Mohon tunggu...
Elisabet Olimphia Selsyi
Elisabet Olimphia Selsyi Mohon Tunggu... Administrasi - well organized and visioner.

Beri aku sebuah media citizen jounalism, niscaya akan kuguncangkan jagat media. S.I.Kom UAJY.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Tragedi Media Luar Ruang: Yogya Istimewa Sampah Visualnya

20 April 2016   20:16 Diperbarui: 23 April 2016   13:56 668
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

             Permasalahan ini sesuai dengan apa yang dikatakan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) DIY Tavip Agus Rayanto bahwa volume pertumbuhan penduduk dan kendaraan bermotor tak sejalan dengan luas ruang publik. Dalam hal ini, kewenangan perizinan ada di pemerintah kabupaten dan kota. Namun, Pemda DIY seolah tak berdaya soal perizinan (Kharisma, 2015, 3 Desember). Pertumbuhan penduduk yang semakin cepat seharusnya juga diimbangi dengan luas ruang publik yang bertambah. Namun, kenyataannya porsi penggunaan media luar ruang lebih banyak diambil oleh kelompok-kelompok privat untuk sarana beriklan maupun berkampanye. Dalam hal ini, privatisasi ruang publik menjadi penyebab dari the tragedy of the common.

            Sumbo Tinarbuka penggagas Gerakan Reresik Sampah Visual Yogyakarta yang juga merupakan Dosen Komunikasi Visual Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta menganggap reklame ruang terbuka hijau sebagai sampah visual. Ia mengatakan bahwa sampah visual yang bertebaran di sepanjang jalan berupa papan-papan iklan komersial ataupun kampanye partai ini yang membuat Yogya tak lagi istimewa. Biarkan ruang publik itu milik publik. Jangan menjadi milik merek dagang dan partai politik (Kharisma, 2015, 3 Desember). Hal-hal semacam itu tidak akan terjadi bila kebijakannya pun mendukung penerapan ekologi politik yang berbasis pada keberlanjutan.     

Pentingnya Kebijakan Berbasis Ekologi Politik dalam Tata Media Luar Ruang

           Kebijakan mengenai iklan luar ruang dibuat dengan tetap menuntut kontribusi pengiklan terhadap lingkungan sehingga memiliki tanggung jawab pula terhadap keberlanjutan lingkungan. Lingkungan di sini lebih diarahkan kepada tata media luar ruang. Untuk dapat melihat apakah pengiklan cukup banyak memberikan sumbang sih untuk lingkungan, kita bisa menilai dari filosofi lingkungan yang mendasarinya. Para pengiklan reklame memposisikan diri mereka sebagai expedients atau bijaksanawan, yaitu berpandangan bahwa kesejahteraan dan stabilitas ekonomi hanya dapat dicapai dengan penerimaan pada tanggung jawab sosial. Tanggung jawab sosial di sini dapat berupa persetujuan yang diperoleh dari masyarakat.

           Eder (1996), seorang akademis menyebutkan tiga fase transformasi dari ideologi lingkungan. Pertama adalah fase di mana terdapat ketidakcocokan antara ekologi dan ekonomi yang ditandai dengan masalah lingkungan. Kedua, pendekatan peraturan mendominasi aksi dan wacana lingkungan. Ketiga, muncul pada pertengahan tahun 1990, bahwa normalisasi budaya dari fokus mereka akan lingkungan dan integrasi mereka dengan pola dimunculkan oleh pemikiran ideologis (Buhr, n.d., hal. 3).

            Fase pertama menunjukkan bagaimana kepentingan ekonomi memicu para pengiklan mengeksploitasi alam di luar batas kewajaran. Ini sesuai dengan filosofi lingkungan yang mendasarinya, yakni sebagai bijaksanawan. Bijaksanawan akan cenderung memposisikan manusia sebagai pusat (human centre) sehingga ia menganggap lingkungan memunyai nilai (valuable). Dengan begitu, pengiklan akan dengan mudah memanfaatkan media luar ruang untuk kepentingan pribadinya− yang salah satunya untuk ajang promosi. Eksploitasi dilakukan dengan merampas ruang publik untuk kepentingan privat. Fase kedua menunjukkan adanya protes masyarakat yang menuai kritik terhadap pengiklan yang sewenang-wenang sehingga muncul pengajuan regulasi media luar ruang agar tidak berdampak negatif.

            Sedangkan fase terakhir menjelaskan bahwa pembangunan yang berkelanjutan membutuhkan niat perubahan pada korporasi bisnis atau pengiklan, dibantu peran pemerintah, dan masyarakat. Kepedulian tersebut harus terlihat dalam pemikiran dan tingkah laku mereka. Penataan media luar ruang perlu memperhatikan syarat-syarat keamanan, penataan yang rapi, ukuran yang sesuai dengan lingkungannya. Pemasangan reklame harus memenuhi standar-standar yang sudah ditetapkan, seperti dari segi keindahan, teknis pemasangan, keamanan, keamanan, dan lain sebagainya.

             Eder mendefinisikan ideologi lingkungan menjadi titik balik dari evolusi budaya akan modernitas, sejauh itu membuktikan sebuah orientasi budaya baru dengan menjadikan ekologi untuk industrialisme sebagai dasar dari model budaya modernisasi. Selain itu, ekologi mengubah sifat politik dengan menciptakan politik alam (the politics of nature) (Buhr, n.d., hal. 3). Kebijakan-kebijakan politis dibuat untuk mengontrol kekuasaan para kapitalis terhadap lingkungan. Harapannya, kebijakan yang diproduksi oleh pemerintah dapat menyelamatkan keberlanjutan lingkungan untuk kepentingan masyarakat.

         Krisis lingkungan yang sesungguhnya sudah disadari kehadirannya sejak dasawarsa 1960-an, kini telah berkembang demikian jauh sehingga telah menyebabkan “bertemunya ekologi politik” (political ecology) dengan ekonomi politik (political economy) (Suhendar, 2002, hal. 280). Penggabungan ekonomi dengan lingkungan membuat wacana mengenai lingkungan bermunculan. Wacana lingkungan adalah produk lingkungan yang bertransformasi. Masyarakat sekarang semakin kritis dengan munculnya pandangan bahwa papan-papan reklame menimbulkan situasi kedaruratan tata ruang. Komunikasi mengenai ilmu alam menjadi perantara antara konflik politik (kebijakan) dan debat politik yang mengubah budaya politik masyarakat modern. Organisasi bisnis dalam hal ini pengiklan mendapatkan perhatian lebih dari publik. 

Keistimewaan Tata Ruang, Keistimewaan Yogyakarta

          Nilai sebuah keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) secara visual terejawantahkan dalam penataan iklan luar ruang yang dipasang di ruang publik. Sebaliknya iklan luar ruang yang tidak teratur dari segi penempatannya akan sangat mengganggu makna keistimewaan itu sendiri. Ramah tidaknya sebuah kota bagi warga maupun wisatawannya, diindikasikan dari sejauh mana pemerintah mampu mengelola dan mengatur penempatan iklan luar ruang yang terpasang di kota tersebut (Tinarbuko, 2013, 21 Agustus). Ini menunjukkan bahwa media luar ruang memegang peranan penting dalam mencerminkan ciri khas dari suatu daerah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun