Dia menggangguk perlahan.
"Menurutmu, apakah yang kamu lakukan..."
Belum sempat selesai perkataanku, kulihat Dinda mulai terisak. Kuraih dia dalam dekapanku lalu dia pun tambah tersedu-sedu.
"Pasti dia menyesal," batinku.
Setelah pertengkaran itu, Dinda lebih suka melewatkan waktu istirahat siangnya dengan menghabiskan makanannya hingga bel kembali berbunyi. Sesekali aku lihat dia bermain dan bercanda bersama anak-anak yang lain jika ada yang mengajaknya. Mungkin Dinda yang menarik diri atau teman-temannya yang menjauhinya. Entahlah.
"Mungkin saja dia sedang mengalami perubahan hormon," kata Manda, salah seorang rekan guru saat kuceritakan tentang sikap Dinda yang akhir-akhir ini berubah.
"Hmm.. Begitu, ya. Bisa jadi, sih.Tetapi cuma Dinda yang jadi sangat sensitif. Anak-anak yang lain nggak tuh," jawabku.
"Tiap anak, kan,beda-beda. Repot, ya, jadi guru. Yang masa puber murid, tapi kita juga yang kena imbasnya," kata Manda lagi sambil terkekeh-kekeh.
Aku tersenyum mendengarnya tapi pikiranku tetap pada Dinda karena dia tidak pernah begitu sebelumnya.
***
Sambil merapikan meja kerjaku, aku teringat beberapa waktu lalu saat Dinda tidak masuk sekolah. Ibunya memberitahuku lewat email kalau beliau ingin Dinda meluangkan waktu bersama ayahnya lalu ikut mengantarkan ayahnya pergi ke bandara. Aku heran, hanya mengantar ke bandara saja harus absen sekolah. Padahal Dinda bisa tetap masuk lalu pulang lebih cepat. Setidaknya tidak melewatkan seluruh kegiatan hari itu.