menjaga teritorial kita?” Mendengar itu, kaupun berpaling padaku dan berkata “maaf, teritorial itu sudah tidak ada lagi batas-batasnya, aku sudah keluar jauh sampai melupakan batas itu, dan aku sudah tidak ingin kembali lagi.” Kutatap wajahmu, dan butiran bening itu mulai berjatuhan dari matamu, “kau menangis Dinda, Ada apa?” gumamku. Tanpa menghentikan linangan bening itu kau berkata “mungkin rusa-rusa itu telah mengajarkan kita tentang artinya hidup, namun rusa jantan yang tadinya mencoba melarang anak rusa yang hendak merumput itu rasanya lebih kuat. Mengapa kau tidak hadir layaknya rusa jantan lainnya yang mencoba membatu anak-anak rusa itu? aku sudah dibawa keluar dari teritorialmu, dan aku mohon maaf untuk itu, aku tidak akan kembali.”

Kau terus menangis dan aku menyadari satu hal, bahwa aku telah jauh tertinggal dari sandiwara kehidupan yang telah kita ciptakan; kau telah memainkan banyak peran tanpa memberikan naskahnya kepadaku, kau melakoninya sendiri. Dan, kau terlena dengan peran-peran itu. isak-tangismu mengalun mengikuti irama air sungai kecil yang tepat di depan kita, aku terdiam menatapmu. Dan kataku, “maafkan aku yang tidak terlalu cerdas memainkan peran ini, jika kau tidak bisa kembali lagi ke dalam wilayah cinta kita, maka izinkanlah aku untuk ikut keluar dari wilayah ini tanpa membuatmu menangis lagi.” Kau berhenti menangis dan memelukku, aku diam dalam pelukanmu dan kaupun diam, yang tersisah dan terdengar hanyalah gemercik air sungai itu serta derap langka anak rusa yang sedang berlari kegirangan. Kita terus diam untuk beberapa saat lamanya, seakan terhanyut dengan alunan musik alam. Dinda, awal aku bertemu denganmu kau membuatku terlena, dan kini aku hanya bisa mengenangmu dalam keterlenaanku. Kau telah jauh dan takan pernah kembali… di saat itulah aku sadar ternyata aku hanya bermimpi di siang tadi.

Hati Beriman: Lereng Merbabu

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun