Di tengah derasnya gelombang digitalisasi, muncul satu istilah baru yang secara diam-diam mengubah wajah dunia kerja: kapitalisme platform. Sistem ini hadir membawa janji kebebasan, fleksibilitas, dan kemudahan bagi para pekerja. Siapa yang tak tergoda oleh gagasan "kerja kapan saja, dari mana saja, tanpa atasan"? Namun ketika janji-janji itu dikuliti lebih dalam, muncul pertanyaan penting: apakah benar fleksibilitas ini membawa kebebasan? Atau justru menjadi bentuk baru dari eksploitasi terselubung?
Dua contoh besar yang lekat dengan kehidupan kita adalah Gojek dan Shopee, platform digital yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari keseharian masyarakat Indonesia. Di balik jasa ojek online, pengiriman makanan, atau layanan kurir instan yang kita nikmati, ada jutaan pekerja yang menopang sistem ini. Mereka disebut mitra, bukan karyawan. Mereka bekerja fleksibel, tapi tanpa jaminan. Mereka bebas memilih waktu kerja, tapi jika tak online selama 10 jam sehari, mereka bisa kehilangan insentif. Jadi, sebenarnya siapa yang benar-benar diuntungkan oleh sistem ini?
Kapitalisme yang Bertransformasi
Kapitalisme platform adalah bentuk mutakhir dari sistem kapitalisme yang kita kenal. Jika kapitalisme klasik berkutat pada pabrik dan buruh tetap, maka kapitalisme platform bergeser ke ruang digital, di mana tenaga kerja menjadi lebih fleksibel---dan lebih mudah digantikan. Platform seperti Gojek dan Shopee tidak memproduksi barang secara langsung; mereka menjadi perantara antara konsumen dan penyedia jasa, sambil meraup keuntungan dari transaksi yang berlangsung di dalam sistem mereka.
Dalam pandangan para pemikir seperti Nick Srnicek, kapitalisme platform menciptakan ketergantungan struktural antara pekerja dan platform, di mana perusahaan tidak lagi memikul tanggung jawab seperti jaminan sosial, upah minimum, atau hak cuti. Ini semua dibungkus dalam narasi "fleksibilitas" yang terdengar membebaskan, tapi pada kenyataannya justru mengaburkan relasi kerja yang timpang.
Pekerja Gojek, misalnya, seringkali harus menempuh lebih dari delapan jam di jalan demi memenuhi target bonus harian. Mereka menanggung biaya bensin, perawatan kendaraan, bahkan risiko kecelakaan. Tapi secara hukum, mereka bukanlah "pegawai" sehingga platform tidak wajib memberikan perlindungan atau tanggung jawab seperti perusahaan konvensional. Sementara itu, platform tetap meraup keuntungan dari transaksi yang mereka tidak sepenuhnya ikut kerjakan. Di sinilah letak ironi kapitalisme platform: risiko dialihkan ke individu, sementara keuntungan dikumpulkan oleh perusahaan.
Shopee dan Model "Kerja Tanpa Status"
Fenomena serupa juga tampak dalam ekosistem Shopee. Banyak anak muda bekerja sebagai admin toko online, dropshipper, atau pekerja lepas di pusat logistik Shopee. Status mereka sering tidak jelas, bukan karyawan tetap, tapi juga bukan mitra usaha. Mereka hanya bagian dari sistem distribusi yang dirancang sangat efisien, fleksibel, dan sayangnya sangat rentan terhadap eksploitasi.
Dalam banyak kasus, pekerja harian atau kontrak di warehouse Shopee harus bekerja dalam tekanan target yang tinggi, sistem shift yang padat, dan upah minim. Ketiadaan perlindungan jangka panjang membuat posisi mereka sangat rapuh di tengah ketidakpastian ekonomi. Tapi sistem ini tetap dianggap sah karena dibungkus dengan narasi "kesempatan bagi semua".
Inilah yang oleh David Weil disebut sebagai fenomena "fissured workplace" atau tempat kerja yang terfragmentasi. Perusahaan besar mendorong tanggung jawab kerja ke bawah, ke lapisan pekerja kontrak, outsourcing, atau mitra, sambil tetap mengontrol alur kerja dan hasil akhir. Kapitalisme platform meminjam logika ini dan membawanya ke era digital.
Keseimbangan yang Hilang
Dari sudut pandang ekonomi politik internasional, kapitalisme platform mencerminkan ketimpangan relasi antara pemilik modal dan tenaga kerja. Ia tidak hanya berlangsung dalam konteks lokal, tapi juga terhubung dengan arus globalisasi dan ekspansi modal internasional. Gojek dan Shopee bukan sekadar perusahaan teknologi lokal; mereka mendapat pendanaan dari investor besar seperti Tencent atau Google, yang membawa ekspektasi pertumbuhan dan profitabilitas tinggi. Maka tidak heran jika strategi efisiensi dan tekanan kerja diterapkan secara masif, demi memenuhi target investor.
Dalam sistem seperti ini, pekerja bukan lagi bagian dari "perusahaan" yang memiliki rasa tanggung jawab sosial. Mereka sekadar titik dalam sistem algoritma. Hubungan manusiawi tergantikan oleh skor performa, jam aktif, dan rating pelanggan. Ini menciptakan realitas kerja yang serba mekanistik, di mana nilai manusia ditentukan oleh seberapa cepat ia bisa mengantarkan pesanan, bukan oleh seberapa layak hidupnya.
Adakah Jalan Lain?
Tentu saja, bukan berarti kita harus menolak semua bentuk teknologi atau digitalisasi. Platform seperti Gojek dan Shopee telah membantu jutaan orang memperoleh penghasilan, terutama di masa pandemi. Namun yang perlu dikritisi adalah struktur relasi kerjanya yang timpang dan model bisnisnya yang mengorbankan kesejahteraan tenaga kerja demi pertumbuhan semu.
Beberapa negara telah mulai mengambil langkah tegas. Di Spanyol, misalnya, pemerintah mengesahkan aturan yang mewajibkan perusahaan seperti Uber dan Glovo untuk mengakui pekerja mereka sebagai karyawan, bukan mitra. Di Indonesia, langkah serupa masih dalam proses perdebatan panjang. Pemerintah cenderung berhati-hati karena khawatir menghambat inovasi digital. Namun justru di sinilah peran negara dibutuhkan: bukan untuk menghambat, tapi untuk memastikan bahwa inovasi berjalan seiring dengan perlindungan sosial.
Kaum muda sebagai kelompok terbesar di sektor ini baik sebagai pengemudi, kurir, admin toko, atau freelancer digital perlu sadar bahwa fleksibilitas yang ditawarkan platform seringkali datang dengan harga yang mahal: tidak ada perlindungan, tidak ada stabilitas, dan tidak ada suara dalam pengambilan keputusan.
Kapitalisme platform menjanjikan fleksibilitas, tapi justru menciptakan bentuk baru dari keterikatan. Gojek dan Shopee bukan musuh; mereka adalah produk dari sistem yang lebih besar yakni sistem ekonomi global yang menjadikan tenaga kerja sebagai bagian dari rantai efisiensi yang terus dipangkas. Dalam dunia seperti ini, penting bagi kita untuk tidak hanya menjadi konsumen yang puas, tapi juga warga negara yang kritis.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI