Mohon tunggu...
Ellya Sulistiyani
Ellya Sulistiyani Mohon Tunggu... PNS -

hanya ingin menjelajah setiap sudut bumi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Aku dan Lelaki Bermata Biru

12 Desember 2014   13:27 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:28 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku melihatnya lagi pagi ini. Dia masih seperti yang kulihat kemarin, dua hari lalu, tiga hari lalu. Dia juga masih sama dengan yang kulihat tujuh hari yang lalu, saat pertama kali aku melihatnya pagi itu. Lelaki muda bermata biru itu berdiri mematung, nyaris tanpa senyum. Lehernya yang kokoh bersalut selembar syal panjang berbahan wol warna biru, warna yang sama dengan bola matanya. Gaya berpakaian dan model rambutnya sekilas mengingatkanku pada sosok pemuda asal Jepang, yang sering aku baca di komik kala aku masih kanak-kanak dulu.

Dan masih seperti tujuh hari yang lalu, aku tetap saja terpaku di sudut halte ini, mencuri pandang sekali-kali ke arahnya, membayangkan dia memalingkan wajahnya, dan kembali berharap ia melihat kehadiranku di sini...Tapi, lelaki bermata biru itu tetap berdiri mematung.

Pagi ini masih saja seperti pagi-pagi sebelumnya...dingin membalut hiruk pikuknya pagi ibukota. Dan pemandangan pagi di sudut halte ini juga masih sama dengan seminggu, sebulan, bahkan setahun lalu. Selalu saja orang-orang itu berebut tiap kali ada bis yang datang menepi. Aku jadi ingat, betapa aku sejak beberapa tahun terakhir ini terbiasa berebut tempat dengan anak-anak ABG yang masih berseragam itu. Untung saja, jadwal kuliahku tak selalu pagi. Jadi, beberapa hari dalam seminggu, aku masih bisa menikmati sedikit ruang kosong di dalam bis yang mengantarku ke kampus di ujung selatan kota ini. Ah, tiba-tiba kenangan-kenangan masa kuliah itu terasa indah bagiku.

Sudah tiga puluh menit berlalu dan lelaki bermata biru itu masihberdiri di sudut halte yang kini mulai ramai dengan para pedagang kaki lima yang berjejal di sekitar halte. Kulihat sekelilingku, aku yakin aku bukan lah satu-satunya perempuan yang berharap lelaki berparas menawan itu berpaling menatap kami. Di sebelah kananku, tiga remaja belia yang sedari tadi mencoba menarik perhatian lelaki bermata biru itu nampaknya mulai menyerah. Sudah sekian menit berlalu, tiga remaja itu mencoba beragam cara untuk menggoda lelaki bermata biru itu. Sayangnya, lelaki itu seakan larut dalam dunianya sendiri, meski ia berada di tengah keramaian.

Sebuah bis yang berhenti mendadak, hanya berjarak sekitar satu meter dari tempatku berdiri, membuat khayalanku akan lelaki bermata biru itubuyar. Dan hanya beberapa detik kemudian, lelaki itu menghilang. Mungkinlelaki yang belum kuketahui namanya itu hilang bersama bis yang baru saja datang. Duh, kenapa aku tak beruntung pagi ini. Lelaki itu pergi sebelum ia sempat melihatku dan sebelum aku tahu siapa namanya.

Dan entah mengapa, sepanjang hari ini waktu seakan bergerak pelan, dan siang seperti enggan berganti tempat dengan petang. Sore ini, kuputuskan untuk menikmati hangatnya sinar keemasan matahari yang sebentar lagi akan terbenam di sudut taman kota ini. Bergegas kuayunkan langkah menuju taman yang kini tak lagi seindah kala aku kecil dulu itu. Lima belas tahun lalu, ayah dan ibuku selalu membawa ketiga anaknya ke taman ini. Dulu sekali, di tengah taman ini berbaris puluhan burung dara tiap kali sore datang. Biasanya, ayah dan ibuku tak pernah lupa membawa beberapa genggam biji jagung. Biji-biji itu mereka tebarkan di tengah taman untuk mengundang burung-burung dara yang sungguh cantik itu. Tapi itu dulu. Lima belas tahun lalu. Kini, kicau burung yang riang telah hilang. Yang tersisa hanyalah gemericik air yang berasal dari air mancur yang sudah diperbarui.

Aku melempar pandangan ke empat sudut taman. Tanpa sengaja, kutangkap seraut wajah. Ya, aku mengenal wajah itu. Selembar syal biru panjang berbahan wol warna biru yang melilit lehernya, tentu saja membuatku tahu, siapa pria itu. Dia sedang duduk, tak jauh dariku. Lelaki bermata biru

Aku bergerak mendekatinya. Kini jarak antara kami berdua hanya sekitar dua meter saja. Kutatap matanya dalam-dalam. Matanya begitu indah dan begitu biru. Jauh lebih indah dari birunya laut, dan jauh lebih indah dari ratusan bunga Kana warna jingga yang berjajar di sepanjang jalan menuju pintu masuk taman ini. Sayangnya, tatapannya matanya masih sama seperti pagi tadi, begitu angkuh.

Nampaknya, lelaki itu pun ingin menghabiskan sore dengan dua buku yang diletakkan di atas pangkuannya. Bahunya yang kekarbersandar di punggung sebuah bangku panjang dari kayu.

Sore ini nampak lengang. Mungkin hari ini, memang bukanlah akhir pekan yang cukup indah untuk dilewatkan di taman ini. Sudah beberapa hari terakhir ini, gerimis selalu saja turun menjelang sore dan cuaca pun tak bersahabat. Mungkin saja, cuaca seperti itu membuat orang enggan keluar rumah di saat matahari hendak pergi.

Aku tak peduli ramalan cuaca hari ini. Ada yang bilang, kotaku yang indah ini bakal diguyur hujan sepanjang minggu, terutama menjelang sore. Aku lebih peduli pada sepasang mata lelaki bersyal biru itu. Aku sungguh-sungguh terkesan pada mata indahnya, sama seperti saat pertama kali aku melihatnya pagi itu, tujuh hari yang lalu. Tak tahu mengapa, aku seperti telah jatuh cinta pada lelaki itu sejak pandangan pertama.

Lagi-lagi keinginan untuk menarik perhatiannya kembali meluap. Tapi dengan cara apa? Senja terus berarak dan hanya menyisakan gelisah.Ia masih duduk di bangku kayu itu. Sendiri. Kuberanikan dirimendekatinya. "Hai..." sapaku pelan. Sepasang mata indah itu berpaling ke arahku. Bisa kurasakan ada yang tak biasa saat sepasang matanya menatapku, seolah ia tengah menjelajahi wajah dan tubuhku. Ia memicingkan matanya. Sekali, dua kali, berkali-kali.

"Hai.. namaku Kayla. Sudah tujuh kali kita bertemu di halte itu¼" aku menghampirinya, berusaha memancing pesona. Ia berpaling, untuk kesekian kalinya. Mulutnya komat-kamit seperti baru saja melihat hantu. Aneh, ia mengacuhkanku. Aku tak habis mengerti mengapa kali ini, aku, yang terlahir dengan paras menawan, tak mampu menarik perhatiannya. Padahal banyak lelaki mencoba menggoda dan menarik simpatiku. Andi, Reno, Micky, dan masih sederet teman-teman kuliah yang tergila-gila padaku. Bahkan mungkin sampai hari ini. Tapi belum ada satu pun yang mampu menaklukkan hatiku. Semua laki-laki yang ada dalam kehidupanku itu terasa tak ada yang istimewa. Tak seperti lelaki bermata biru ini. Tapi mengapa kali ini aku tak bisa menarik perhatiannya?

Kuberanikan diri menghampirinya bangkunya. Kuayunkan sepasang kakiku di atas hamparan rumput yang masih terasa basah karena sisa hujan semalam. Tak ada reaksi. Ayunan kakiku untuk kesekian kalinya membuat bangku kayu yang kami duduki berderit pelan. Kuayunkan lagi sepasang kakiku berulang-ulang hingga bangku kayu bercat coklat itu berderit kencang. Laki-laki bermata biru itu mendadak pucat. Mata tajamnya lantas berpaling dan menukik tajam ke arahku. Lima menit kemudian ia berdiri dan melangkah, meninggalkanku sendiri, di sudut tamanini.

Matahari mulai terbenam, hingga akhirnya tersembunyi di balik awan. Angin senja pun mulai menebarkan aroma hujan, aroma yang sangat kusenangi kala aku masih kanak-kanak. Satu per satu rinai hujan turun perlahan, dan bertambah deras. Semua pengunjung taman ini berlarian, mencari tempat berlindung. Sebagian lainnya justru nampak gembira menyambut datangnya hujan, sama seperti yang kurasakan kala aku masih kanak-kanak dulu. Dan hujan semakin deras. Kini semua orang berlarian, kecuali aku.

Kubiarkan saja butir-butir air hujan membasahi pipiku. Aku tak mau berlarian seperti mereka, aku hanya melangkah, pelan. Dan tiba-tiba, aku merasa ingin pulang, pulang ke rumah. Kulangkahkan kaki semakin cepat kala dingin sudah terasa menerobos tulang, menebar gigil di sekujur tubuhku yang terasa kian menyusut ini. Dingin membuatku semakin menggebu-gebu ingin pulang, ingin cepat-cepat bertemu dengan ayah, ibu serta kakak dan adik yang sangat kucintai. Tiba-tiba aku ingin pulang.

Tak terasa, aku sudah hampir tiba di rumahku. Jalan beraspal menuju arah rumahku nampak lengang, mungkinkarena hujan masih menumpahkan airmatanya ke bumi. Biasanya, di sepanjang jalan beraspal ini, banyak pedagang kaki lima yang menjajakan dagangan mereka. Dan para penikmat makanan dari beberapa sudut kota pun memenuhi sisi jalan beraspal menuju rumahku itu, terutama di akhir pekan seperti sekarang ini. Tapi malam ini terasa lain. Sepi..sepi sekali, sesepi hatiku.

Aku berjalan dan terus berjalan hingga tak terasa aku sudah sampai di depan pagar besi bercat warna emas. Pagar menjulang tinggi itu seperti tersenyum menyambutku pulang. Mataku mencoba menembus derasnya hujan, di sela-sela pagar besi itu. Dan aku bertanya-tanya, apa yang sedang terjadi di rumahku. Mengapa rumahku nampak ramai sekali? Kubuka pintu pagar itu. Dari beranda, samar-samar kudengar ibuku menangis. Tangisannya sungguh terasa pilu, dan kulihat ayahku tertunduk lesu. Wajah mereka berbayang lara penuh air mata. Kulihat Keysa, adikku dan Kanya, kakakku tertunduk pilu, semua berderai airmata. Bulir-bulir air mata mengalir deras membelah pipi-pipi indah mereka, deras seperti seperti derasnya hujan yang membasahiku malam ini. Aku melangkah perlahan, mencoba menyatu dalam kepedihan yang mereka rasakan. "Ibu, Ayah, aku pulang..." aku berbisik pelan. "Ibu, Ayah, ada apa ini? mengapa kalian semua terus menangis?"

Dan lantunan ayat-ayat suci terdengar menggema, memenuhi setiap sudut ruang rumahku. Lalu kulihat ibuku pingsan. Aku tercekat. Mengapaibu harus pingsan saat aku pulang?

Malam ini, aku pulang, tepat tujuh hari setelah kematianku, Senin pagi itu. Aku pulang tepat tujuh hari setelah kutinggalkan semua yang mencintai dan kucintai. Kini aku pulang… tapi mengapa semuanya hanya diam? Mungkinkah semua tak menginginkanku kembali? Lantunan ayat-ayat suci itu seakan memapahku melangkah menuju pintu, meninggalkan rumah yang telah kutempati bersama keluargaku selama hampir seperlima abad.

Aku melangkah, jauh dan semakin jauh dari rumah. Dan di tengah jalan yang kulalui tadi, lagi-lagi aku melihatnya, lelaki bermata biru itu. Matanya bersitatap dengan mataku. Tapi ia kemudian berlari, dan terus berlari menghindariku. Dua menit kemudian, langkahnya mendadak terhenti saat sebuah mobil mewah menghantam keras tubuhnya. Bahkan suaranya terdengar sangat kencang hingga lelaki itu tak sempat lagi berteriak, hanya sekedar untuk meluapkan rasa sakitnya yang menderanya.

Lelaki bermata biru itu hanya sempat bergerak, pelan, lalu diam...Dan mobil mewah itu melesat kencang, meninggalkan lelaki bermata biru itu sendiri di sisi jalan, di tengah malam yang begitu kelam. Aku menghampirinya, kusentuh kedua lengan dan kuusap wajahnya yang berona merah penuh luka.

Kini aku bisa menyentuh tubuhnya. Menyentuh tubuh lelaki bermata biru. Saat pertama kali bertemu dengannya, aku sepertimerasakan aura kematian itu memancar dari tubuhnya. Aku melihat aura kematian itu bersinar dari raut wajahnya. Di hari kedua pertemuanku dengannya di halte itu, aku ingin sekali membisikkan padanya, bahwa tak lama lagi ia akan bertemu denganku. Bahwa kehidupannya di dunia ini hanya tinggal dalam hitungan hari. Saat bersamanya di taman kota sore itu, aku ingin sekali mengenalnya dan bercerita, betapa hidupku dan hidupku akan berakhir di alam yang sama. Berakhir dalam hempasan laju roda yang dikendarai orang-orang yang tak lagi punya hati nurani. Aku ingin mengatakan semuanya kala itu. Tapi aku tak pernah bisa.

Dan malam ini, usai kuusap luka di wajahnya, kutuntun ia pelan dan kubawa ia terbang, tinggi menembus pekatnya malam. Kubiarkan ia menyatu dalam pekatnya malam. Kini, saat duniaku akhirnya sama dengannya, aku akan bisa bercerita banyak hal padanya.

Dan tiba-tiba, lelaki bermata biru itu membuka mata. "Namaku Ray, kemana engkau akan membawaku pergi?" Ia berbisik lirih. Tak ada lagi kata-kata yang meluncur dari bibirku. Ray, nama lelaki sempurna tanpa cela itu. "Mengapa kau terus mengikutiku sejak tujuh hari terakhir ini? Mengapa kini kau bawa aku pergi?" ia bergumam pelan.

Kubiarkan ia terus bertanya dan bertanya, hingga angin meleburkan setiap kalimat yang terucap darinya.Kubiarkan nafas-nafas terakhirnya luruh bersama pendar bintang. Mulai malam ini, tak ada lagi yang akan memisahkanku dengan lelaki bermata biru.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun