Mohon tunggu...
Elfrida Enggar Dhani
Elfrida Enggar Dhani Mohon Tunggu... Politeknik Keuangan Negara STAN

Mahasiswa aktif

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Pajak Karbon dan Dilema Energi Indonesia: Antara Pertumbuhan dan Keberlanjutan

1 September 2025   23:03 Diperbarui: 1 September 2025   23:16 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 2. Statistik Konsumsi Energi di Dunia Tahun 1800 - 2024 (Sumber: Energy Institute, 2025)

Sepanjang sejarah peradaban manusia, nenek moyang kita bergantung pada sumber energi yang sangat mendasar, yaitu tenaga otot - baik dari manusia maupun hewan yang mereka tangkap atau pelihara. Selain itu, pembakaran biomassa, seperti kayu dan tanaman menjadi sumber energi utama untuk keperluan memasak, pemanas, dan penerangan. Bentuk energi tersebut sangat fundamental sebelum ditemukannya sumber energi modern (Tampubolon, A., 2023).

Perubahan besar terjadi saat Revolusi Industri, ketika manusia mulai memanfaatkan bahan bakar fosil-yaitu batu bara, minyak bumi, dan gas alam-sebagai sumber energi baru yang mendorong kemajuan teknologi, sosial, dan ekonomi secara massif. Sumber energi fosil ini kemudian menjadi tulang punggung bagi sistem energi global dan penggerak utama dalam pertumbuhan industri modern (Setyawati, D., 2024).

Namun, penggunaan bahan bakar fosil yang kurang bijak dapat membawa dampak serius bagi lingkungan. Ketika bahan bakar fosil dibakar, selain menghasilkan energi, juga melepaskan karbon dioksida (CO2) yang berkontribusi besar bagi terhadap perubahan iklim global. Selain itu, pengelolaan limbah dari proses ini juga memicu pencemaran udara yang berdampak negatif terhadap kesehatan manusia. Sampah dan polutan dari pembakaran fosil menjadi sumber utama degradasi kualitas udara dan memperparah masalah kesehatan masyarakat di berbagai wilayah.

Gambar 2. Statistik Konsumsi Energi di Dunia Tahun 1800 - 2024 (Sumber: Energy Institute, 2025)
Gambar 2. Statistik Konsumsi Energi di Dunia Tahun 1800 - 2024 (Sumber: Energy Institute, 2025)

Dunia saat ini menghadapi tantangan besar terkait konsumsi energi yang terus meningkat tajam. Data terbaru dari Energy Institute menunjukkan bahwa konsumsi energi terus mengalami peningkatan dan diperkirakan akan terus meningkat di tahun 2024. Meski energi terbarukan menunjukkan perkembangan pesat, penelitian tahun 2023 menunjukkan bahwa bahan bakar fosil masih mendominasi dengan kontribusi sekitar 84% dari total konsumsi energi dunia (Virley, S., 2024). Kenaikan konsumsi energi terutama ditandai oleh lonjakan kebutuhan listrik dan sektor industri yang belum bisa sepenuhnya beralih ke energi rendah karbon. Tren ini mendorong emisi karbon dioksida meningkat signifikan, mempercepat laju perubahan iklim yang mana akan mengancam keberlanjutan planet ini. Statistik ini menggarisbawahi bahwa diperlukan langkah cepat untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil.

Gambar 3. Konsumsi Bahan Bakar Fosil Tiap Dunia(Sumber: Institut Energi, 2025)
Gambar 3. Konsumsi Bahan Bakar Fosil Tiap Dunia(Sumber: Institut Energi, 2025)

Indonesia memiliki ketergantungan yang cukup tinggi terhadap bahan bakar fosil, terutama dalam sektor kelistrikan. Pada tahun 2024, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) menyebutkan bahwa sekitar 85% kapasitas pembangkit listrik di Indonesia masih mengandalkan energi fosil, di mana batubara menyumbang porsi terbesar sekitar 53%. Konsumsi listrik Indonesia juga terus meningkat sehingga menyebabkan emisi karbon di sektor tenaga listrik meningkat tajam dalam satu dekade terakhir (Setyawati, D., 2024). Hal ini memperlihatkan bahwa krisis emisi karbon di Indonesia cukup serius dan memerlukan tindakan cepat dan efektif.

Untuk mengatasi masalah ini, intervensi pemerintah sangatlah penting. Tanpa peraturan yang tegas, emisi karbon akan terus meroket seiring dengan aktivitas industri, energi, dan transportasi yang tidak terkendali. Namun, mengatur emisi bukan perkara mudah karena pemerintah harus menyeimbangkan antara kebutuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan. Pemerintah perlu strategi yang tidak hanya memaksa, tetapi juga mendorong inovasi hijau dan kesadaran masyarakat. 

Salah satu instrumen paling efektif yang telah diterapkan di banyak negara adalah pajak karbon. Pajak ini memungut biaya langsung dari setiap ton yang dilepaskan ke udara, sehingga membuat pencemaran menjadi lebih mahal dan tidak menguntungkan. Dengan memberikan pajak pada polusi, pajak karbon memaksa pelaku usaha dan masyarakat untuk berpikir dua kali sebelum menggunakan bahan bakar fosil yang kotor ini. Ini adalah cara elegan untuk menginternalisasi kerusakan lingkungan sehingga ekonomi bisa berjalan lebih berkelanjutan.

Efektivitas pajak karbon telah diuji di banyak negara. Swedia, misalnya, sebagai pelopor pajak karbon sejak 1991, berhasil mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 30% di sektor industri pada tahun 2015, dibandingkan bila tidak ada pajak sama sekali (Swedish House of Finance., 2024). Secara keseluruhan, antara tahun 1990 hingga 2018, emisi bersih turun sekitar 26%, sementara PDB tetap tumbuh sekitar 78%. Selain itu, di Eropa, pajak karbon tidak membatasi pertumbuhan PDB atau lapangan kerja, justru, estimasi menunjukkan bahwa pajak sebesar US$ 40 per ton CO2, yang mencakup sekitar 30% emisi, diperkirakan mampu mengurangi emisi sebesar 4-6% (Metcalf, 2020).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun