Mohon tunggu...
Eli Halimah
Eli Halimah Mohon Tunggu... Guru - open minded

guru

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Memaknai dan Menyikapi Musibah

20 Januari 2021   09:28 Diperbarui: 20 Januari 2021   09:46 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Musibah berasal dari Bahasa Arab mushiibatan yang berarti segala yang menimpa pada sesuatu baik berupa kesenangan maupun kesusahan. Akan tetapi, umumnya orang memaknai musibah dengan kesusahan. Padahal, kesenangan pun hakikatnya musibah juga. Dengan musibah, Allah SWT hendak menguji siapa yang paling baik amalnya.

''Sesungguhnya kami telah jadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, karena Kami hendak memberi cobaan kepada mereka. Siapakah di antara mereka yang paling baik amalnya.'' (QS Al-Kahfi (18): 7)

Ada tiga golongan manusia dalam menghadapi musibah. Pertama, orang yang menganggap bahwa musibah adalah hukuman dan azab kepadanya. Orang seperti ini hatinya akan menjadi sempit dan senantiasa mengeluh.

Kedua, orang yang menilai bahwa musibah sebagai penghapus dosa. Ia senantiasa memasrahkan semua yang menimpanya kepada Allah SWT.

Ketiga, orang yang meyakini bahwa musibah adalah ladang peningkatan iman dan takwanya. Ia selalu tenang dan percaya, bahwa Allah SWT menghendaki kebaikan bagi dirinya melalui musibah tersebut.

Lalu, bagaimana Islam memerintahkan umatnya untuk menyikapi musibah yang menimpanya?

Pertama, ridha dan ikhlas. Sebagai muslim yang baik, kita patut mengimani bahwa semua musibah yang kita alami adalah kehendak Allah. Tiadalah sesutu terjadi di bumi ini, kecuali sudah tercatat di Lauhul Mahfudz.

Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya besarnya pahala itu seiring dengan besarnya cobaan. Sesungguhnya Allah, jika mencintai satu kaum, maka Allah memberi cobaan kepada mereka. Maka, barang siapa yang murka, maka dia mendapat murka Allah." (HR. Turmudzi)

Kedua, sabar. Menurut Imam Suyuthi dalam Tafsir Jalalain, sabar adalah menahan diri dari hal yang kita benci. Sikap inilah yang harus dimiliki seorang muslim dalam menghadapi musibah.

Dari pada waktu kita habis dengan mengeluh, bertanya-tanya, apa lagi mengumpat, akan lebih baik jika kita mengisinya  dengan membaca Al-Qur'an, membaca kalimah-kalimah thayyibah, terutama istirja' (Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun).

Sibukkan diri dan isi waktu kita dengan hal-hal yang baik. Jangan sampai kita berputusasa dari rahmat Allah. Sesungguhnya jika putus asa, kita telah su'udzdzon pada Allah. Kita telah menjadi manusia sombong karena merasa lebih tahu dari Allah tentang apa akan terjadi.

Ketiga, yakin setiap musibah memiliki hikmah. Di balik setiap musibah, pasti ada hikmah. Hikmah itu tergantung dari kita yang menjalaninya. Jika kita ikhlas dan sabar, tentu kita akan menemukan banyak hikmah di balik musibah yang menimpa kita.

Hikmah bisa berupa fisik dan non fisik. Musibah sakit, umpamanya. Banyak dari kita yang justru setelah sakit, fisiknya semakin sehat. Hikmah non fisik lebih mengarah pada mental dan mind set kita. Karena hati kita sabar dan ikhlas, mental, dan pola pikir kita positif dalam mengahadapi musibah, maka fisik pun akan merespon positif.

Keempat, ikhtiar. Muslim yang baik tidak memasrahkan diri tanpa usaha. Sebagai manusia, kita dibekali dengan akal dan daya nalar yang baik. Kita berkewajiban berusaha dan berikhtiar sampai batas maksimal, lalu bertawakkal pada-Nya.

Hope for the best, prepare for the worst. Berharaplah untuk hal yang terbaik, bersiaplah untuk hal yang terburuk.

Kelima, doa dan dzikir. Hati adalah rumah dari seluruh rasa dan perasaan manusia. Jika hati kita baik, maka baiklah seluruh tubuh kita. Dan jika hati kita buruk, maka buruk jugalah seluruh jasad kita. Rasulullah SAW bersabda, "Perumpamaan orang yang berdzikir dan yang tidak, adalah seumapama orang yang hidup dan mati." (HR. Bukhari)

Penggalan Surah Ar-Ra'd, ayat 28 berbunyi "Alaa bidzikrillaahi tathmainnul quluub", ingatlah! Hanya dengan mengingat Allah-lah, hati menjadi tenteram." Ayat ini menuntun kita, manusia yang tengah dilanda musibah, untuk senantiasa mengingat Allah sebanyak-banyaknya, agar hati kita menjadi tenang.

Keenam, taubat. Tiada seorang hamba pun yang ditimpa musibah, melainkan akibat dari dosa yang diperbuatnya.

Maka, sudah seharusnya dia melakukan taubat nasuha pada Allah SWT. Orang yang tidak mau bertaubat setelah tertimpa musibah adalah orang sombong dan sesat. Allah SWT berfirman, "Dan apa saja musibah yang menimpa kamu adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri. Dan Allah memaafkan Sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)." (QS As-Syura : 30)

Maka, musibah apa pun yang tengah menimpa kita, apa dampak, dan hikmahnya dalam kehidupan kita, semua tergantung dari cara kita memaknai dan menyikapinya. Semoga Allah SWT senantiasa melindungi kita semua. Aamiin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun