Aruni. Ia sejatinya bukan tidak mengetahui hukum agama tentang dosa mengabaikan suami. Bukan. Bukan itu. Aruni hanya sedang dirundung bingung. Karena sesungguhnya ia masih sangat mencintai seseorang. Lelaki lain.
***
Bramantyo.
Jikalau bukan karena puisi-puisinya yang terus bergulir bak hujan di musim kemarau, tidaklah Aruni akan jatuh cinta kepada lelaki itu.
Sekalipun pada kenyataannya Aruni harus menelan rasa kecewa. Sebab Bramantyo tidak pernah bersedia menunjukkan siapa jati dirinya. Lelaki itu hanya memacarinya secara virtual.
Tapi cinta itu buta. Dan semakin membabi buta ketika Bramantyo memberinya panggilan sayang yang unik. Salju yang Manis.
"Kok namaku diubah aneh begitu?"
"Biarin."
"Kamu jahat!"
"Memang. Baru tahu, ya. Kalau penyair itu identik dengan penjahat."
Mendengar tuturan Bramantyo, senyum Aruni pun berguguran. D mana-mana. Di atas bantal. Di bingkai jendela. Di pelataran. Juga di kelopak bunga mawar yang sedang mekar.
Aruni sedang bahagia. Baginya berbincang dengan Bramantyo tak ubahnya seperti seniman yang melukisi langit. Tidak akan kehabisan warna dan lembaran kanvas. Selalu ada gradasi baru. Juga keindahan yang menggetarkan kalbu.
Sampai suatu ketika dirinya harus menghadapi keputusan sepihak itu. Ia harus menikah dengan lelaki lain. Lelaki yang sama sekali tidak dikenalnya dan juga--- sama sekali tidak dicintainya.