"Bunda jahat, Bunda lebih sayang sama anak-anak tahfidz, Bunda jarang di rumah" teriakku saat itu.
Deg. Aku yang melihat masa kecilku saat itu, terdiam, sadar bahwa seringkali menyakiti Bunda. Bunda selalu menyanyangiku, memenuhi segala permintaanku, tapi, aku sering menyakitinya. Aku yang melihat masa kecilku saat itu, mulai menangis.
"Bunda keluar dulu ya, Aya-ku, Bunda minta maaf dan tidak akan mengulangi kesalahan bunda. Ayah juga, Ayah sama Bunda selalu menyanyangi Aya" Bunda keluar, sebelumnya Bunda menatapku, memelukku, kemudian mencium keningku.
Saat itu, aku pura-pura tertidur. Aku melihat Bunda keluar dari kamarku, matanya berkaca-kaca, kulihat ia sedang menahan tangis. Ayah melihat Bunda saat itu.
"Kenapa, De?" kata Ayah kepada Bunda.
"Gapapa, Mas" jawab Bunda sambil menahan tangis
"Gapapa, menangis saja, Mas bersedia menyediakan bahu untukmu bersandar bahkan tangan untuk mengusap air matamu, de" goda Ayah pada Bunda
Kulihat, Bunda sedikit tersenyum.
"Kamu istirahat saja dulu. Besok Mas akan jelaskan alasan kita ke Aya. Dia masih kecil belum mengerti tentang banyak hal, sama seperti kita kecil dulu, kita hanya memandang suatu hal dalam perpekstif kita saja, tidak melihat sisi lain, apalagi sisi yang sebenarnya." Jawab ayah panjang lebar. Bunda terlihat mengangguk.
"Mas, aku selalu mengagumimu, caramu memandang dunia berbeda dengan orang lain" ujar Bunda.
Ayah menatap Bunda. Cukup lama. Banyak arti dari tatapan Ayah. Aku mengerti satu dua arti tatapannya, tapi terkadang aku bahkan mengabaikannya. Ayah dan Bunda pun masuk ke kamar. Mereka harus beristirahat karena perjalanan pulang dari Jakarta ke Bandung.