Mohon tunggu...
Alfonsus Hirland
Alfonsus Hirland Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Mahasiswa Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Prodi Ilmu Komunikasi, Angkatan 2019.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pandemi Covid-19 dan Seremonial Natal: Adaptasi pada Lingkungan Budaya Baru

19 Desember 2020   19:12 Diperbarui: 19 Desember 2020   19:21 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: kalderanews.com

Perayaan natal dari tahun ke tahun, di mana saja, lazimnya identik dengan perayaan-perayaan seremonial. Natal acap kali berkenaan dengan euforia-euforia kegembiraan dan kesukaan, yang tampak dalam aktivitas-aktivitas seperti pembuatan kandang natal, menghiasi pohon natal, dsb. Demikian, semarak natal yang semacam itu juga terjadi di Kabupaten Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur. Hanya saja, perayaan seremonial menjelang natal di daerah tersebut, agaknya sedikit berbeda dalam pelaksanaannya. Khususnya soal intensitas perjumpaan dan kebiasaan untuk berkumpul bersama. Dalam mempersiapkan natal, salah satu pihak yang berperan penting adalah Gereja.

Dalam hal ini adalah kaum Klerus/Religius atau Biarawan/Biarawati. Sebagai pemimpin agama dan pelayan umat, intensitas mereka untuk berjumpa dengan masyarakat (baca: umat) tentu lebih tinggi. Dalam tradisi Gereja Katolik, pihak-pihak tersebut memiliki semacam agenda kegiatan yang memang dikhususkan dalam mempersiapkan perayaan Natal, seperti kegiatan Sakramen Rekonsiliasi (pengakuan dosa), Katekese tematis, pelaksanaan Novena rutin, ibadat, dan kegiatan-kegiatan rohani lainnya.

Namun, berhadapan dengan situasi pandemi Covid-19 di tahun ini, agaknya seremonial perayaan natal dan juga pelaksanaan kegiatan-kegiatan rohani harus dilakukan secara terbatas. Situasi ini menuntut setiap pihak, baik itu masyarakat ataupun pihak Gereja, untuk tidak melakukan aktivitas-aktivatas yang sifatnya tatap muka; apalagi kalau aktivitas tersebut harus dalam bentuk aktivitas komunal, atau mengharuskan kehadiran dan partisipasi banyak orang. Sehingga, pada akhirnya, dalam menyongsong perayaan Natal tahun 2020 ini, kemudian dikemukakan dan disampaikan semacam instruksi-instruksi, agar kemudian segala bentuk aktivitas menjelang perayaan natal tetap berjalan, tetapi dengan tidak melibatkan komunikasi langsung dengan banyak orang atau umat.

Dalam tulisan sederhana ini, penulis hendak melihat fenomena perayaan natal yang harus dilaksanakan di situasi pandemi Covid-19. Analisis ini merujuk pada salah satu artikel berita dari media daring, Pos Kupang.com, yang dipublikasikan pada Jumat, 27/11/2020, dengan judul: "Uskup Siprianus Beri 8 Poin Instruksi Terkait Pelayanan Pastoral di Masa Adven dan Natal". Bukan semata-mata soal pelaksanaan pelayanan patoral para Klerus dan biarawan/biarawati, sekurang-kurangnya, analisis ini lebih kepada perspektif atau sudut pandang adapatasi budaya.

Asumsi yang dikedepankan oleh penulis adalah perihal pandemi Covid-19 sebagai sebuah situasi atau konteks baru (baca: budaya baru) dalam merayakan natal. Dengan demikian, berhadapan dengan situasi baru, kultus baru, atau dalam bahasa penulis adalah budaya baru, setiap pihak, masyarakat atau Gereja, sudah semestinya mampu beradaptasi dengan situasi tersebut. Lantas, bagaimana adapatasi itu harus berjalan? Bagaimana seremonial natal dapat tetap terlaksan meskipun berhadapan dengan situasi pendemi?

Pertama-tama, kita perlu mengenal konsep adaptasi. Hemat penulis, adaptasi tak gubahnya sebagai bagian dari porses akulturasi. Demikian, akulturasi dipahami sebagai proses pembelajaran bagaimana untuk hidup dalam budaya yang baru (Samovar, 2014). Dalam konteks situasi pandemi Covid-19, akulturasi sebagai sebuah budaya baru teridentifikasi dalam salah satu bentuk, yakni dinamika Stress-Adaptasi-Pertumbuhan. Kim, dalam Samovar (2014), memandang penyesuaian dalam proses tersebut.

Dalam perspektif ini, proses yang berlangsung adalah bahwa stress sebagai konsekuensi dari hilangnya kemampuan untuk berlaku secara normal, yang kemudian menuntut setiap orang untuk mengembangkan dan menggabungkan norma budaya baru yang dibutuhkan dengan beradaptasi; pada akhirnya, seseorang atau kelompok tertentu dapat memiliki perspektif yang luas dalam beradaptasi, sehingga menghasilkan pertumbuhan pribadi atau kelompok (Samovar, 2014).

Dengan demikian, secara gamblang, budaya baru dapat dipahami sebagai situasi atau kebiasaan yang sama sekali belum dijumpai dalam pengalaman atau realitas hidup seseorang atau sekelompok orang. Dengan kata lain, ada perubahan yang diterima oleh individu atau kelompok masyarakat tertentu dalam keseluruhan realitas sosialnya. Hal ini seringkali ditemukan pada individu atau kelompok masyarakat yang memasuki lingkungan (baca: daerah) baru atau yang mengalami pergeseran nilai oleh suatu keadaan tertentu.

Berdarkan konsep di atas, jelas bahwa dinamika stress-adaptasi-pertumbuhan berlangsung dalam konteks serangkaian persiapan dan atau seremonial natal masyarakat Manggarai dengan dibarengi situasi pandemi Covid-19. Bahwasanya, pandemi Covid-19 yang dirasakan juga oleh masyarakat Manggarai, kemudian menjadi entitas budaya baru, yang terindikasi membentuk situasi dan kebiasaan baru pula. Maka, untuk melihat proses adaptasi masyarakat Manggarai dalam menyongsong perayaan natal, kita bisa berangkat dari dinamika stress-adaptasi-pertubmuhan; sekaligus sebagai dinamika proses adaptasi.

Pertama, 'Stress' sebagai konsekuensi atas masalah atau fenomena pemicu hadirnya budaya baru. Muncul wabah Covid-19 di seluruh dunia, pada dasarnya telah menciptakan situasi yang sama sekali berbeda terhadap kebiasaan-kebiasaan sebelumnya dari seorang individu atau suatu kelompok masyarakat. Dengan kata lain-sebagaimana telah dijelaskan di awal, setiap individu atau kelompok masyarakat kehilangan kemampuan untuk berlaku seacara normal. Bahkan, barangkali telah membawa pengaruh pada pergeseran nilai; dalam bahasa Prayogi & Danial (2016: 62), sebagai "perubahan nilai-nilai dalam suatu budaya yang nampak dari perilaku para anggota budaya yang dianut oleh kebudayaan tertentu".

Dalam mempersiapkan perayaan natal, selain soal keterbatasan dan ketidakstabilan pelayanan pastoral, bukan tidak mungkin situasi yang sama dialami oleh seluruh masyarakat Manggarai. Persiapan natal yang identik dengan aktivitas-aktivitas seremonial dan penuh kebersamaan, pada akhirnya harus dilakukan secara terbatas; atau tidak seperti biasanya. Bahkan, kegiatan-kegiatan ibadah atau kegiatan rohani lainnya pun dilaksanakan secara terbatas pula.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun