Mohon tunggu...
Lail Maghfirah
Lail Maghfirah Mohon Tunggu... -

Assalamualaikum. Salam kenal, nama saya Lailatul Maghfirah. Teman-teman bisa panggil saya, Lail. Namanya lail tapi lahirnya pagi, hehe. Asli orang banjar. Sekarang saya adalah salah satu mahasiswi di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, jurusan Tafsir Qur’an semester 3. Bagi saya menulis adalah hal indah. Ia seperti rasa jatuh cinta atau seperti hujan. Ia candu namun bermanfaat. Menulis pun juga sebagai pengingat, ia seperti bumerang yang akan berbalik mengingatkanmu atau mengenaimu. Menulislah, kawan!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ternyata di Hati

14 September 2018   22:25 Diperbarui: 14 September 2018   22:40 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ternyata, di Hati

Lailatul Maghfirah

Aku terdiam dan termenung.  Sekarang, aku berada di taman belakang rumah tahfidz milik bundaku. Bukan rumah tahfidz yang mewah, hanya sederhana, yang berada di pelosok Bandung. Yang kusuka adalah taman ini, semua bagian dari taman ini, ayunan, bunga-bunga yang tersenyum, rerumpatan yang menghijau, bau udara dingin ini, bahkan adik-adik kecil yang berusaha menghapalkan ayat-ayatNya di taman ini, menggemaskan menurutku.  

Rumah ini dan terutama taman ini banyak menyimpan kenangan masa kecilku, dimana aku yang polos, tidak mengerti apa-apa, aku yang sok tau, pemberani, bahkan nakal.

Besok adalah salah satu hari bahagiaku, aku tersenyum bahkan tertawa, tapi nyatanya ada sedikit resah dari hatiku, tapi aku belum menemukannya.  Ya, besok adalah hari ini dimana seorang lelaki pemberani melantunkan sumpah kepada ayahku, sumpah ini yang akan menyatukan aku dan kamu, menjadi kita, bahkan keluarganya dan keluargaku. 

Siapa yang tidak bahagia, dia adalah laki-laki sholeh, hafidz, bahkan memiliki paras yang terlihat hampir sempurna dimataku bahkan dimata orang lain. Aku bahagia tapi ada sedikit resah yang harus diselesaikan. Aku pun termenung. Cukup lama. Lamunanku buyar ketika si kembar mencubit pipiku.

"Hei, Rei, Riz, awas ya, teteh bales nanti" kataku sambil mengejar si kembar.

"Kabur Riz, ayuuu" ujar Rei kepada Riz.

"Teteh mah, melamun mulu, besok kan nikah, ciyee" goda Riz padaku, ia masih berlari sambil menggandeng tangan Rei

" Ngelamunin mas Afif yaa" goda Rei sambil menjulurkan lidahnya.

Aku yang dari tadi mengejar mereka, berhenti, terlihat semburat merah di pipiku. Mereka menghampiriku lagi.

"Teteh, maaf ya, jangan marah yaa" ujar Riz.

"Teteh tuh dari tadi dipanggil bunda, kita juga udah dari tadi manggil teteh, teteh baik-baik saja?" lanjut Rei.

 "Yuu masuk ke rumah, teh Aya-ku, teteh sayangku" ujar Riz sambil memegang tanganku.

"De Rei, De Riz, teh Aya pengen disini dulu, pengen murojaah dulu, malu sama Allah kalo teteh mau nikah tapi hapalannya belum lancar, bilang ke bunda ya, sayang-sayangku, nanti teh Aya masuk sebelum shalat dzuhur, oke?" jawabku sambil melihat kedua mata adik-adiku.

"Iya teteh-kuu, sayangnya kita, tapi janji ya, sebelum dzuhur" jawab mereka hampir bersamaan dengan tingkah lucunya. Mereka berlari lagi menuju rumah, terdengar samar-samar mereka berbicara dengan bunda.

Namaku adalah Shofiyyatul Khanza Azzahra, keluargaku biasa memanggilku Aya, si kembar memanggilku Teh Aya-ku, atau kadang ada yang memanggilku Neng Aya. Aku adalah anak pertama dari tiga bersaudara, aku punya si kembar pengantin, Muhammad Reihan Ash-Shiddiq dan Rizhani Farhana Al-Humaira, Rei dan Riz aku memanggil mereka. Ayah dan bunda, mereka adalah penggiat Al-Qur'an, salah satu dari orang-orang yang ingin membumikan Al-Qur'an, menjaga Al-Qur'an, aku sangat beruntung memiliki mereka Ayah, Bunda, Rei dan Riz.

Aku melamun kembali, ditanganku ada mushaf yang seharusnya aku baca sedari tadi untuk murojaah hafalanku. Alhamdulillah, keluargaku adalah penghapal Al-qur'an, bahkan si kembar sudah punya hafalan 15 juz, insyaAllah mutqin, padahal umur mereka masih  10 tahun. Aku dan si kembar beda 12 tahun. Lamunanku terbang ke masa kecilku 10 tahun yang lalu, saat itu aku berumur 12 tahun, dimana bunda yang sibuk dengan rumah tahfidznya, dan ayah sibuk dengan kliniknya, kadang sesekali keluar kota untuk dakwah. 

Bunda lulusan Unpad jurusan keperawatan, dan Ayah lulusan Unpad jurusan pendidikan dokter, mereka bertemu di organisasi, satu tujuan, dan satu pemahaman. Tapi, karena kesibukan mereka, saat itu aku merasa tidak dipedulikan. Tepat, kelulusan sekolah dasar, kedua orangtuaku tidak bisa menghadiri acara kenaikan kelas, mereka sibuk, yang mewakili adalah nenekku. Aku marah, padahal aku mendapatkan peringkat 1 saat itu.

Saat itu, saat pulang dari acara itu, tepat pukul 5 sore, kulihat diriku saat itu masih dengan muka yang masam. Bunda datang bada maghrib, ia langsung menghapiri kamarku. Saat itu, mataku masih terlihat sembab dan bengkak.

"Nak, maafin Bunda ya. Ada alasan bunda gabisa hadir, ini buat kebaikanmu" kata Bunda sambil mengusap air mataku yang keluar.

"Bunda tau, kalau Aya, kesayangannya bunda, kecewa sama bunda, Bunda minta maaf ya" lanjut Bunda

"Bunda jahat, Bunda lebih sayang sama anak-anak tahfidz, Bunda jarang di rumah" teriakku saat itu.

Deg. Aku yang melihat masa kecilku saat itu, terdiam, sadar bahwa seringkali menyakiti Bunda. Bunda selalu menyanyangiku, memenuhi segala permintaanku, tapi, aku sering menyakitinya. Aku yang melihat masa kecilku saat itu, mulai menangis.

"Bunda keluar dulu ya, Aya-ku, Bunda minta maaf dan tidak akan mengulangi kesalahan bunda. Ayah juga, Ayah sama Bunda selalu menyanyangi Aya" Bunda keluar, sebelumnya Bunda menatapku, memelukku, kemudian mencium keningku.

Saat itu, aku pura-pura tertidur. Aku melihat Bunda keluar dari kamarku, matanya berkaca-kaca, kulihat ia sedang menahan tangis. Ayah melihat Bunda saat itu.

"Kenapa, De?" kata Ayah kepada Bunda.

"Gapapa, Mas" jawab Bunda sambil menahan tangis

"Gapapa, menangis saja, Mas bersedia menyediakan bahu untukmu bersandar bahkan tangan untuk mengusap air matamu, de" goda Ayah pada Bunda

Kulihat, Bunda sedikit tersenyum.

"Kamu istirahat saja dulu. Besok Mas akan jelaskan alasan kita ke Aya. Dia masih kecil belum mengerti tentang banyak hal, sama seperti kita kecil dulu, kita hanya memandang suatu hal dalam perpekstif kita saja, tidak melihat sisi lain, apalagi sisi yang sebenarnya." Jawab ayah panjang lebar. Bunda terlihat mengangguk.

"Mas, aku selalu mengagumimu, caramu memandang dunia berbeda dengan orang lain" ujar Bunda.

Ayah menatap Bunda. Cukup lama. Banyak arti dari tatapan Ayah. Aku mengerti satu dua arti tatapannya, tapi terkadang aku bahkan mengabaikannya. Ayah dan Bunda pun masuk ke kamar. Mereka harus beristirahat karena perjalanan pulang dari Jakarta ke Bandung.

Keesokan harinya, tepat hari minggu, Ayah membangunkanku untuk shalat Subuh berjamaah. Aku bangun dengan mudah, Ayah dan Bunda sudah menanamkan hal-hal baik padaku. Setelah shalat subuh, Ayahku menatap mataku kemudian ia tersenyum. Senyumannya aku balas dengan muka datarku.

"Aya, gimana kabarnya subuh hari ini? Ayah harap bahagia ya, dan ada rasa syukur di hati Aya. Yuu setoran dulu." Kata Ayah memulai pembicaraan. Ibu sedari tadi diam

"Gamau. Aya cape" Jawabku, kemudian lari ke kamarku.

Ayah dan Bunda terlihat terluka karenaku. 2 bulan setelah itu, Bunda hamil si kembar. Selama 2 bulan itu juga, aku seperti bukan diriku, aku nakal, malas, peringkat menurun, jarang hapalan, bahkan susah untuk diatur Ayah dan Bunda. Saat Bunda hamil, Ayah menjelaskan bahwa saat itu Ayah dan Bunda ke Jakarta, Bunda saat itu hamil 2 bulan dan mengalami pendarahan, Ia harus dirujuk ke RS kota yang memiliki fasilitas yang lebih lengkap. Saat itu, aku yang puber, menangis, memeluk Bunda, memeluk Ayah, kemudian memeluk Bunda lagi. Aku yang sekarang melihat hal itu menangis. Menangis menyesali perbuatanku, dari saat aku mengatakan Bunda jahat sampai perbuatan-perbuatanku selama 2 bulan.

"Ayah, Bunda, maafin Aya yaa. Aya gabakalan ulangi lagi"

Aku terbangun dari tidurku. Disampingku ada Bunda yang membaca Al-Qur'an, sedari tadi ia membacakannya untukku.

"Aya, udah bangun ya. Kata gurunya Bunda, kalau saat tidur dingajiin kaya gini, otak kita masih berfungsi, jadi bakalan ingat sama hafalan."  Kata Bunda

"Iya Bun" jawabku singkat

"Bun, Aya minta restu yaa. Kelakuan Aya dari kecil sampai sekarang, Maafin ya bun. Aya yang nakal, Aya yang udah nyakitin Bunda, Doakan Aya seperti Bunda, Bunda yang baik, tegar, cerdas, lembut, sabar, semua kebaikan pada Bunda semoga ada di Aya"  kataku

"Iya Aya-ku. Bunda selalu mendoakan yang terbaik untuk anak-anak Bunda. Tanpa dimintapun Bunda selalu mendoakanmu, Aya. Bunda harap Aya tidak hanya seperti Bunda, tapi Aya harus lebih baik dari Bunda, lebih dari segalanya, lebih baik, lebih bermanfaat." Jawab Bunda sambil memelukku

Pelukan Bunda selalu menghangatkan hati yang beku yang terkena dinginnya malam. Aku selalu membutuhkan Bunda. Setiap anak membutuhkan Bunda. Setiap perempuan akan menjadi Bunda. Itu pasti. Bunda akan selalu mengorbankan semuanya untuk anak-anaknya, kita sebagai anak yang belum mengerti banyak hal.

Kubalas pelukan Bunda, seolah takut kehilangannya.

"Bun, aku besok menikah dengan seorang laki-laki yang baru aku kenal. Sebenarnya Aya takut, Bun" kataku kepada Bunda

"Nak, Bunda sebenarnya tau, kalau Aya takut kehilangan Bunda, Ayah, dan Rei, juga Riz, kan? Kita akan selalu ada disini, dihati Aya, Aya kalau Rindu segera datang ke Bandung, kesini, atau telpon, video call juga bisa, atau hal kecilnya doakan kita, pejamkan mata Aya, bacakan satu surah yang Aya suka, kemudian kirimkan ke orang yang kamu rindu, bilang ke Allah untuk menjaga kita" jawab Bunda

"Ingat ya nak, Bunda selalu ada disini, di hati Aya, Ayah, Rei, dan Riz juga ada disini" kata bunda sambil memelukku lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun