Mohon tunggu...
Elfryanty Novita
Elfryanty Novita Mohon Tunggu... Pegawai BPS Kota Sorong

Suka dengan segala hal berbau analisis data, volunteering, Trainings, Projects, Reading Economics News. Di waktu luang suka mengecek kondisi ekonomi dan pasar saham. Penggemar K-Drama dan slogan hidup adalah" Be good for yoursef before you treat others nicely"

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Amerika dan China: Civil War Berkedok Trade dan Masa Depan Indonesia

2 Mei 2025   10:28 Diperbarui: 2 Mei 2025   10:28 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

            Amerika dibawah kepemimpinan Donald Trump telah mengumumkan kebijakan tarif impor baru yang mengguncang dunia pada 2 April 2025. Menariknya, China atau secara resmi Republik Rakyat Tiongkok (RRT) yang tumbuh menjadi negara berkekuatan ekonomi terbesar kedua dunia menurut nominal GDP yang mampu menyaingi Amerika, selain mendapat jatah tarif universal 10% untuk impor juga kebagian tarif resiprokal sebesar 34%. Namun pada 9 April 2025, Amerika kembali menerapkan tarif impor baru untuk China sebesar 104% yang mulai berlaku di hari yang sama setelah China membalas gebrakan baru Amerika dengan balasan tarif impor sebesar 84% terhadap Amerika. Dunia makin was-was tatkala Presiden Trump kembali mengumumkan kenaikan tarif impor dari China menjadi 125% pada 9 April 2025 dan menunda pengenaan tarif impor baru selama 90 hari terhadap lebih dari 75 negara kecuali China.

              Adanya perang tarif antara Amerika dan China ini mengobarkan kembali perang dagang antara kedua negara tersebut yang pernah terjadi pada saat pemerintahan pertama Presiden Trump tahun 2018. Kala itu, Presiden Trump menerapkan bea masuk terhadap barang impor dari China yang dibalas oleh China dengan penerapan besaran tarif yang sama untuk barang-barang dari Amerika. Perang tak kasat mata ini terus berlanjut dalam framework perang dagang selama masa pemerintahan Presiden Trump tahun 2017 hingga 2021. Dampak ketegangan antara kedua negara ini secara global antara lain ketidakpastian ekonomi global meningkat (Gunawan, D., & Arfah, Y., 2019), volatilitas pasar bursa, hingga relokasi produksi dari China (Tingkok) ke negara lain (Putra Rompis, A., et al., 2024). Tak hanya itu, Amerika sendiri mengalami penurunan pertumbuhan PDB dan kesejahteraan meski neraca perdagangan meningkat positif, sementara dampak sama juga dialami oleh China yang diperparah dengan penurunan neraca perdagangan (Yulianto & Widodo, 2018).

              Kini sejarah perang dagang diperkirakan terulang kembali. Bahkan pihak yang terlibat bertambah dengan masuknya Uni Eropa Kanada yang membalas Amerika dengan pengenaan tarif balasan untuk komoditas negara tersebut yang bernilai 26 miliar atau setara Rp441 triliun yang berlaku penuh pada 13 April 2025 (Silva, J.,d & Espiner, T., 2025). Tarif balasan Uni Eropa (27 negara) sebesar 25% untuk sejumlah komoditas Amerika setelah Amerika mendeklarasikan tarif baru sebesar 20% untuk berbagai komoditas terutama produk dari sektor otomotif dan baja yang dikenakan beban tarif lebih besar. Eskalasi makin memanas setelah Kanada bergabung dalam perseteruan dagang ini dengan besaran tarif impor yang sama dengan Uni Eropa terhadap produk Amerika pada hari yang sama dengan pemberlakukan tarif impor oleh Amerika.

              Sementara itu, Indonesia sendiri merespon secara diplomatis melalui jalur negosiasi dengan Amerika. Dikutip dari BBC News Indonesia, pengenaan tarif resiprokal 32% dari Amerika tersebut tidak akan dibalas dengan memberlakukan besaran tarif serupa karena Amerika adalah mitra strategis Indonesia. Peluang negosiasi ini makin terbuka setelah Amerika mengumumkan penundaan tarif resiprokal selama 90 hari, artinya Indonesia akan menyiapkan proposal kerja sama antara kedua negara dalam jangka panjang yang menguntungkan kedua belah pihak (win win solution).

              Situasi global yang memanas akibat pemberlakuan tarif impor oleh Amerika ke sejumlah negara yang mendapatkan respon negatif dari negara-negara tersebut, terutama China yang paling menonjol dalam melakukan tindakakan retaliasi, mengingatkan kita pada film Civil War dimana Captain Amerika berkonflik dengan Iron Man sebagai respon terhadap Perjanjian Sokovia. Perseteruan kedua hero ini turut menyeret semua superhero yang harus memilih ke pihak mana. Meski analogi ini kurang tepat menggambarkan situasi antara Amerika dan China, namun yang perlu digarisbawahi adalah perbedaan pandangan antara kedua belah pihak yang berujung pada konflik yang turut menyeret pihak-pihak lain yang awalnya merupakan sekutu keduanya.

              Berdasarkan sejarah, Amerika dan China telah menjadi mitra dagang setelah menandatangani perjanjian hubungan dagang permanen pada Oktober 2000, bahkan kemudian China telah menjadi mitra dagang terbesar kedua bagi Amerika mulai 2006. Ketegangan keduanya berawal setelah China bergabung dalam WTO dan makin nyata setelah Presiden Trump memegang pemerintahan Amerika pada 2017. Pemerintahan ini menganggap kemitraan dagang yang dibangun diantara keduanya tidak bersifat seimbang. Amerika mengklaim China telah melakukan praktik perdagangan yang tidak adil. Hal ini berdampak pada defisit neraca perdagangan Amerika dengan China yang berkesinambungan. Upaya Amerika itu berdampak signifikan pada perang dagang antara kedua negara yang ditandai dengan serangan tarif secara berbalasan untuk komoditas-komoditas unggulan kedua negara.

              Meski perang dagang tak kasat mata antara Amerika dan China belum memasuki fase "civil war" sesungguhnya, namun ketegangan yang terjadi antara keduanya makin memanas dan memasuki babak menegangkan terutama setelah Amerika tetap ngotot memberlakukan beban tarif impor dari China dan justru menaikkannya menjadi 125% yang berlaku segera karena menganggap pemerintah Tiongkok kurang hormat dalam merespon tarif impor saat pertama kali Amerika mengumumkannya. Situasi ini tentunya akan berdampak pada perekonomian global khususnya negara-negara yang memiliki kepentingan perdagangan dengan kedua negara tersebut.

              Indonesia adalah salah satu negara yang menjalin hubungan diplomatik dengan Amerika dan China. Pada masa pemerintahan Presiden Jokowi, hubungan bilateral Indonesia dan Amerika mengukir sejarah dengan Kemitraan Strategis Komprehensif (CSP- Comprehensive Strategic Partnership) yang mencakup kerjasama politik dan keamanan, ekonomi dan pembangunan, sosial budaya, pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi. Fokus yang paling menarik kala itu adalah kerja sama perdagangan dengan salah satu upaya peningkatan perdagangan adalah perpanjangan fasilitas Generalized System of Preferences (GSP) kepada Indonesia (BPMI Setpress, 2023). GSP merupakan program pembebasan bea impor masuk untuk komoditas ekspor Indonesia untuk roduk agrikultur, produk tekstil, garmen, dan perkayuan yang pastinya menguntungkan ekonomi Indonesia. Pada era Presiden Prabowo, terdapat kesepakatan untuk memperkuat kemitraan strategis antara Indonesia dan Amerika (ketika bertemu Presiden Amerika, Joe Biden). Memasuki pergantian presiden Amerika, Presiden Prabowo telah mengajukan pertemuan untuk membahas kemitraan strategis Indonesia-Amerika meski hingga pengumuman tarif impor baru oleh Presiden Trump, keduanya belum bertemu secara kenegaraan. Selain itu, dari sisi ekonomi Indonesia belum dapat dikatakan mitra strategis bagi Amerika. Sektor perdagangan misalnya, ekspor Indonesia pada tahun 2024 hanya mencapai 9,96% dari total ekspor Indonesia (bernilai 26,4 miliar dollar AS). Sedangkan dari sisi investasi, Amerika hanya fokus berinvestasi pada sektor migas dan pertambangan.

              Sementara kerjasama yang terjalin antara Indonesia dan China sejak tahun 1950 mengalami peningkatan signifikan pada era Jokowi terutama di sektor investasi dan perdagangan. Indonesia memiliki kerjasama strategis yang aktif, salah satunya pembangunan infrastruktur yang masif seperti kereta api cepat (Hight Speed Train/HST) Jakarta-Bandung dan pembangunan jalan tol di Jawa Barat, Manado dan Solo (Tri & Nur, 2017). Kerjasama kedua negara diyakini makin erat setelah kunjungan Presiden Prabowo ke China pada November 2024 dan mencapai kesepakatan strategis dengan Presiden Xi Jinping. China merupakan negara tujuan ekspor Indonesia, bahkan nilai ekspor Indonesia naik sekitar 5,7% pada tahun 2024 dengan kontribusi sebesar 23,6% berasal dari ekspor ke China (dilansir dari antaranews.com, 2025). Sementara impor dari China menyumbang sekitar 31,1% terhadap total impor Indonesia pada tahun 2024 dengan pertumbuhan impor meningkat sekitar 16%. Di sisi investasi, China telah menginvestasikan dananya pada sejumlah sektor-sektor strategis dari infrastruktur hingga manufaktur.

              Perang dagang yang kembali tercipta pada era Presiden Trump yang kedua tentunya berimplikasi pada ekonomi Indonesia yang dipertaruhkan di tengah ketegangan yang makin memanas antara Amerika dan China. Indonesia akan menangggung beban perang dagang dikarenakan kenaikan tarif untuk produk ekspor ke Amerika yang cukup tinggi sehingga daya saing ekspor Indonesia ke Amerika akan menurun. Selain itu, tarif baru Trump ini diperkirakan akan menghambat pertumbuhan ekonomi, berdampak pada pasar saham yang makin lesu dan dikhawatirkan memicu resesi ekonomi bila perang dagang Amerika dan China terus berlangsung. Gelombang PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) hingga tingkat kemiskinan yang mengalami kenaikan akan membayangi perekonomian Indonesia yang tengah berupaya bertahan ditengah badai efisiensi anggaran yang diberlakukan pada awal tahun 2025.  

              Berdasarkan data Kementerian perdagangan, neraca perdagangan Indonesia terhadap Amerika pada tahun 2024 mengalami surplus sebesar 14,34 US$ miliar, namun dengan adanya tarif resiprokal yang lebih tinggi akan memperlemah penetrasi produk ekspor Indonesia terutama produk tekstil yang berkontribusi cukup besar terhadap pasar ekspor Indonesia ke Amerika (bbcnewsindonesia, 2025). Indonesia perlu belajar dari Vietnam yang berhasil mengubah krisis perang dagang Amerika-China tahun 2018 menjadi peluang yang menguntungkan negaranya karena berhasil meningkatkan surplus perdagangan dan investasi asing (Laksono, Simanjuntak, & Fretes, 2020). Dampak positif lainnya adalah pertumbuhan ekonomi Vietnam yang positif diatas 6%. Namun perang dagang Amerika-China jilid II ini tentunya berbeda dampaknya terhadap Vietnam karena tarif yang dikenakan Amerika terhadap produk ekspor Vietnam jauh lebih tinggi daripada Indonesia, yaitu 46%. Bila Indonesia berhasil menegosiasi besaran tarif tersebut disertai langkah-langkah strategis yang menguntungkan kedua belah pihak, maka Indonesia dapat mengurangi tekanan pada perekonomiannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun