Ardin memandang Bunda dan Ayah bergantian dengan resah. Bunda berusaha menahan kecemasan yang terpendam di hatinya, sementara Ayah bersandar tenang sambil menatap Ardin. Suasana ruang keluarga terasa hening mencekam.
“Apa Ardin harus ke rumah Kakek Dirga, Ayah?”Ardin cepat-cepat memasang raut cemas di wajahnya. Hanya itu senjata ampuh untuk meraih simpati orang tuanya.
“Iya, Nak.” Jawab Ayah tegas. Mengabaikan raut memohon putra semata wayangnya.
Sejak dulu Ardin tak menyukai Kakek Dirga dari pihak Ayah karena lelaki paruh baya itu selalu berwajah dingin dan kaku. Ardin mendesah sedih. Keputusan Ayah dan Bunda sudah bulat. Liburan kali ini harus dihabiskannya bersama Kakek Dirga yang kaku. Membayangkan seharian bersama Kakek membuatnya makin merana.
Di pagi hari awal liburan, Ardin tampak enggan mengikuti Ayah ke dalam mobil. Sepanjang perjalanan menuju rumah Kakek Ayah, raut suram tak lepas dari Ardin. Ayah hanya melirik sesekali sambil mengajaknya bicara. Helaan napas Ardin makin panjang dan terdengar lirih.
Tiba di rumah Kakek Dirga, sosok paruh baya itu berdiri menunggu dengan tatapan datar. Ayah spontan setengah berlari dan memberinya salam hormat. Ardin menyusul enggan. Susah payah dia menahan kecewa. Apalagi tatapan Kakek Dirga tak bergeming.
“Nak, tolong ikuti Kakek ya. Ayah berharap kau melakukan yang terbaik.” Bisik Ayah menyemangati. Lalu melempar senyum menenangkan.
Ardin hanya mendesah dan mengangguk pelan. Sepeninggal Ayah, Kakek Dirga melempar tatapan tajam. Ardin menelan ludah, makin gelisah. Tanpa kata, Kakek Dirga berbalik dan memasuki rumah. Pak Ujang yang menemani Kakek Dirga segera membujuknya untuk mengikuti sosok itu.
Selama seminggu, Ardin melewati hari dalam keheningan yang menyiksa. Kakek Dirga lebih suka memendam diam. Hari-hari terasa bosan di rumah tua milik Kakek Dirga. Ardin telah menelusuri seisi rumah antik dengan peninggalan zaman pergolakan perang. Ayah sering bercerita bahwa keluarga Kakek sangat menjunjung tinggi pendidikan dan etika bahkan terkenal patriotik meski hidup dalam kesederhanaan ditengah harta berlimpah.
Meski Kakek Dirga mewarisi bisnis keluarga dari orangtuanya, anak-anaknya tidak diijinkan bekerja dalam perusahaannya. Bahkan Kakek Dirga hanya membiayai pendidikan anak-anaknya hingga sarjana di kampus negeri meski uangnya tumpah ruah dan takkan habis untuk pendidikan mereka ke kampus luar negeri.
“Kakek sangat menghargai nilai uang dan paling anti foya-foya. Semua anaknya harus menghargai uang barulah Kakek akan menghadiahkan harta karunnya.” Ayah tersenyum miris sekaligus bangga.