Di era digital, kita bangga disebut generasi paling melek teknologi. Kita bisa membaca ratusan berita, menelusuri tren dalam hitungan detik, dan membagikan opini seolah semuanya sudah kita pahami. Namun, di balik semua itu, ada sesuatu yang hilang---kemampuan membaca perasaan manusia. Literasi kini seolah hanya berhenti pada layar, tidak lagi sampai pada hati. Kita sibuk memahami algoritma, tapi lupa memahami empati.
Rendahnya literasi emosional membuat media sosial berubah dari ruang berbagi menjadi arena perdebatan tanpa arah. Kata-kata dilontarkan tanpa kesadaran, seolah layar bisa menahan luka yang ditinggalkannya. Kita lupa bahwa di balik setiap akun ada manusia dengan perasaan yang nyata. Literasi emosional tidak bisa digantikan oleh kecerdasan buatan atau trending tagar; ia hanya tumbuh dari kesadaran untuk memahami sebelum menilai, mendengar sebelum menyalahkan.
Karena itu, sudah waktunya kita memperluas makna literasi: bukan sekadar kemampuan membaca teks, tetapi juga membaca makna di baliknya. Literasi yang sejati bukan hanya tajam dalam logika, tapi juga lembut dalam rasa. Di tengah derasnya arus informasi, marilah kita belajar kembali menjadi manusia---yang tidak hanya pandai membaca layar, tetapi juga mengerti isi hati sesama.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI