Ini terjadi hampir setiap hari. Ketika langit mulai melukis rona jingga bergradasi ungu, ibu membawaku ke sebuah taman yang terletak tepat di tengah kota. Ibu mendudukkanku di sebuah bangku tua, sementara ia sendiri berdiri termangu menatap ke kejauhan.
Ya. Entah sampai kapan ibu akan selalu melakukannya. Menunggu makhluk itu muncul. Makhluk berpenampilan aneh dengan hidung bulat berwarna merah seperti tomat busuk, dan kedua mata yang dilukis menggunakan cat akrilik hitam legam.
Bukan hanya itu. Makhluk itu juga memiliki garis mulut melebihi batas normal manusia pada umumnya. Ditambah perut tambun seperti drum minyak tanah.Â
"Ia badut yang sangat lucu, Alika. Kau harus berkenalan dengannya. Ayolah, ulurkan satu tanganmu!" Begitu ibu membujukku setiap kali makhluk aneh itu datang. Tapi bujukan ibu sama sekali tidak membuahkan hasil. Aku tetap bersikeras bahwa tidak ada makhluk paling mengerikan di dunia ini kecuali dia!
"Pergi! Pergi dari sini! Jangan coba-coba mendekatiku!" Aku berteriak-teriak histeris seraya menghindari tatapan makhluk yang kata ibu sangat lucu itu. Tanganku sibuk menggapai-gapai. Lalu melempar apa saja yang ada di dekatku.
Pernah, suatu waktu aku berhasil menimpuk kepala makhluk itu dengan sebongkah batu sebesar kepalan tangan orang dewasa. Dug! Ia tampak kesakitan. Tangannya yang terbungkus kaus menyeka darah yang mengucur.
Tapi makhluk itu diam saja, sama sekali tidak mengaduh.
Jika sudah begitu biasanya ibu akan gegas memelukku. Berusaha menenangkan kemarahanku.
"Alika, kau tidak boleh bersikap kasar begini, Nak. Ayo, minta maaf kepada Tuan Badut!" Suara ibu terdengar gugup bercampur cemas.
"Tuan Badut?"