Seketika benda bersampul kain putih itu jatuh bergedebum di atas lantai.
Girang nian hati si bocah perempuan. Rasa penasarannya terbayar sudah.
Tapi sesaat hatinya diliputi rasa kecewa. Tersebab buku yang diambilnya dengan susah payah itu ternyata berisi aksara Jawa Kuno atau biasa di sebut dengan Huruf Kawi.
Tapi dasar kelakuan bocah. Meski tidak paham apa makna tulisan yang tertera di setiap lembar buku itu, ia tetap saja nekat membacanya. Kebetulan pula ia lumayan lancar membaca huruf ha na ca ra ka beserta pasangannya.
Serius sekali si bocah mengeja larik demi larik kalimat yang ditulis rapi di dalam buku itu. Dan, saking seriusnya si bocah tidak menyadari jikalau Ayah angkatnya sudah merampungkan ritual bebucal sejak tadi dari kamar mandi.
Iapun tertangkap basah.
"Astaga! Apa yang kamu lakukan, Nduk? Sudah berapa banyak kalimat yang kamu baca dari dalam buku itu?" Ayah angkatnya menegur gusar.
"Nganu Ayah--- sampun katah (sudah banyak)." Si bocah menjawab jujur. Sang Ayah segera merebut buku tebal itu sembari mengomel panjang.
"Tahu tidak, Nduk? Ini buku bukan buku sembarangan. Ini buku serat Darmogandul. Berisi rangkaian mantra-mantra. Bagaimana kalau mantra-mantra yang kamu baca tadi manjing ke ragamu?"
Manjing ke ragamu? Si bocah tertegun sejenak. Ia sama sekali tidak paham dengan apa yang baru saja diucapkan oleh Ayah angkatnya itu.Â
Hanya yang ia tahu, sebelum buku itu diambil alih dari tangannya ia sempat merasakan sesuatu yang aneh. Sekujur tubuhnya menggigil kedinginan seperti berada di dalam lemari es. Beberapa detik kemudian rasa dingin itu lenyap dan tubuhnya menghangat kembali.